Kerusuhan yang terjadi di Mako Brimob dan sejumlah ledakan di beberapa daerah pada Bulan Mei 2018 menjadi peristiwa yang disorot oleh berbagai kalangan. Pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab, melalui DPR, segera mengesahkan revisi UU Terorisme pada 25 Mei tidak lama setelah rangkaian peristiwa terjadi. Proses pengesahan revisi UU Terorisme pun berjalan sangat mulus walaupun hanya dihadiri oleh 99 orang dari 560 anggota dewan.
Bahkan Presiden Jokowi menegaskan akan mengeluarkan perppu soal terorisme bila DPR tidak segera ketok palu untuk revisi UU Terorisme. DPR meyakini bahwa revisi ini lebih baik karena ada tim pengawas yang berperan untuk mengevaluasi bila terjadi abuse of power dalam penindakan aksi terorisme.
Aksi Terorisme selalu dikaitkan dengan Radikalisme sebagai paham yang menjadi akar dari terorisme. Radikalisme pun mengalami perluasan makna, yang awalnya diidentikan pada aliran jihadis dan tafkiri (mengkafirkan pemerintah dan orang lain) kini mulai diarahkan pada kelompok Islam yang dipandang intoleran --menolak pemimpin kafir, menolak Ahmadiyah- ditambah lagi dengan kelompok yang memperjuangkan Syariat Islam dan Khilafah.
Direktur Riset Setara Institute, Halili, dalam diskusi Polemik di Cikini, Jakarta Pusat pada Sabtu, 19 Mei 2018 menyatakan bahwa "Terorisme itu bertingkat. Tidak serta merta seseorang menjadi teroris. Tangga pertama adalah Intoleransi".Â
Senada dengan pernyataan Halili, kini dapat kita rasakan adanya kriminalisasi ajaran Islam seperti kata "Kafir" yang dipandang intoleran karena menyudutkan pemeluk agama selain Islam. Jihad dipandang intoleran karena identik dengan kekerasan dalam memaksakan kehendak. Khilafah dipandang intoleran karena bertentangan dengan pancasila. Padahal semua itu merupakan ajaran Islam yang terdapat didalam al-Qur'an dan al-Hadist.
Walhasil kriminalisasi terhadap ajaran Islam menimbulkan rasa phobia Umat Islam terhadap ajarannya sendiri. Kini Umat Islam merasa takut jika ikut kajian Islam, kini Umat Islam akan berhati-hati dengan ajarannya karena takut dipandang intoleran/bertentangan dengan pemerintah, kini Umat Islam hanya mencukupkan diri dengan Ibadah Mahdah saja seperti salat, puasa, zakat, naik haji dan hal terburuk dari semua ini adalah Umat Islam lebih memilih berdiam diri ketika melihat kemaksiatan bahkan kedzaliman yang merajalela.Â
Akhirnya Umat Islam akan semakin terpurak dalam cengkraman kafir penjajah yang mengingginkan Umat Islam diam seribu bahasa, padahal Umat Islam diwajibkan melakukan amar ma'ruf nahi munkar, ini merupakan aktivitas politik dalam pandangan Islam.Â
Politik sendiri bermakna mengatasi seluruh problematika umat, implementasinya adalah dengan melakukan amar'maruf nahi munkar baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Mengapa Islam memiliki sistem politik? Karena Islam dan politik merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Islam memiliki berbagai macam peraturan dalam mengatur urusan manusia mulai dari hal terkecil menyangkut urusan dirinya, hingga hal yang besar menyangkut urusan masyarakat dan Negara.Â
Seluruh aturan tersebut dapat diterapkan secara sempurna jika ada institusi yang menerapkannya yaitu sebuah Negara. Pemastian diterapkannya seluruh aturan Negara dapat dilakukan dengan sistem politik dimana masyarakat perlu berpartisipasi dalam mengontrol terlaksananya seluruh aturan. Indonesia yang notabene menganut sistem politik demokrasi-sekuler berusaha agar Umat Islam tidak boleh "melek" politik.
Jika Umat Islam "melek" politik maka mereka akan menuntut diterapkannya peraturan yang dapat mengantarkan mereka pada kehidupan yang adil, sejahtera dan penuh dengan kedamaian. Peraturan tersebut berasal dari Tuhan Pencipta Alam, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, Umat Islam berusaha dibungkam dengan cara apapun termasuk dengan cara politik melalui kebijakan revisi UU Terorisme ini.