Undang-undang ini memberikan hukuman pidana berlapis tidak hanya pidana penjara bagi si pelaku tindak pidana tetapi juga mengenakan pidana denda. Berkaitan dengan perlindungan korban perdagangan manusia ini juga berlaku undang-undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban disamping perlindungan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ini.
Dengan adanya Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All From of Discrimination Againts Women, CEDAW) pada tahun 1979, isu perdagangan orang kembali muncul seiring dengan meningkatnya perhatian terhadap hak asasi perempuan, sejak saat itu perdagangan manusia terutama perdagangan perempuan menjadi perhatian global.Â
Dengan adanya Konvensi ini dapat diharapkan adanya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dapat diterima oleh negara pihak dan menjadi dasar negara pihak bisa membuat undang-undang yang tepat dan juga bisa menerapkan konvensi tersebut di negara masing-masing sebagai bentuk penghormatan terhadap kesepakatan yang dihasilkan pihak konvensi.Â
Selain CEDAW 1979, Protokol Palermo (Protocol to Prevent, Suppress ang Punish Trafficking in Person, Especially Women and Children, Supplement the United Nation Convention Againtst Transnational Organization Crime) Protokol tentang mencegah, menindak dan menghukum pelaku perdagangan orang khususnya perempuan dan anak melengkapi eksistensi United Nation Convention Againtst Transnational Organization Crime tahun 2000 lebih jelas mengatur tentang perlindungan korban perdagangan manusia.
Protokol ini khusus mengatur perlindungan korban perdagangan yang meliputi bantuan dan perlindungan bagi korban, status korban ketika berada di negara penerima, dan pemulangan ke negara asal mereka.
Kerjasama antar negara dapat memberikan keringanan terhadap tindak pidana perdagangan manusia. Beberapa negara sepakat untuk memberantas, menanggulangi, dan memberi bantuan kepada para korban dengan cara menampung kemudian mengembalikan atau memulangkan korban dengan dana oleh negara penerima.Â
Di Indonesia pemberian perlindungan terhadap korban perdagangan manusia diatur dalam beberapa pasal seperti pada Pasal 44 Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Manusia, lalu Pasal 54 tentang adanya kewajiban bagi negara melindungi korban berada di luar negeri yang memerlukan perlindungan hukum akibat tindak pidana perdagangan manusia.Â
Jika dilihat dari peraturan perundang-undangan, UU Nomor 21 Tahun 2007 sudah lebih baik, mengingat konsep perlindungan korban tidak hanya berotientasi pada potenisl victim namun juga pada actual victim. Harapan setiap negara untuk menanggulangi tindak pidana perdagangan orang dan bagaimana cara terbaik memperlakukan korban sudah diterima banyak negara dengan cara meratifikasi perjanjian internasional yang terkait baik dalam bentuk konvensi, protokol maupun perjanjian yang bersifat bilateral maupun multilateral.
Sumber :
https://jurnalretrieval.hukum.uns.ac.id/index.php/jurnalretrieval/article/download/7/6/32