Mohon tunggu...
Nely Agustina Suherman
Nely Agustina Suherman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UKRI

Halo, kamu dapat memanggil saya El! Saya menulis beberapa cerita di laman gratis Wattpad. Saya menyukai genre kolosal dan komedi. Kamu dapat menyapa saya di akun media sosial saya, permatadansatuu^^

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Tali Kekang Anak Perempuan Pertama dalam Keluarga Patriarki

27 Oktober 2023   15:11 Diperbarui: 27 Oktober 2023   15:15 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terdapat banyak sekali penderitaan yang dialami anak perempuan pertama dalam keluarga dengan budaya patriarki yang kental.

Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi. (Pinem, 2009:42). Ayah memiliki otoritas terhadap ibu, anak-anak dan harta benda.

Anak perempuan memiliki masa yang pendek dalam hidup dibawah tanggung jawab orangtuanya, hanya sampai menikah saja. Berbeda dengan laki-laki yang justru akan seumur hidupnya menjadi tanggung jawab orang tua.

Tapi, bukannya mendidik anak laki-laki lebih keras, beberapa orang tua lebih sering menekan anak perempuannya untuk serba bisa. Alasannya cukup klise, yakni anak perempuan akan mengurus rumah tangga dan harus serba bisa. Anak perempuan akan diserahkan pada orang lain, yang mana jika tidak mampu memiliki standar patriarki, artinya mencoreng nama baik keluarga.

Perempuan akan dianggap cacat jika tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik. Sedangkan laki-laki memiliki stAndar lebih ringan dengan cukup untuk memiliki label 'punya pekerjaan'.

Anak perempuan pertama dituntut untuk selalu bangun pagi, membersihkan rumah, mengurus rumah tangga agar orang tua hanya ongkang-ongkang kaki. Orang tua dengan budaya patriarki justru ingin serba dilayani. Padahal ekonominya sendiri belum mumpuni untuk di tahap serba dilayani. Sehingga mereka mengerahkan anak supaya gratis dan seenaknya meremehkan pekerjaan rumah. Padahal pekerjaan remeh itu justru berkalu selama 24 jam dalam seminggu dan tidak diberi gaji. Perlakuan baik pun sesekali, hanya jika tugas selesai dan tidak melakukan hal yang salah.

Pendidikan patriarki seringkali membuat kepala anak laki-laki bertambah besar. Tidak menghargai perempuan, meremehkan perempuan bahkan tidak punya empati terhadap perempuan. Jika Pendidikan basic life skill yang biasa disebut sebagai mengurus rumah tangga diberlakukan sama, hal tersebut tidak akan terjadi karea anak laki-laki paham bahwa mengurus rumah tangga adalah tanggung jawab besar dan merupakan kemampuan dasar dalam hidup.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi

Anak perempuan pertama berangkat bekerja setiap hari yang penghasilannya justru banyak dipertimbangkan Ketika akan membeli barang ataupun jajanan. Ketika melihat anak pesan makanan online, orang tua akan seenaknya mencibir atau justru merasa direndahkan sehingga ikut-ikutan membeli makanan dari luar juga.

Sepulang kerja, anak perempuan pertama masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah selama dia tidak ada di rumah. Padahal sang Ayah selaku kepala keluarga yang mencari nafkah juga tidak seperti itu. Pulang dengan marah-marah, ingin segala disuguhkan, tanpa mau tahu kerjaan rumah seperti apa. Kata-kata yang sering diucapkan ketika sampai ke rumah dan melihat masih berantakan adalah "Seharian ngapain aja? Kok masih berantakan?"

Padahal istri dan anak dapat membalikkan pertanyaan dengan "Seharian ngapain aja? Kok kita masih miskin?" Tapi pertanyaan tersebut urung diungkapkan karena moral anak dan istri jauh lebih tinggi daripada kepala keluarga. Anak dan istri mengerti bahwa ada marwah serta harga diri kepala keluarga yang harus dijaga. Akan tetapi kepala keluarga tidak punya kesadaran bahwa ada hati anak dan istri yang perlu dihargai. Jika ditelaah, dalam agama Islam pekerjaan rumah merupakan kewajiban dan tanggung jawab daripada suami. BUKAN ISTRI MAUPUN ANAK. Jika ridho, istri boleh membantu, begitupun anak. Membantu artiny ahanya sesuai dengan kemampuan, bukan menjadi tanggung jawab sepenuhnya. 

Membantu di sini 'seringkali' disalah artikan dengan 'menggantikan'. Sehingga Kepala keluarga justru sering marah membabi buta jika tugas tersebut tidak dilakukan apalagi mengaitkan dengan hukum mengurus rumah tangga dalam Islam. Malah akan banyak kata-kata mengutuk yang keluar. Durhaka, tidak berguna, sampai kata-kata yang banyak sekali mengandung unsur kekerasan psikis pun terdengar. Biasanya laki-laki seperti ini adalah laki-laki manipulatif yang dapat merusak rumah tangganya sendiri. Kemudian ketika sudah rusak, dia akan menyalahkan orang lain atas kesalahannya sendiri. Tak jarang jika anak perempuan tidak mau mengerjakan tugasnya, dia dianggap membabukan orang tua atau memperbudak orangtuanya hanya karena orangtua mengerjakan tugas mereka. Aneh, bukan? Tapi keanehan ini banyak sekali terjadi di masyarakat Indonesia.

Bahkan sering terjadi anak perempuan tidak lagi membutuhkan pertolongan orang tuanya, sampai orang tuanya justru tersinggung karena sudah tidak dibutuhkan lagi atau pertolongannya sudah tidak relevan. Jika orang tua ingin akhir dari anak perempuannya mandiri, jangan salahkan jika nanti dia tidak punya rasa empati karena didikan yang terlalu keras. Jika memang ada yang salah dengan tutur kata, sebaiknya Anda sebagai orang tua bercermin, seperti apa tutur kata Anda ketika menolak pendapat anak perempuan Anda.

Jadi, orang tua terutama AYAH sebagai KEPALA KELUARGA, bukalah telinga Anda lebar-lebar. Biarkan anak perempuan pertama itu menguraikan isi hatinya yang tidak perlu kamu sangkal. Berdirilah di depan cermin dan lihat: Anda sesempurna apa sehingga menuntut anak perempuan pertama Anda untuk selalu sempurna? Bersyukurlah pada apa yang Allah beri!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun