Mohon tunggu...
Nelvina Djaja
Nelvina Djaja Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

saya menyukai hal hal yang berbau politik, hukum dan sosial

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengapa Anak Broken Home Cenderung Mengalami Gangguan Mental

1 Februari 2024   14:57 Diperbarui: 2 Februari 2024   07:13 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Taukah Anda? 1 dari 5 penduduk di Indonesia, yakni sekitar 20 persen mempunyai potensi masalah gangguan jiwa atau mental. Menurut halodoc.com, kesehatan jiwa atau kesehatan mental adalah kesehatan yang berkaitan dengan kondisi emosi, kejiwaan, dan psikis seorang.  Masalah kesehatan mental bisa mengubah cara seseorang dalam mengatasi stres, berhubungan dengan orang lain, membuat pilihan, dan memicu hasrat untuk menyakiti diri sendiri. Jenis gangguan mental yang umum terjadi adalah depresi, bipolar, anxiety (kecemasan), dan lain lainnya. 

Menurut website resmi rumah sakit siloam, Anak broken home adalah istilah yang merujuk pada keluarga yang tidak lagi hidup bersama akibat berbagai alasan seperti perceraian orang tua, kematian salah satu atau kedua orang tua, atau perpisahan lainnya. Anak broken home cenderung dapat mengalami gangguan mental. Anak broken home sulit untuk merasakan kebahagiaan seperti orang lain seusianya. Bahkan, sebenarnya mereka memiliki sifat yang agak berbeda dari yang lain, khususnya jika dibandingkan dengan orang yang memiliki keluarga yang utuh. Hidup mereka terasa berada didalam tekanan emosional yang dapat menghancurkan kesehatan mental mereka. Anak broken home memiliki sifat sifat yang berbeda dengan orang lain seusianya dikarenakan mereka sudah mengalami masalah yang berat di dalam rumah, apalagi bagi mereka yang mengalami kekerasan di dalam rumah tangga. 

Dampak psikologis yang sering dialami anak broken home bisa menimbulkan sifat sifat seperti berikut : 

  • Sensitif : anak broken home lebih sensitif dalam menghadapi sesuatu di dalam keluarga.  Mereka sudah terlalu sering melihat pertengkaran, teriakan, dan kekerasan lainnya di rumah. Tetapi, kebanyakan anak broken home, tidak pernah mengungkapkannya di depan orang lain atau menutup nutupinya.
  • Kesepian : mereka menganggap keberadaan mereka di luar rumah lebih nyaman dibandingkan suasana di rumah yang selalu tegang dan menyeramkan. Mereka suka mencari hiburan di luar rumah. Karena tidak ada yang mengawasi maupun membimbing, mereka dapat dengan mudah terjerumus ke dalam kejahatan maupun pergaulan bebas.

  • Mudah rapuh : anak broken home sering berjumpa dengan rasa terluka. Maka tak heran kalau kebanyakan dari mereka lebih mudah menyayangi orang lain, karena mereka tidak mau ada orang lain mengalami kejadian yang sama dengan mereka. 

  • Haus akan kasih sayang : dikarenakan mereka memiliki keluarga yang tidak harmonis, mereka cenderung menginginkan atau mengharapkan kasih sayang dari orang lain.

Anak broken home cenderung lebih rentan mengalami gangguan belajar karena kondisi tersebut kerap membuat mereka kesulitan untuk memusatkan fokus dan berkonsentrasi, sehingga performa belajar mereka mudah terjatuh. Salah satu dampak broken home saat dewasa yang perlu diwaspadai adalah dapat memicu terjadinya depresi. Pasalnya, broken home yang disebabkan oleh perpisahan orang tua, baik karena perceraian ataupun kematian dapat menimbulkan efek traumatis yang mendalam pada anak. Salah satu dampak yang sering kali terjadi kepada anak broken home terutama jika mereka sudah mulai  beranjak dewasa adalah kesulitan untuk menentukan tujuan hidup. Karena, broken home merupakan salah satu faktor traumatis yang dapat mengubah pola pikir dan perilaku seseorang hingga ia sudah beranjak dewasa. Selain itu, kondisi ini juga membuat korban broken home merasa khawatir dan takut untuk menjalani hidupnya. Hal inilah yang mengakibatkan anak broken home sangat berhati-hati akan mengalami kejadian yang serupa.

Jika anda atau anak anda mengalami kejadian yang serupa, solusi dari kami adalah untuk selalu berpikir positif, belajar menjadi orang yang bertanggung jawab dan mandiri, terus membangun kepercayaan antara anak dan orang tua, mencoba hal-hal yang disukai atau tertarik dengan, dan belajar untuk ikhlas akan keadaan. Silahkan cari bantuan profesional kesehatan mental seperti psikolog atau psikiater jika merasa perlu, karena perpisahan diantara kedua orang tua bukan sebuah keputusan yang mudah untuk dibuat dan dijalani setelahnya.

Oleh : Olivia Chandra dan Nelvina Djaja (12 IPS 1)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun