Mohon tunggu...
Nelvianti Virgo
Nelvianti Virgo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Ketika menulis menjadi sebuah kebutuhan...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cintaku di Kedai Cendol

18 Agustus 2014   04:34 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:17 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hello Kompasianer... udah lama nih saya gak menyapa akun ini. Oke, untuk membuka postingan kali ini saya akan tampilkan cerpen 'jadul' saya (bukan cerpen pertama sih, bisa dibilang cerpen ke-2 atau ke-3), tapi gaya bercerita saya di cerpen ini masih jadul.

Sekarang setelah sering menulis cerpen, saya baru nyadar kekurangan saya dalam penulisan cerpen ini (kadang saya suka senyum-senyum sendiri membaca cerpen ini). Kok bisa ya, saya menulis cerpen seperti ini dulu? Hehe. Tapi daripada cerpen ini membeku di folder laptop saya, gak ada salahnya kan saya share...? :) Sebagai bahan perbandingan juga buat saya, nantinya saya akan memposting cerpen jadul saya satu persatu. Di situ akan terlihat perbedaan gaya menulis saya.

Oke, selamat membaca. Saya terima semua kritik dan sarannya. :)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Femi cendol. Begitulah teman-teman biasa memanggilku. Sebenarnya namaku Femi Fatrisa. Tapi karena aku suka minum cendol mereka jadi memanggilku dengan sebutan itu, dan karena cendol itu juga aku menemukan cintaku.

***

Siang itu, udara lagi tidak bersahabat. Matahari begitu semangatnya menyinari bumi, sampai-sampai tubuhku mendidih karna kepanasan. Aku jadi tidak betah berdiam diri di kelas. Ditambah lagi pelajaran matematika, pelajaran yang membosankan bagiku. Walaupun Bu Sri guru yang killer, tetap saja kami tidak memperhatikan. Seperti teman sebangkuku sekaligus sahabatku Febi. Dari tadi ia asik mengutak-atik hapenya, sedangkan teman-temanku yang lain pada ngerumpi. Mereka asik dengan kesibukan masing-masing.

Seketika aku teringat es cendol Pak Danar, es cendol langgananku. Aku tidak pernah absen membelinya, rasanya benar-benar nikmat. Aku jadi nelan ludah sendiri kalau membayangkannya.

***

Ya ampun… rame umat yang ngantri. Segitu larisnya es cendol Pak Danar, kalau tlat keluar bisa-bisa nggak kebagian. Kaum Adam juga tak mau kalah, masa mereka tidak mau berbagi tempat dengan kami kaum Hawa yang lemah ini.

Terpaksa deh, aku berdesak-desakan dengan sejuta umat lain demi mendapatkan segelas cendol. Tapi usahaku tidak sia-sia, aku berhasil berada di barisan paling depan.

Lagi asik-asiknya mesan ni, eh ada sesosok makhluk ganteng minta bantuanku. Dengan bahasa isyarat dia memintaku mengambilkan segelas cendol yang sudah disiapkan Pak Danar.

***

Dengan mengendarai motor KA alias jalan kaki aku pulang sekolah bersama Febi. Walaupun cuaca panas aku masih sanggup berjalan. Begitulah setiap hari aku pulang sekolah.

“Cendol, kenapa kamu senyum-senyum?” suara Febi membuyarkan lamunanku. “Oh… Feb, kamu tahu nggak cowok, mmh… namanya siapa ya, duh aku lupa lagi nanya namanya. Ciri-cirinya gini, dia ganteng, putih, tinggi, trus bodynya sixsen.” Jelasku pada Febi dengan semangat. “Sixpacksixsen.” Febi menyenggol bahuku. “Ya, pokoknya gitu deh.” Cetusku. “Aku nggak tahu, mangnya kenapa?” tanya Febi. “Nggak, nggak pa pa.” Aku masih belum mau memberi tahu Febi kalau aku suka cowok itu pada pandangan pertama. Dan sepertinya Febi juga tidak menyadarinya atau dia malas merespon jawabanku. Ah biarlah… untuk saat ini aku sembunyiin saja dulu.

“Cendol, aku pulang dulu ya.” Rupanya Febi sudah sampai di gerbang rumahnya. “Oh ya, see you tomorrow.” Lambaiku.

Keesokan harinya ketika akan masuk kelas, Febi memanggilku sambil berlari-lari. “Cendol… cendol… Femi cendol, aku tahu siapa cowok itu.” Dengan cepat kudekap mulut Febi. “Jangan keras-keras dong ngomongnya, bikin malu aja.” Langsung kutraik Febi kedalam kelas. “Atur nafas dulu. Uhh…ha…uh…ha…” kusuruh Febi menstabilkan detak jantungnya.

“Sekarang cerita namanya siapa?” desakku. “Namanya Mi…Mi…Mi…” Febi berlagak mengingat. “Ayo mi apa? Mie ayam, mie goreng, mie rebus…” kupotong pembicaraan Febi. “Kan aku jadi lupa, kamu sih…” Febi berfikir sejenak. “Oh iya, namanya Mico.” Kembali Febi melanjutkan kata-katanya.       “Darimana kamu tahu?” tanyaku terkesan tidak mempercayai omongan Febi. “kamu tahu kan Rina? Teman dekat rumahku.” Tanya Febi. “Ya, tahu tahu.” Jawabku. “Nah, Rina itu sekelas sama Mico. Dia itu kelas X1.” Jelas Febi. “Jadi kelasnya bersebelahan dengan kelas kita, kok aku nggak pernah lihat ya.” Aku merasa terkejut. “Ye… kamu aja nggak kenal dia sebelumnya.” Bantah Febi. “Trus trus kamu dapat info apa lagi?” aku jadi tak sabar mendengar cerita Febi selanjutnya. “Itu doang.” Dengan singkat Febi menjawab sambil menuju tempat duduknya. Aku menghampiri Febi.

“Femi.” Panggil Febi. “Mmh…” aku menyahut tanpa memperhatikan Febi. “Kamu tahu nggak, aku juga suka sama seseorang.” Aku berhenti mengeluarkan buku dari dalam tas, lalu kuperhatikan kata-kata Febi selanjutnya.

“Selamat pagi siswa.” Tiba-tiba Bu Sri masuk kelas. “Selamat pagi bu.” Dengan serempak kami menjawabnya. Kedatangan Bu Sri memutuskan pembicaraanku dengan Febi.

***

Dikedai cendol Pak Danar. “Feb, siapa sih orang yang kamu suka?” aku mulai membuka pembicaraan yang sempat terputus tadi, sebab aku masih penasaran siapa sih cowok yang ditaksir sahabatku ini. “Dia Adit teman SMP ku dulu, sekarang dia sekolah di SMA Dharma Bakti.” Dengan mudah Febi menjawab pertanyaanku. “Trus…” aku berharap Febi melanjutkan kata-katanya. “Aku nggak tahu harus gimana, yang jelas aku masih suka sama dia. Dan aku cukup sering ketemu dia, tapi aku tak berani mengatakan kalau aku suka sama dia. Aku bukan cewek yang aggressive, aku pemalu, aku orangnya tertutup.”

Aku biarkan Febi menumpahkan isi hatinya yang mungkin selama ini selalu dipendamnya. “Bahkan untuk curhat sama orang lain aja aku susah, kamulah orang pertama yang aku beri tahu tentang perasaanku. Selama ini aku selalu memendamnya.”  Febi melanjutkan kata-katanya.

“Kita sama Feb. Aku juga seperti itu, makanya aku cocok berteman sama kamu. Sehingga aku merasa kamulah sahabatku. Kamu mau tahu ngggak Feb, dimana aku bertemu Mico?” aku mencoba mencairkan suasana kembali. “Dimana?” Febi langsung penasaran. “Dikedai cendol ini.” Jawabku sambil menunjuk meja.

“Oh miss cendol, suka makan cendol, ketemu cinta dikedai cendol juga. Ha ha ha…” Febi menertawakanku. “Eh, tapi aku nggak pernah bilang tu, aku suka sama dia. Darimana kamu tahu?” tanyaku. “Kita kan sahabat.” Jawab Febi.

By the way, mana ya orangnya?” kepalaku celingak-celinguk lihat kiri-kanan, muka belakang. “Dia nggak seperti kamu kali, tiap hari beli cendol.” Febi mengingatkan kebiasaanku.

Seminggu sudah berselang sejak percakapanku dengan Febi, sejak saat itu aku tidak pernah membahas tentang Mico begitu juga dengan Febi, dia tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang Adit.

Hari-hariku berjalan seperti biasa. Pergi sekolah dan pulang sekolah jalan kaki. Tidak ada yang berubah kecuali perasaanku. Sesekali aku curi-curi pandang pada Mico. Dan ketika aku bertemu Mico, jantungku selalu berdetak kencang, darahku seakan berhenti mengalir, aku tidak berani memandang matanya. Oh tuhan tolonglah hambamu ini. Begitulah ratapku dalam hati.

Febi pernah bertanya padaku, waktu perjalanan pulang sekolah. “Cendol, gimana?” begitulah Febi membuka pembicaraan denganku. “Gimana apanya?” aku berlagak tak mengerti. “Kamu dengan Mico.” Febi memperjelas kata-katanya. “Aku dengan Mico. Kamu nanyanya kayak aku punya hubungan aja dengan Mico, orang aja nggak kenal.” Aku menjawab dengan santai. “Justru itu, setidaknya kamu harus kenal Mico, kamu kan suka sama dia.” Kata Febi. “Kamu sendiri gimana?” aku balik nanya Febi. “Aku beda Fem, aku udah kenal dengan Adit, aku Cuma butuh waktu untuk mengungkapkan isi hatiku. Sedangkan kamu kenal aja belum.” Ungkap Febi tak mau kalah.

“Habis gimana Feb. Aku juga pemalu seperti kamu.” Aku menarik nafas dalam lalu terdiam sejenak. “Biarlah Feb, semua berjalan seiring bergulirnya waktu.” Kataku.

“Terserah kamu deh.” Sepertinya Febi tidak mau membantah kata-kataku. Mungkin dia juga merasakan hal yang sama denganku, tidak bisa memperjuangkan cinta.

***

Hari ini aku kerumah Febi. Kami mau mengerjakan tugas kelompok dari bu Sri. Pelajaran trigonometri ini cukup susah bagi kami. Kami terpaksa mengerjakannya, kalau tidak bisa mati berdiri kami didepan kelas.

“Fem kamu udah tahu belum kabar terbaru?” tiba-tiba Febi bertanya padaku dengan mimik yang sangat serius. “Kabar apa?” aku menanggapinya sambil menyelesaikan soal yang terakhir. “Tapi kamu janji ya, nggak bakalan marah.” Kali ini bukan wajah Febi saja yang serius, tapi kata-katanya juga. “Aku janji. Tapi apa dulu beritanya?” aku menjawab antara rasa ragu dan ingin tahu. “Mico… Mico udah jadian sama Risa.” Febi menjawab dengan pelan.

Darahku berdesir mendengarnya. Serasa disambar petir disiang bolong. Aku tak mampu berkata-kata lagi. “Fem, kamu nggak pa pa kan?” aku tak mampu mendengar kata-kata Febi lagi. Pikiranku menerawang pada Mico, tanganku mengemasi buku matematika kedalam tas. Aku tak peduli lagi dengan pr matematika, aku tak peduli kalau dihukum Bu Sri. [*]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun