Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita terjebak dalam rutinitas yang terbatas pada lingkungan yang homogen---sama sekolah, sama teman, dan sama pengalaman. Namun, di sinilah pentingnya kegiatan seperti ekskursi. Bagi saya dan teman-teman di SMA Kolese Kanisius Jakarta, ekskursi 2024 ke Pondok Pesantren Terpadu Bismillah di Serang, Banten, menjadi kesempatan emas untuk keluar dari zona nyaman. Dua hari satu malam yang penuh makna mengajarkan kami tentang nilai-nilai toleransi dan kebersamaan, yang tidak hanya memperkaya pengalaman hidup tetapi juga memperkuat identitas kami sebagai pelajar Indonesia.
Ketika berada di pesantren, kami mengikuti berbagai aktivitas, dari mengaji hingga belajar menulis dan membaca aksara Arab. Meski kegiatan ini berbeda dari keseharian kami, justru di sanalah saya menemukan makna mendalam. Salah satu kutipan yang saya ingat adalah dari Mahatma Gandhi, "Agama saya didasarkan pada kebenaran dan tanpa kekerasan. Kebenaran adalah Tuhan saya. Tanpa kekerasan adalah jalan saya." Kutipan ini sejalan dengan apa yang diajarkan oleh para ustaz saat seminar tentang Pancasila dan toleransi.
Ekskursi yang Mengubah Perspektif
Di Pondok Pesantren Bismillah, kami tidak hanya belajar tentang Islam, tetapi juga tentang bagaimana Pancasila, sebagai ideologi bangsa, mengajarkan toleransi yang mengakar di setiap sila. Sila pertama, misalnya, "Ketuhanan yang Maha Esa," mengingatkan kita akan kewajiban menghormati kepercayaan masing-masing individu. Ketika ustaz menjelaskan, terasa betapa pentingnya menghargai perbedaan keyakinan, bukan hanya sebagai konsep tetapi sebagai praktik hidup.
Banyak orang mungkin merasa bahwa hidup di negara yang multikultural seperti Indonesia rentan menimbulkan konflik. Namun, justru dari seminar ini saya menyadari, meski berbeda keyakinan, setiap agama di Indonesia mengajarkan tujuan yang sama: menyebarkan kebaikan. Maka, mengapa perbedaan harus dijadikan alasan untuk terpecah?
Refleksi dalam Kebersamaan
Selama di sana, saya menyadari bahwa kami berbagi pengalaman yang sama---tawa, kebingungan saat belajar mengaji, dan keheningan dalam shalat. Pengalaman ini mengajarkan kami bahwa meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, kita memiliki banyak kesamaan. Saat mengaji, saya melihat betapa serius teman-teman saya, meskipun mereka tidak terbiasa dengan kegiatan seperti ini. Mereka belajar dengan sungguh-sungguh, dan itu menciptakan rasa saling hormat yang sangat kuat di antara kami.
Saya teringat pepatah lama, "Tak kenal maka tak sayang." Ekskursi ini mengingatkan bahwa kita tidak akan benar-benar memahami atau menghargai budaya dan kepercayaan orang lain jika kita tidak terlibat langsung. Dengan mengikuti kegiatan di pesantren, kami lebih memahami makna dari kehidupan yang berbeda namun saling menghormati. Bahkan, saya menyadari bahwa selama ini kita cenderung menghindari hal-hal yang berbeda dari kita karena takut, bukan karena kita benar-benar tidak setuju.
Melihat Pancasila sebagai Landasan Persatuan
Pancasila bukan sekadar deretan kata-kata atau teks dalam dokumen resmi. Di sini, kami memaknai Pancasila sebagai panduan hidup. Sila-sila dalam Pancasila adalah landasan yang kuat untuk menjaga persatuan, bukan hanya di antara orang Indonesia yang berbeda agama, tetapi juga antar suku, ras, dan budaya. Seorang ustaz mengatakan bahwa "Pancasila adalah anugerah yang menyatukan perbedaan menjadi kekuatan." Kalimat ini begitu kuat, mengingatkan bahwa Pancasila adalah pegangan untuk hidup bersama dalam damai.
Kesadaran Akan Tanggung Jawab Bersama