Pelanggaran HAM merupakan salah satu permasalahan yang paling sulit diselesaikan di Indonesia. Pelanggaran HAM berat sendiri telah diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 yang memaparkan bahwa pelanggaran HAM berat mencakup kategori kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pelanggaran HAM berat masuk ke dalam jenis kejahatan luar biasa atau yang biasa disebut dengan Extra Ordinary Crimes.
Pelanggaran ini diduga dapat menyebabkan kerugian material maupun immaterial yang memicu perasaan tidak aman bagi perseorangan maupun kelompok masyarakat. Untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM berat, diperlukan adanya pengadilan khusus untuk menegakkan keamanan dan perdamaian.
Hingga saat ini, baru terdapat empat pengadilan HAM yang ada di Indonesia yaitu Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Medan, dan Pengadilan Negeri Makassar.
Untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat, terdapat dua klasidikasi yang ditentukan yaitu Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Perbedaannya adalah pengadilan HAM dibentuk untuk melakukan pengadilan bagi pelaku yang melakukan pelanggaran HAM berat di masa mendatang, sedangkan pengadilan HAM Ad Hoc dilakukan untuk mengadili para pelaku yang melakukan pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Dilansir dari Tempo (16/02/2020), penetapan kasus pelanggaran HAM di Paniai dilakukan dengan pengadilan HAM Ad Hoc yang diputuskan dalam sidang paripurna.
Di Indonesia, Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk berdasarkan pada usulan DPR dengan memperhatikan locus dan tempus deliciti dari peristiwa yang terjadi. Selain itu, usulan ini harus berdasarkan pada hasil penyelidikan dari Komnas HAM dan penyidikan Kejaksaan Agung.
Jika Komnas HAM telah mengumpulkan bukti penyelidikan dan Kejaksaan Agung juga telah mengumpulkan bukti lanjutan dari penyidikan, maka DPR harus memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk mengeluarkan keputusan Presiden agar terdapat kepastian hukum sesuai asas dasar pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc ini.
Penyelesaian Kasus HAM berat di Paniai ini dapat terjadi apabila keselarasan antar lembaga yang bersangkutan terpenuhi. Namun, perbedaan lembaga yang menangani kerap memicu kekhawatiran tersendiri seperti (1) wewenang tahap penyelidikan yang diberikan pada Komnas HAM; (2) wewenang tahap penyidikan dan penuntutan yang diberikan pada Kejaksaan Agung; dan (3) wewenang tahap pengadilan yang diselesaikan oleh Mahkamah Agung.
Kekhawatiran ini muncul akibat adanya indikasi perbedaan visi dalam masing-masing lembaga. Oleh karena itu, diperlukan adanya penyelarasan visi antar lembaga agar kasus pelanggaran HAM terutama tragedi Paniai dapat terselesaikan dengan baik.
Sayangnya, dalam kasus ini keluarga korban tetap tidak percaya bahwa sidang yang dilakukan akan membawa keadilan bagi mereka. Berdasarkan informasi dari VOA (21/09), Tineke Rumkabu selaku Ketua organisasi korban pelanggaran HAM (Bersatu Untuk Kebenaran) kembali mempertanyakan satu terdakwa di pengadilan.
Oleh karena itu, wajar jika keluarga korban mempertanyakan pelaku lain yang diduga turut terlibat. Yones Douw sebagai pengacara dan pendamping keluarga korban menilai negara sedang melindungi pelaku yang sebenarnya dalam kasus ini. Menurut Yones, proses pengadilan yang dilakukan hanya untuk memenuhi tuntutan dan memperbaiki nama baik Indonesia di tingkat internasional.