“Bila pelanggan rusuh, jadilah pelayan tangguh, penuh asuh, tiada rapuh! Hingga pelanggan pun tersentuh jadi patuh.” Kalimat motivasi ini dibagikan salah satu sahabat dekatku yang bekerja sebagai ASN di salah satu lembaga pemerintah non kementerian (well, sebenarnya kami satu instansi tapi berbeda kota).
Pada hari itu, sahabatku ini ternyata telah melayani 18 orang yang meminta pelayanan/informasi. Menurut ceritanya, dari 18 orang yang datang, 3 orang diantaranya lumayan rewel, sehingga memerlukan kesabaran lebih untuk menghadapinya.
Setiap Aparatur Sipil Negara atau ASN, dimana pun ia bekerja, sejatinya memang seorang pelayan. Pelayan publik, baik publik umum maupun publik di internal instansinya.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, disebutkan bahwa salah satu tugas ASN adalah memberikan layanan kepada publik secara jujur, tanggap, cepat, tepat, akurat, berdaya guna, berhasil guna, dan santun. Berbicara tentang memberikan layanan, aku jadi ingin bercerita tentang pengalaman selama menjalankan tugas sebagai staf Humas.
Sebagai staf Humas, pekerjaan menuntutku untuk berhubungan dengan banyak orang, baik itu pegawai di lingkungan kantor maupun publik di luar kantor. Keduanya menjadi pelanggan untuk aku layani.
Banyak cerita seru seputar memberikan layanan. Dari pengalaman, aku bisa simpulkan beberapa hal yang membantuku dalam menjalankan tugas sebagai pelayan publik.
Cepat Tanggap
I don’t know why, but I often feel and think that I’m not that smart, I’m not that creative, atau berwawasan luas. Having this kind of thought, aku tahu aku harus mencari cara agar tetap dapat berkinerja dan berkarya dengan baik.
Salah satu caranya dengan cepat tanggap. Or in my case, lebih tepatnya cepat dalam merespon. Terutama merespon saat orang lain menghubungiku, baik melalui pesan singkat atau telepon.
Tahun 2017 lalu, aku diberi amanat untuk memegang jabatan yang salah satu tugasnya adalah berhubungan dengan teman-teman media/wartawan. Mereka yang ingin mencari informasi, wawancara, dan/atau mengundang pimpinan di instansiku menjadi narasumber di program mereka, harus menghubungiku untuk kemudian dibuatkan janji dengan pimpinan.
Setiap ada media/wartawan yang menghubungiku, aku selalu berusaha untuk langsung memberikan respon, walau pun sekadar mengatakan “Baik Mas, terima kasih atas undangannya. Aku sampaikan ke pimpinan dulu ya. Nanti aku kabari lagi.” Atau “Okay, Mba.. ku lapor atasan dulu ya. Mudah-mudahan nanti kami bisa hadir.”
Even though it sounds simple, tapi ternyata respon cepat ini menjadi salah satu hal penting dalam melayani publik. Bisa jadi karena respon cepat ini membuat orang yang dilayani merasa dihargai. Merasa diprioritaskan.
Mungkin ya. Tapi pengalamanku mengatakan respon cepat sangat membantuku mendapatkan kepercayaan, baik dari publik yang aku layani maupun dari pimpinan.
Seorang teman media pernah bilang, “Teh, makasih ya udah cepet jawab WAku, walau ujung-ujungnya ngga bisa wawancara. Tapi karena cepet dijawab, ku masih ada waktu buat nyari narsum yang lain.”
See, sebenarnya aku tak bisa memenuhi permintaannya untuk wawancara, tetapi dia tetap berterima kasih ‘hanya karena’ aku cepat merespon.
Jujur
Pernah membaca quote ini “Orang-orang yang suka berkata jujur akan mendapati tiga hal: kepercayaan, cinta, dan rasa hormat”? Aku pernah, dan setuju dengan quote-nya. Menurutku jujur menjadi poin penting dalam melayani publik. Sepahit apapun, yaelah, kejujuran lebih dihargai daripada kebohongan.
Menurut kbbi.web.id, jujur itu artinya lurus hati, tidak berbohong, (misalnya dengan berkata apa adanya). Jika memang suatu ketika kita tidak bisa memenuhi permintaan publik, ya katakan tidak bisa.
Saat kita tidak tahu tentang satu hal, ya sampaikan kita tidak tahu. Sebagai contoh (ini pengalaman pribadi lagi ya), tiba-tiba ada seseorang teman media secara informal menanyakan kebenaran suatu informasi yang aku sama sekali tidak tahu tentang hal itu.
Walau pun sebagai Humas harusnya tahu hampir semua informasi di instansinya, tapi saat itu aku menjawab “Wah, aku tidak tahu Mas. Belum dapat informasi apa-apa tuh.”
Masnya jawab “Masa sih ngga tahu, Mba kan Humas harusnya update informasi dong”. Jleb loh rasanya dibilang begitu, tapi ya memang aku tidak tahu. Pada akhirnya malah aku yang minta informasi, kemudian aku teruskan informasi tersebut ke pimpinan untuk ditelusuri lebih lanjut.
Setelah akhirnya ditemukan kebenaran atas informasi tersebut, ku kontak lagi Masnya. Pesan moralnya, kalau saja saat itu aku ‘sok tau’, bisa jadi aku tidak mendapatkan informasi dari teman media itu dan kebenaran informasinya tidak bisa ditelusuri.
Ramah dan Bersahabat
Kembali ke cerita sahabatku yang melayani 18 orang dalam sehari. Membayangkannya saja aku capek, apalagi mengalaminya. Tapi capek atau tidak, seorang pelayan publik tetap harus ramah dan bersahabat saat melayani.
Suatu hari pernah menghadapi teman media yang ‘maksa’ untuk bisa segera wawancara, padahal saat itu waktu pimpinan belum memungkinkan untuk diwawancarai. Hampir setiap jam ditanyain, “Mba, bisa kan wawancaranya? Sore ini ya?”. Walau pun sudah dijawab, “Kemungkinan tidak bisa hari, Pak. Kami usahakan besok atau lusa.” tetap aja satu jam kemudian dia telepon lagi “Mba, gimana? Sudah bisa wawancara sekarang?”. Setengah jam kemudian dia WA, “Mba, kalau pimpinan Mba ngga bisa, Mbanya aja yang diwawancara ya?”.
Walau pun kesal dengan kegigihannya agar bisa wawancara hari itu, but I know Bapaknya hanya menjalankan tugas, dia pasti mendapat tekanan dari atasannya. So, walau pun greget, ku coba ajak Bapaknya bercanda “Pak, kalau saya yang diwawancara, nanti saya tambah terkenal.
Repot, Pak. Sekarang saja banyak teman-teman media yang kontak saya, apalagi kalau saya tambah terkenal.” Tak disangka, candaan itu membuat Bapaknya melunak, dan akhirnya terus bilang “Mbanya bisa aja.
Tapi beneran Mba, saya diminta atasan untuk bisa wawancara.” “Saya tau Pak, saya juga maunya Bapak sekarang wawancara, jadinya saya tidak dikejar-kejar sama Bapak. Tapi memang belum bisa. Mohon maaf ya Pak.” Dan akhirnya si Bapak pun mengerti. Alhamdulillah.
Memang tidak mudah untuk tetap ramah dan bersahabat, apalagi saat menghadapi orang rewel. Tapi yakinlah, seringkali (meski pun tidak selalu) keramahan seperti seorang sahabat, akan membuat orang yang dilayani merasa dihargai dan diperhatikan. Walau pun dia tetap rewel, setidaknya kerewelannya akan berkurang. Hehehe.
Solutif
Sebenarnya ada banyak hal penting yang diperlukan untuk menjadi pelayan publik yang baik. Tapi yang ku rangkum hanya empat. Setelah cepat tanggap, jujur, serta ramah dan bersahabat, yang terakhir adalah solutif.
Ya, setiap orang yang datang meminta pelayanan/informasi, pada dasarnya dia memerlukan solusi untuk menyelesaikan permasalahannya. Dan tugas kita sebagai pelayan publik, untuk membantu mencarikan solusi tersebut.
Cerita terakhir (di tulisan ini) soal pengalaman dengan teman media ya. Pernah ada teman media yang bertanya soal permasalahan yang sebetulnya bukan kewenangan instansiku.
Sebenarnya aku bisa dan cukup menjawab, “Mohon maaf Mba, itu bukan kewenangan kami. Jadi kami tidak bisa menjawabnya.” Selesai kan. Namun, sebagai pelayan yang baik, aku mencoba memberikan lebih. Ku cari tahu, sebenarnya itu kewenangan siapa, dan kira-kira adakah orang yang bisa dihubungi terkait permasalahan itu atau tidak.
Setelah mendapatkan informasi tentang siapa yang berwenang dan siapa yang dapat dihubungi, informasi tersebut ku sampaikan kepada teman media. And she thanked me for that. “Terima kasih Mba, sudah membantu.” Kalimat itu rasanya memberikan kepuasan tersendiri. Setuju kan?
Jadi, itu sedikit cerita tentang pengalaman sebagai pelayan publik. Aku yakin banyak teman-teman ASN yang mempunyai cerita yang lebih seru. Mari bersama kita lakukan yang terbaik, karena pada akhirnya kebaikan yang lakukan, akan kembali menjadi hal yang baik untuk kita. ASN, Melayani Bukan Dilayani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H