Mohon tunggu...
Nella Mokalu
Nella Mokalu Mohon Tunggu... Musisi - ❤️

hai

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepiring Nasi

3 November 2018   10:08 Diperbarui: 3 November 2018   10:16 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Habsikan makananmu Reiko!" bentak ayah sambil melihat piringku yang masih berisi banyak nasi dan lauk.

"Tidak! Sudah Reiko bilang kalau Reiko kenyang!" bentakku balik.

Aku menghentakkan meja makan dan langsung masuk ke kamarku. 

"Untuk apa aku menghabiskan makananku jika aku sudah kenyang?"gumamku sambil mengambil handphone dan duduk di kasurku, "kenapa setiap kali aku makan harus dihabiskan? Ya kalau kenyang tinggal dibuang. Begitu saja susah."

Aku tumbuh di keluarga yang sangat berkecukupan. Ayahku merupakan pemilik dari perusahaan rempah-rempah dan bahan makanan lainnya yang dikembangkan dari usaha kakekku pada masa penjajahan Belanda. Sehingga bagiku membuang makanan adalah hal yang biasa karena kita bisa membeli makanan dengan mudahnya. Namun, orangtuaku tidak berpikir seperti itu. 

Bagi mereka membuang makanan menunjukkan bahwa kita tidak bersyukur atas apa yang kita dapatkan karena banyak orang di dunia ini yang masih bersusah payah untuk mencari makan bahkan ada yang mati kelaparan.

 Tok tok tok

Seseorang mengetok pintu rumah kami dengan kencang sampai terdengar di kamarku. Aneh, mengapa mereka tidak memencet bell saja? Aku pun keluar untuk memeriksa apa yang sedang terjadi.

Ketika aku membuka pintu kamarku, semuanya berubah. Seharusnya terdapat tangga yang menuju ke ruang tamu persis di depan kamar sekarang hanyalah sebuah meja dengan kalender menunjukkan tanggal 8 Maret 1930, masa penjajahan Belanda. Bukan hanya itu, rumahku seketika menjadi kecil dan terlihat tua. Semua barang-barang juga ikut berubah.

 Aku bisa melihat pintu rumah yang terbuka. Di luar, terdapat beberapa tentara yang sedang berbincang dengan kakekku. 

 "Apakah anda pemilik dari lahan di seberang sana?" kata seorang tentara sambil menunjuk lahan pertanian besar di ujung kampung.

"Iya betul," jawab kakek.

"Mulai sekarang, semua hasil dari lahanmu akan menjadi milik Belanda dan anda harus mencukupi apa yang kami minta setiap hari tanpa dibayar," jawab tentara itu.

"Bukankah kesepakatan kita 70% untuk Belanda dan 30% unutk keluarga saya?"tanya kakek.

"Sekarang kesepakatan itu tidak berlaku lagi,"jawab tentara itu sambil meninggalkan rumah.

"Ta.. ta.. tapi bagaimana saya mencukupi kebutuhan keluarga saya?" tanya kakek. Namun, tentara tersebut sudah pergi.

 Kakek menutup pintu dan masuk ke dalam rumah dengan raut muka yang cemas.

 "Ayahhh, aku belum kenyang," terdengar suara yang sangat familiar dari belakangku. Aku menoleh dan melihat ayahku yang masih kecil. Ia sedang mengangkat piringnya yang sudah kosong. 

"Bersyukur selagi kamu bisa makan nak. Mulai hari ini, tentara Belanda akan mengambil semua hasil dari lahan ayah dan berarti porsi makan kita semua akan semakin berkurang bahkan mungkin akan ada hari-hari dimana kita tidak bisa makan lagi," jawab kakek dengan lemas.

Walaupun kakek memiliki pertanian yang sangat luas tetapi untuk memberi makan keluarganya  pun sangat terbatas. Sekarang aku mengerti kenapa ayah selalu menyuruhku untuk menghabiskan makanan dan besyukur bahkan untuk sepiring nasi yang tidak seberapa banyaknya.

Tiba-tiba aku terbangun dari tidurku. Aku langsung keluar dan menuju ke meja makan. Masih ada ayah yang sedang duduk sambil memegang handphonenya.

"Ayah, dimana makanan Reiko tadi?"

"Masih ada di dapur nak, kenapa?"

"Reiko ingin menghabiskannya." 

"Bukannya tadi kamu berteriak kenyang? Ada apa dengan mu?"

 Aku hanya tersenyum dan kambali menghabiskan makananku. Akhirnya aku, Reiko, mengerti makna dari namaku sendiri yaitu bersyukur

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun