Kejora menitihkan air mata bercahaya. Kedua alisnya berlekuk pasrah. Kejora berkata, "Karena keegoisan saya ingin selalu Anda temani saya, saya mencegah Anda tidak terlihat dengan keluarga Kahyangan Anda."Â
"Puteri Kejora...., tidak mengapa, saya bahagia di sini..., cukup menangisnya, ya.... " Zio merapatkan tangannya di pinggang Kejora, memberikan kecupan singkat di dahi Kejora, Puteri berambut panjang hitam lurus yang lebih mungil darinya itu menengadah ke atas, tersenyum tipis dan berterima kasih, karena selama ini ia hanya berteman sepi.Â
"Sayang." Zio lirih memanggil.Â
"Siapa yang Anda panggil?" Napas keduanya bertubrukan, melahirkan denyut-denyut candu dan hangatnya mampu menggeser udara yang menyusup di inci kulit seperti berada di Kutub.Â
"Kamu, Kejora."
"Mengapa Anda seperti ini?" Kejora bertanya sendu, hati titisan Dewi itu tidak rampung digonjang-ganjing oleh gombalan Zio malam ini.Â
"Salahkah saya sayang pada Anda?" tanya Zio.Â
"Kita hanya berteman." Kejora menegaskan, netra bertubrukan dihadang oleh Kejora yang menundukkan kepalanya.Â
"Apakah hubungan pertemanan dilarang  menyayangi?"
****
Sebelum matahari menyapa dunia, Pak Tani dan Zio selalu membersihkan ladang di belakang rumah Pak Tani, kegiatan tersebut tidak pernah di lakukan saat raja siang gagah bersinar, guna Zio tidak diketahui oleh warga lain. Zio memanfaatkan kepercayaan warga terhadap makhluk halus ketika matahari tiada.Â
Sudah satu tahun Zio tinggal bersama Pak Tani, peri beralis tebal dengan jakun menggantung itu telah dianggap anak sendiri. Tidak pernah berinteraksi dengan manusia lain, terkurung dalam sepi, temannya hanyalah Kejora dan mendengarkan benda mati yang ribut atau menciptakan romansa.Â