Mungkin deret kata tak lagi bermakna
Ribuan lantunan musikalisasi puisipun tak ada arti
Kita tetap kita, dua anak manusia yang sibuk dengan menerka.
Aku dengan segudang tanya dalam hati, menerka jawaban yang tak pernah pasti.
kamu, kamu masih sibuk dengan hal-hal baru mu.
Tak pernah memberi ketetapan atas rasaku.
Rasa yang tidak pernah menemukan titik terang
dan kaupun tak kunjung memberikan penjelasan.
cukup..
kita hanya ragu, yang terpaku di waktu tetap.
Tak beranjak maju, tapi aku berniat mundur agar selamat.
Selamat dari patah hati, dan juga selamat dari luka yang barangkali akan kau hadiahi.
Dan pada akhirnya aku kebingungan.
Menyuguhi mu pamit semacam apa, melalui kata yang bagaimana?
Kenapa aku masih memikirkan kamu akan terluka, sedangkan kamu
kamu mungkin saja tidak memikirkan itu sama sekali sebagai hal yang penting untuk dirasa.
Aku tahu, kehilangan dan pergi itu hal pasti yang akan terjadi.
Dan yang akan ku tunai sendiri.
Lebih pasti dari rencana-rencana kita yang hidup menua, selamanya.
Bukankah hilang tetap saja hilang kan?
Tak apa, aku pamit dengan banyak tujuan dan rencana baru kedepan.
Sampai jumpa dititik terbaik menurut takdir.
Jika rindu mulai hadir, bukan kah kita masih memiliki banyak kenangan dalam galeri, atau kau bisa memutar musikalisasi puisi yang pernah ku buat. Atau mendengarkan musik favorite yang sering kita putar kan?
aku pamit, meski kenyataanya rumit
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H