Mohon tunggu...
Neli
Neli Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Sarjana Ilmu Keperawatan

Mahasiswa aktif semester 6 dengan Jurusan S1 Keperawatan Institut Kesehatan dan Bisnis Kurnia Jaya Persada. Minat dan bakat Meiliki di dunia tulis menulis (CopyWriter, content Writer, penulis artikel dan esai), Public Speaking (Moderator dan Mc), isu sosial, kepemimpinan, Desain Grafis dan pengabdian. Pengalaman berorganisasi sebagai Sekretaris Jenderal BEM kampus pada tahun 2023 dan Koordinator bagian wanita PMII komisariat Ilmu Eksakta pada tahun 2022. Pengalaman kerja sebagai CopyWriter Pt. Funvita Indonesia dan Mahasiswa Kampus yang mengajar Angkatan ke-5.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ancaman Konflik Laut China Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia

23 Maret 2024   04:35 Diperbarui: 23 Maret 2024   04:52 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permasalahan batas laut merupakan hal mendasar yang seharusnya segera diselesaikan dan disepakati oleh suatu negara. Wilayah Laut Cina Selatan merupakan salah satu hal yang saat ini masih terjadi dimana laut Cina selatan berpapasan langsung dengan beberapa negara, diantaranya Indonesia Vietnam, Malaysia, Brunei, Filipina, dan Cina. Karena hal inilah, persengketaan perbatasan di Laut Cina Selatan mempunyai dinamika yang cukup tinggi.

Perselisihan ini menjadi perhatian dunia dimana ketegangan yang ditimbulkan oleh negara-negara tersebut semakin berdampak terhadap stabilitas keamanan di kawasan tersebut. Berbagai hasutan dan kebijakan luar negeri dari masing-masing negara dilakukan untuk memenangkan klaim atas wilayah tersebut. Sudah menjadi kewajiban dari Indonesia sebagai negara berdaulat untuk dapat   berperan aktif dalam menjaga perdamaian dunia dalam bentuk ikut berpartisipasi menyelesaikan sengketa di perbatasan Laut Natuna.

Konflik Laut China Selatan

Klaim Laut China Selatan dimulai sejak tahun 1951 ketika perdana Menteri China Zhou Enlai menyatakan kepemilikan China atas kepulauan Paracel dan Spratly. Klaim ini dilandasi pada dokumen yang di keluarkan oleh Rajin Goumindang (Koumintang) pimpinan Chiang Kai-Shek dimana saat itu menguasai Tiongkok. Pada tahun 1951 Perdana Menteri Vietnam Selatan membuat pernyataan di konversi perdamaian San Francisco mengenai kepemilikan Vietnam atas kepulauan Spratly dan paracel. Pada tahun 1970-an Brunei dan Malaysia terseret kedalam perselisihan yang mengklaim landas kontinan di wilayah pantai Selatan dibawah hukum Laut Internasional (Konversi PBB tentang hukum laut-UNLOS) (Jinmang 2003).

Potensi kekayaan yang dimiliki Laut China Selatan menjadi konflik di berbagai negara pasalnya kepulauan Paracel dan Spratly yang memiliki cadangan Sumber Daya Alam (SDA) yang cukup besar, terutama mineral, minyak, dan gas alam. Berdasarkan data dari laporan Badan Informasi Energi AS (EIS) menyebutkan bahwa China memiliki cadangan minyak sebesar 213 Milliar barel dimana sekitar 10 kali cadangan Nasional Amerika Serikat (AS). Para ilmuwan Amerika Serikat memperkirakan terdapat sekitar 28 milliar barel minyak di kawasan Laut China Selatan (Angkasa, 2013).

Menurut data EIA cadangan sumber daya alam terbesar berasal dari gas alam di perkirakan sekitar 900 triliun kaki kubik, yang berarti sama dengan cadangan minyak yang berada di Qatar. Selain itu, perairan kawasan Laut China Selatan menjadi jalur pelayaran utama dan pusat habitat ikan sehingga banyak negara yang melalui kawasan tersebut sebagai jalur yang menguntungkan (Roza, Nainggolan, & Muhammad, 2013).

Pada 2002, China dan ASEAN menandatangani Deklarasi Perilaku Para Pihak (DoC), perjanjian informal yang mengikat kedua belah pihak untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, menghormati kebebasan navigasi, dan menyelesaikan konflik secara damai. DoC membuka jalan pada kode tata perilaku (CoC), kerangka kerja yang mengikat untuk penyelesaian sengketa. Harian The Strait Times Kamis, menyebutkan, pedoman yang diadopsi itu disebut Pedoman Percepatan Kesimpulan Awal dari CoC yang Efektif dan Substantif yang bertujuan untuk mempercepat proses negosiasi CoC. Namun, rincian soal pedoman itu tidak diberikan.

Pada tahun 2009 Cina mengajukan peta Nine Dash Line kepada PBB, namun di tentang oleh Filipina, Malaysia, hingga Indonesia. Per tahun 2016 pengendalian tetap arbitrase (PCA) di Denhag memutuskan bahwa Cina tidak memiliki hak Sejarah atas Laut Cina Selatan. Di sisi lain, selain mendapat pertentangan dari negara-negara ASEAN yang memiliki kepentingan di Laut China Selatan, klaim RCC atas garis Dash-9 mendapat tentangan dari Amerika Serikat. Dengan sekutunya merespon klaim RCC melakukan patroli dengan negara sahabat di wilayah Laut China Selatan dengan maksud bertajuk #freeandopenindopasifik yang bertujuan untuk menjaga kebebasan bernavigasi di Kawasan Laut China Selatan.

Laut China Selatan dan Timur kini menjaddi  Flashpoint  Kawasan yang telah menyebabkan hubungan antara China dan beberapa negara Asia Tenggara semakin menegangkan khususnya Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei dan Indonesia (Yang & Li, 2016).

Selain isu sengketa Laut China Selatan, Retno juga meminta dukungan China untuk implementasi konkret Pandangan ASEAN pada Indo-Pasifik (AOIP) yang merupakan inisiasi dari Indonesia dan ditandatangani para pemimpin ASEAN pada 2019. AOIP menjabarkan posisi bersama ASEAN dalam kerja sama, keamanan, dan kemakmuran kawasan, serta pendirian untuk tidak berpihak pada kekuatan besar mana pun yang bersaing demi mendapatkan pengaruh di kawasan.

Langkag strategis Indonesia dalam konflik Laut China Selatan

pemimpinan Indonesia dalam ASEAN Outlook in Indo-Pacific dapat diterima oleh kedua kekuatan utama (AS dan China) berdasarkan kapasitas Indonesia sebagai 'pemimpin ASEAN' dan 'sebagai jembatan' terjadinya dialog antara dua kekuatan besar dalam forum-forum ASEAN plus  (Agastia,  2020).  Diplomasi  pertahanan  menjadi  salah  satu  opsi  di  samping penguatan  kekuatan pertahanan sebagai upaya self-help sebagai strategi dalam mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah, tanpa meninggalkan prinsip bebas aktif yang tidak memihak (Waluyo, 2023).

Sementara dari Kebijakan pemerintah, Indonesia memprioritaskan pembangunan guna mencapai pertumbuhan ekonomi. Hal ini tercantum dalam Visi Indonesia 2045, di mana Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu prioritas utama (Bappenas, 2019). Walaupun penguatan kemandirian ekonomi dan penguatan peran Indonesia dalam diplomasi lebih tinggi daripada penguatan kapasitas pertahanan/militer, hal tersebut tetap menjadi perhatian pemerintah RI seperti yang tergambar dalam pembangunan Minimum Essential Force dalam menghadapi ancaman eksternal terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah serta keselamatan bangsa dan negara. Menkopolhukam sampaikan pemerintah akan terus melakukan kebijakan penguatan pertahanan, termasuk antisipasi ancaman di laut Natuna.

Dalam konteks politik, menjaga kedaulatan NKRI melibatkan upaya untuk memperkuat posisi Indonesia dalam diplomasi internasional dan regional, terutama di forum ASEAN, serta mempertahankan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif. Mengingat posisi geografis Indonesia yang strategis, adalah penting untuk mempertahankan keseimbangan dalam hubungan dengan kedua kekuatan besar tersebut, sambil menegaskan hak dan kedaulatan atas wilayahnya.

Sebagai  negara  yang  secara  geografis dekat tetapi tidak terlibat langsung dalam sengketa tersebut, Indonesia diharapkan dapat berperan efektif dalam mendudukkan para  negara pengklaim untuk mencari solusi yang menguntungkan bagi semua pihak. Peran Indonesia dalam penyelesaian sengketa Laut China Selatan setidaknya dapat didasarkan pada:

  • Meningkatkan Manajeman Perbatasan Wilayah Laut Natuna
  • Peningkatan Kegiatan Ekonomi melalui Eksplorasi Minyak di Wilayah Laut Natuna Pemerintah Indonesia terus berupaya memenuhi pasokan energi yang terus meningkat.
  • Meningkatkan Kapabilitas Pertahanan di Wilayah Laut Natuna.
  • Adapun kekuatan  TNI  yang  perlu  dibangun  dikepulauan  Natuna  adalah sebagai berikut
  • Membangun Pangkalan SukhoiSu-27
  • Siagakan 4 Helikopter AH-64E Apachec
  • Menambah 1 Batalion Infantri dari Kodam Bukit Barisand
  • Patroli Skuadron Jet Pekanbaru
  • Menambah Puluhan Kapal dari   Armabar TNI AL dengan adanya kekuatan TNI di Natuna tentu bisa menjadi alarm bagi Indonesia   terhadap   ancaman   yang   datang   dari   ketegangan LAUT    CHINA    SELATAN.    Penempatan pasukan    yang didukung oleh fasilitas yang memadai adalah sebuah keharusan, agar keamanan dan keutuhan NKRI dapat terjaga.

Diplomasi preventif dalam menyelesaikan konflik cukup berpengaruh terhadap adanya kesadaran negara-negara untuk tidak membantu keadaan. Sebagai negara yang berperan besar dalam penyelesaian konflik dikawasan Laut China Selatan, partisipasi Indonesia diakui oleh dunia internasional. Upaya-upaya yang dilakukan Indonesia untuk terus aktif mencari jalan konsolidasi dan menghancurkan arti penting kawasan Laut Cina Selatan juga dirasakan oleh dunia internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun