Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dalam kesuksesan suatu bangsa. Lewat pendidikanlah dilakukan penyebaran nilai-nilai dan norma-norma serta ilmu pengetahuan yang akan menjadi bekal dalam memajukan negara dan bangsa. Oleh karenanyalah proklamator RI sekaligus Presiden pertama Indonesia memilih untuk berinvestasi besar-besaran pada sektor pendidikan yang jauh lebih menguntungkan di masa depan ketimbang berinvestasi dalam sektor yang menghasilkan profit semata.
Namun layaklah hal ini diterjemahkan secara terburu-buru oleh pemerintah. Tuntutan yang sangat besar terhadap pendidikan justru membuat mereka memberikan tekanan yang besar pula terhadap institusi pelaksana pendidikan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa UN tahun ajaran 2009/2010 akan dimajukan dari April menjadi Mei, dengan alasan untuk memperbaiki prediket kelulusan.
Sesungguhnya ini bukan kali pertama perdebatan yang timbul dari kebijakan-kebijakan UN. Sejak awal diberlakukannya kebijakan pemerintah untuk mengadakan ujian nasional, telah muncul perdebatan dari berbagai kalangan yang menuntut agar pelaksanaan ujian nasional dihapus sebab bertentangan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003. Koalisi Pendidikan yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat menilai ada beberapa penyimpangan dengan digulirkannya ujian nasional diantaranya dari aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik seharusnya mencakup tiga hal yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tetapi yang dinilai dalam ujian nasional hanya satu aspek kemampuan yaitu kognitif.
Ditinjau dari aspek yuridis, beberapa pasal dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 58 ayat 1 menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Namun pada kenyataannya selain merampas hak guru melakukan penilaian, ujian nasional mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses.
Selain dinilai telah merampas hak guru untuk menentukan kelulusan dan kedaulatan sekolah. Pelaksanaan UN pun dinilai nekat karena sistem pendidikannya sendiri masih belum sempurna. Namun ada yang pula yang mengatakan bahwa keberadaaan UN mampu menjadi menjadi standar kualitas pendidikan nasional. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh mantan Menteri Pendidikan, Bambang Sudibyo, “UN dilaksanakan atas dasar standar kompetensi. Oleh sebab itu, yang harus dilakukan saat ini adalah meningkatkan mutu pendidikan siswa. Siswa yang pintar akan semakin terlihat pintar, sedangkan yang kurang pandai akan terpacu untuk terus belajar sehingga menjadi pandai.”
Namun pemerintah tidak bisa begitu saja menuntut siswa untuk semakin pintar tanpa adanya dukungan apapun. Hal pertama yang harus dilakukan adalah pemerataan infrastruktur dan kualitas pendidikan. Kita telah mengetahui bahwa terjadi gap yang sangat mengkhawatirkan tentang fasilitas pendidikan antara daerah desa dan perkotaan. Hal ini pun pasti berdampak pada kualitas pendidikan yang dihasilkan. Melihat kenyataan ini sejatinya pemerintah harus berfikir keras untuk menghilangkan gap tersebut, bukan lantas membuat pihak sekolah pontang-panting dengan kebijakan yang amat gegabah.
Melihat kenyataan dengan lebih jelas, besarnya kecurangan dalam pelaksaan ujian nasional tiap tahunnya tak lagi dapat dihindari. Hasil ujian nasional menjadi ajang pertaruhan gengsi dan reputasi sebuah institusi pendidikan sehingga cara-cara licik akan dilakukan demi mengkatrol nilai-nilai siswa didik. Sistem pengawasan yang bertujuan untuk meniadakan kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional justru dijadikan boomerang bagi guru. Sistem pengawasan silang ini justru dimanfaatkan guru untuk bekerja sama dengan peserta ujian nasional. Mereka mempermudahbahkan memberi peluang kepada siswa untuk menyontek.
Bukan hanya guru saja,penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan juga ikut-ikutan berusaha untukmenggelembungkan (mark-up) hasil ujian nasional tersebut. Selang lima tahun pun tidak menghapuskan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan ujian nasional. Bahkan pelaksanaan teknis pun tak kunjung membaik, toh, pada ujian nasional April lalu saja, masih banyak peserta yang tidak kebagian soal ujian.
Layaknya hasil ujian berdurasi dua jam yang menjawab keberhasilan proses pembelajaran tiga tahun, telah tereduksi sedemikian rupa dari sekadar bahan evaluasi kekurangan-kelebihan menjadi momok tunggal penentu masa depan siswa. Pelanggaran-pelanggaran serius yang terjadi di dalam pelaksanaan ujian nasional merupakan potret sistem pendidikan nasional yang sedang bermasalah. Kegagalan siswa didik ini seyogianya bukan tanggung jawab guru dan perangkat sekolah saja namun menjadi tanggungan pemerintah.
Oleh karenanya, demi menciptakan pendidikan nasional yang bermutu dan berkualitas, semua pihak harus mau koreksi diri, berbenah dan berubah. Bila semua komponen bangsa mau ikut bertanggung jawab untuk membenahi dunia pendidikan, niscaya kejujuran dalam pendidikan untuk kemajuan seluruh anak negeri, akan dapat terwujud. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H