Pilkada DKI Jakarta 2017 masih menghitung bilangan bulan. Namun, sejumlah politikus yang digadang-gadang akan maju menjadi calon gubernur dan wakil gubernur mulai ramai diperbincangkan. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Gubernur DKI Jakarta yang saat ini tengah menarik dukungan lewat TEMAN AHOK pun tak luput dari sorotan media. Namanya berkali-kali menjadi buah bibir karena sering terlibat konflik dengan berbagai pihak.
Mulai dari perdebatan panjang dengan DPRD soal dana siluman APBD, kisruh pembongkaran lahan Kalijodo, kisruh pembelian lahan Bumi Waras, sampai kasus reklamasi yang akhirnya ikut menyeret namanya.
Untuk kasus reklamasi, nama Ahok mulai terseret sejak M Sanusi, anggota DPRD DKI Jakarta ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (31/3). Anggota Partai Politik Gerindra itu diduga menerima suap berupa uang tunai sebesar Rp 1,1 miliar dari Ariesman Widjaja, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL). Suap tersebut berkaitan dengan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2035 dan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Salah satu sumber (kompasiana.com/sucihistiraludin) menyebutkan bahwa reklamasi bukanlah hal baru karena telah berlangsung sejak zaman Presiden Soeharto. Di Jakarta sendiri, reklamasi sudah dilakukan sejak tahun 1980-an oleh PT Harapan Indah, yang saat itu melakukan reklamasi di kawasan Pantai Pluit untuk permukiman mewah Pantai Mutiara. Lalu, sekitar tahun 1981, PT Pembangunan Jaya juga melakukan reklamasi kawasan Ancol sisi utara untuk kawasan industri dan rekreasi.
Kemudian pada tahun 2013, saat Jokowi – Ahok menjadi pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, pihak Agung Podomoro Land yang konon telah memiliki konsesi reklamasi sejak lama mulai meminta agar rencana reklamasi dipercepat. Saat itu, Ahok memutuskan untuk turun tangan dan bernegosiasi dengan pihak Agung Podomoro Land. Dari negosiasi tersebut, terdapat tiga syarat yang diberikan Ahok, yaitu: (1) Pihak Agung Podomoro Land hanya berhak menggunakan 55% lahan yang direklamasikan. Sedangkan 45% untuk jalur hijau; (2) Dari 55% tadi terdapat 5% tanah milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta; (3) Ahok meminta kontribusi tambahan 15% dari Nilai Jual Objek Pajak unit reklamasi yang terjual. Kontribusi yang diminta bukan dalam bentuk uang, melainkan bangunan fisik yang nantinya akan dibangun di atas tanah Pemprov DKI yang 5% tadi.
Syarat yang ketiga inilah yang membuat pihak Agung Podomoro Land keberatan, karena angka 15% dianggap terlalu besar. Mereka mencoba meminta bantuan M Sanusi dan pihak lain untuk bernegosiasi dengan DPRD. Namun, pada akhirnya M Sanusi justru tertangkap oleh KPK.
Ketiga syarat yang diajukan Ahok merupakan hal yang telah dipertimbangkan demi kepentingan warga DKI Jakarta, khususnya orang-orang yang berada di pesisir atau sekitar lokasi reklamasi. Namun, yang menjadi permasalahan adalah selama menangani izin reklamasi, Ahok malah berpegang pada Keppres No. 52 Tahun 1995 dan Perda No. 8 Tahun 1995. Padahal jika dilihat dari tahunnya, peraturan tersebut sudah usang. Hal senada juga disampaikan dalam kompasiana.com/fadlizontor, “Jadi menurut Mahfud MD, seharusnya Gubernur Ahok berpegang pada Perpres No. 122 tahun 2012 dan bukan Keppres No. 52 tahun 1995. Meskipun Keppres itu belum dicabut tetapi Perpres yang baru itu sudah secara langsung membatalkannya.”
Lalu, di sana dijelaskan pula bahwa Keppres No. 52 Tahun 1995 mendelegasikan Gubernur DKI untuk menangani Reklamasi Pantura Jakarta. Sedangkan pada Perpres No 122 Tahun 2012 dikatakan bahwa izin reklamasi dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Sampai pada 11 Februari 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan melayangkan protes dan menganggap izin yang diterbitkan Ahok illegal. Tapi tidak dihiraukan oleh Ahok.
Kalau sudah begini, Ahok tidak bisa dikatakan sepenuhnya benar. Seharunya jika memang ada kesalahan atau kejanggalan pada peraturan dan sebagainya, Ahok hentikan dulu izin reklamasi itu. Lalu, berdiskusi dengan menteri-menteri lain yang terkait untuk mencari jalan keluar yang tepat. Tapi, Ahok malah jalan terus sampai akhirnya kasus ini ramai diperbincangkan.
Nila Fauziyah