Saya menonton video youtuber Khalid Al Ameri yang satu  ini sambil nangis. Aneh? Mungkin aneh ya. Kenal juga nggak ngapain ikutan nangis.Â
Video ini mengisahkan Khalid Al Ameri kasih surprised ke ARTnya yang orang Mindanao, Filipina bulan Desember yang lalu.Â
Leila sudah kerja 5 th di keluarga Youtuber kondang itu. Dia sudah siap untuk melakukan packing dalam BalikBayan box untuk dikirim pulang ke Mindanao.Â
Surprised pertama Khalid adalah dia membayari ongkos box Balikbayan dan isinya. Tentu Leila happy banget, tapi masih ada lagi, Khalid sang majikan ikut ngawal BalikBayan box bareng Leila. Leila sangat terharu, majikannya baik banget. Beruntungnya dia.
Khalid ikut mengantar Leila sampe di rumah keluarganya. Di sana Khalid sadar bahwa Balikbayan box itu pada akhirnya tidak berarti apa-apa ketimbang nilai silaturahim bersama sanak keluarga di kampung halaman, itu lah yang terpenting. Well, happy ending.Â
Tapi tetap saya menonton sambil nangis. Lihat Leila disambut keluarganya yang berasal dari kalangan masyarakat bawah yang sangat sederhana tapi luar biasa hangat sambutan mereka bikin tangis saya makin deras.
Saya masih terus menangis, terutama bukan melihat kebahagiaan Leila atau kebaikan hati Khalid Al Ameri. Saya menangis karena yang terbayang masa pemerintahan mendiang Presiden Marcos, Filipina itu cukup kaya raya dan terpandang. Â
Bahkan saat itu mungkin setara atau sedikit lebih berpengaruh di Asia Tenggara daripada Indonesia. Expat-expat mereka menduduki posisi penting di perusahaan multi nasional tempat saya bekerja dulu. Juga di era 80-90an, pemandangan umum band atau penyanyi di kafe-kafe terkenal atau hotel berkebangsaan Filipina.
Tapi apa yang terjadi sekarang, paska tumbangnya rezim Marcos, ketidakstabilan politik terus menerpa Filipina. Mereka tidak bisa bangkit mengejar ketertinggalan dengan negara Asia Tenggara lainnya.Â
Saat Filipin jaya, rasanya Malaysia saat itu belum ada apa-apanya. Saat itu Amerika pun meletakkan pangkalan angkatan lautnya di Subic Bay yang besarnya hampir sebesar Singapura. Ibaratnya manusia, Filipina itu mantan orang kaya. Ya, dulu mereka kaya. Sekarang? Tidak lagi.
Saya sedih melihat perjalanan suatu bangsa yang serumpun dengan kita berhamburan ke seantero dunia untuk bekerja sebagai ART atau penjaga toko (profesi umum warga philipina karena mungkin karena kemampuan bahasa Inggris mereka lebih baik). Kesulitan ekonomi memaksa mereka, mantan 'orang' kaya itu, untuk merantau.
Saya sadar, orang Indonesia juga  yang jadi TKW dan TKI di manca negara juga sangat banyak. Sebagian mereka mengisi profesi yang menuntut kualifikasi pendidikan jenjang S1, S2 bahkan S3. Posisi yang tidak mereka peroleh jika bertahan di negeri kita sendiri. Mereka berdiaspora dan mampu hidup sejahtera di negeri orang.Â
Namun, sebagian besar lagi  bekerja di sektor informal, sebagai asisten rumah tangga, kadang sampai bertaruh nyawa dan kehormatan selama bekerja di luar negeri. Belum lagi intaian para predator TKW mulai dari turun pesawat hingga terminal bis untuk menuju kampung halaman. Semua mereka jalani dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga di kampung dengan merantau.
Yang membuat saya sedih adalah, barangkali para orang tua mereka (warga Filipina), kakek mereka dulunya di tahun 70an bisa jadi orang-orang terpandang yang berkecukupan. Tapi rezim yang korup dan zalim telah menghancurkan masa depan cucu dan cicit mereka.
Yang bikin air mata saya jatuh adalah membayangkan anak cucu kita bangsa Indonesia, bagaimana pula kelak nasib mereka. Dengan utang luar negeri 5000 triliun lebih dan bunga ratusan triliun setiap sekian bulan sekali, akan kah mereka masih punya masa depan?Â
Dengan kepungan segala kepentingan asing di dalam negeri, serbuan TKA, pelecehan kemampuan kita oleh pejabat negeri ini, betul-betul membuat saya sedih dan pesimis.Â
Semoga bangsa Indonesia segera bangkit dari mati surinya dan mampu menyelamatkan kehormatan dan martabat bangsa ini.
Bekerja di luar negeri sungguh bukan perbuatan yang tercela, merekalah pahlawan devisa. Semestinya tersedia lapangan kerja yang cukup bagi bangsa ini tetapi pilihan mencari yang lebih baik adalah hak mereka.
Yang saya tangisi adalah jika bekerja di negeri orang bukan lagi sebagai pilihan tetapi keniscayaan untuk bertahan hidup dan menyekolahkan anak, itupun asal sekolah. Jika tidak melakukan, terancam jadi pengangguran dan pengemis di negeri paling diberkahi di seantero bumi ini. Â
Dulu ada Marcos di sana dan dia zalimi bangsanya sendiri. Kini, dengan segala dinamika yang terjadi di negeri ini, saya menyimpan keraguan apakah negeri ini bisa selamat, apakah bangsa ini masih punya kesempatan? Wallahu a'lam.
-nd
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H