Bismillah.
Tulisan ini dalam rangka menanggapi tulisan Denny JA yang berjudul "NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Yang Manusiawi?" Penting untuk dicatat, hasil riset suatu lembaga yang konon dikendalikan oleh ahli-ahli bidang ekonomi Islam syariah yang menjadi rujukan Denny JA tidak serta merta mewakili pendapat ulama Islam yang rajih sebab perlu ditinjau apakah mereka mendasarkan penelitian mereka pada dalil-dalil Al Quran dan Hadith yang shahih dan dengan sanad yang jelas tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdasarkan pemahaman salafus shalih.
Sejak awal tim perumus islamicity index menyatakan bahwa mereka hanya memasukkan nilai Al Quran sebatas sisi hubungan muamalah tertentu saja. Peneliti tidak memasukkan faktor hubungan individual dengan Allah yang justru menjadi dasar akidah Islam yaitu Tauhid. Penihilan nilai-nilai akidah dari islamicity index menjadikan hasil penelitian itu tidak imbang. Bagaikan membandingkan apel dengan duku. Alhasil, negara-negara muslim justru jauh tertinggal peringkatnya.
Singkat kata, hasil riset menunjukkan 10 negara tertinggi Islamicity indexnya justru diduduki negara-negara barat non muslim demikian pula dengan happiness index. Melalui tulisannya Denny JA seolah menyatakan tidak perlu repot-repot menjadikan NKRI bersyariah kalau cuma mau menerapkan Islamic values. Maka dia bertanya, mau label NKRI bersyariah atau secara substansial sudah menerapkan nilai islami?
Ada dua hal yang perlu diluruskan. Pertama syariah Islam bukan lah tentang label. Menjadi muslim berarti berkomitmen melaksanakan syariah Islam secara kafah seumur hidup. Kedua, dalam Islam tidak cukup sekedar Islam secara substansial namun harus benar pelaksanaannya.Â
Tidak bisa kita beribadah secara substansial tanpa mengikuti tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sebagaimana dilaksanakan oleh para salafus shalih. Ketidakmampuan seorang muslim dalam memenuhi perintah Allah dan disunahkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak menjadikan hukum Allah itu menjadi batal apalagi hilang. Tanggung jawab penegakan syariah dalam konteks negara adalah menjadi tanggung jawab penguasa atau pemerintah sebagaimana telah diamanatkan oleh sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa.
Jika kita ingin menguji seberapa comply negara-negara muslim dengan syariah Islam, maka Islamic value tidak boleh hanya sampai pada bidang muamalah tertentu saja tetapi harus mencakup bidang muamalah yang senyatanya telah diatur khusus dalam Al Quran dan As Sunnah yang disepakati oleh ijtima para ulama berdasarkan pemahaman salafus shalih.
Tujuan beragama adalah memastikan tercapainya tujuan hidup manusia yaitu beribadah kepada Allah untuk meraih surga, bukan berhenti pada keadilan, kemakmuran, pemerintahan yang bersih, apalagi sekedar penghormatan pada manusia. Segala aspek kehidupan harus dalam kerangka beribadah kepada Allah. Yang membuat Islam itu adalah agama yang menjadi tuntunan hidup adalah konsekuensi dibalik pernyataan tauhid. Tauhid arti sederhananya mengesakan Allah dari sisi Uluhiyah, Rububiyah dan Asma wa Sifat. Manifestasinya diuraikan dalam perbuatan amar makruf dan nahi munkar [QS 3:110].
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Demi dzat yang diriku berada di tangannya. Hendaklah kalian benar-benar melaksanakan amar makruf dan nahi munkar. Dan hendaklah kalian benar-benar mengambil tangan orang yang bodoh dan membawanya kepada kebenaran atau Allah 'Azza wa Jalla benar-benar akan memukul hati sebagian kalian dengan sebagian yang lainnya kemudian melaknat kalian sebagaimana Allah 'Azza wa Jalla melaknat mereka" [Tafsr ath-Thabary 4/657 dan Ibnu Ab Hatim dalam Tafsr Ibnu Katsr 3/161].
Karenanya jelas bahwa Islamicity index itu wajib memasukkan value amar makruf dan nahi munkar ke dalam penelitian mereka. Islam jelas berbeda dan faktor pembeda itu dapat menjadi kelebihan atau justru dianggap kelemahan, tergantung dimana posisi anda saat ini, sebagai pencari kebenaran atau pencari pembenaran?
Perlu dijelaskan lebih detil apakah Islamic value yang diteliti telah meliputi larangan-larangan yang ada dalam Al Quran berikut ini:
- Larangan makan babi, anjing, darah, dll.
- Larangan zina (free sex).
- Larangan meminum khamr atau minuman keras atau minuman serta zat memabukan lainnya.
- Larangan praktek LGBT.
- Larangan memakan riba.
- Larangan memfitnah.
Gaya hidup free sex sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat barat, makan babi, minum khamr atau miras, praktek LGBT sudah menjadi pemandangan yang biasa di negeri-negeri non muslim. Gaya hidup yang sangat konsumtif sangat erat dengan praktek riba yang hukumnya haram dalam Islam.Â
Kita paham bagaimana arus berita saat ini berlangsung. Kadang kita sudah tidak mampu lagi membedakan mana berita yang benar, mana yang hoax. Fitnah pun sudah sering dianggap kebenaran. Semua dikendalikan oleh kantor-kantor berita, stasiun televisi, mayoritas berasal dari dunia barat. Penyebab utama dari semua perilaku tersebut adalah tidak adanya dasar akidah tauhid di dalam masyarakat mayoritas di sana.
Bagaimana mungkin kemuliaan dan kebahagiaan diperoleh oleh negeri yang melakukan hampir seluruh larangan Allah itu? Setiap muslim wajib hidup di atas nilai-nilai Islam. Simpelnya begini, jika seseorang bertauhid maka dia akan memperbaiki semua aspek kehidupannya mengikuti perintah Allah dengan mengharapkan balasan dari Allah atas amal saleh yang telah mereka lakukan [QS an-Nahl/16:97].
Sejarah membuktikan saat islam mencapai masa keemasan di Andalusia pada abad 1000 masehi, akses terhadap ilmu pengetahuan terbuka dan tersebar. Ini membuktikan Islam dapat diterima oleh semua ras, agama dan golongan. Islam adalah pembawa pembaruan, penebar cahaya, bukan mendorong pada kegelapan jahiliah. Fakta sejarah menunjukkan saat kejayaan Islam di Andalusia, negeri barat menjadi maju setelah mereka berkiblat kepada Islam yang berdiri di atas tuntunan Al Quran dan As Sunnah sesuai pemahaman salafus shalih saat itu.
Yang terpenting adalah bukan mengubah format NKRI menjadi bersyariah atau tidak, namun penyelarasan hukum positif Indonesia dengan syariah yang mengikat umat Islam menurut hemat saya justru dapat menciptakan ruang publik yang manusiawi. Memanusiakan manusia secara hakiki.
Pekerjaan rumah pemerintah yang harus diselesaikan masih menumpuk. Dalam bidang ekonomi, pemerintah punya kewajiban menyelaraskan transaksi ekonomi dan perbankan dengan kepentingan para pelaku bisnis syar'i yang bebas dari riba, sedangkan di bidang sosial: peredaran miras yang dari hari ke hari semakin meluas sementara dampak buruk miras sungguh luar biasa, dan lain sebagainya.
Pada akhirnya, perlu tidaknya penyebutan NKRI bersyariah menjadi tidak penting lagi sepanjang Pemerintah mampu mengakomodir semua transaksi muamalah umat Islam yang telah diatur dalam Al Quran dan As Sunnah menurut pemahaman salaful shalih ke dalam hukum positif NKRI.Â
Bisakah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H