Mohon tunggu...
Nela Dusan
Nela Dusan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi KFLS dan Founder/Owner Katering Keto

mantan lawyer, pengarang, penerjemah tersumpah; penyuka fotografi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Black Friday, Sebuah Kegilaan Sesaat

22 November 2012   17:48 Diperbarui: 24 Januari 2019   00:45 1941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pinterest

Setiap tanggal 24 November segenap penduduk Amerika Serikat, tidak peduli ras, agama, warna kulit, semua merasakan gairah yang sama dalam menyambut  perayaan Thanksgiving Day. Thanksgiving day merupakan ajang silaturahmi versi orang Amerika Serikat. Layaknya lebaran bagi umat muslim Indonesia, orang Amerika pun mengenal mudik menjelang tanggal 24 November itu.

Kebetulan saya sedang berada di California pada hari thanksgiving 2011. Joe, suami Yanti, saudara sepupu saya memasakkan makanan khas thanksgiving, yaitu kalkun panggang lengkap dengan side dishesnya, seperti potato salad yang rasanya asam manis, turkey dressing, cranberry sauce, semacam kolak ubi merah dan jagung rebus.

Itu cerita mengenai makan malam di hari thanksgiving. Saya punya cerita yang menarik seputar hari Thanksgiving ini. Semenjak saya datang ke Amerika sekitar dua minggu sebelum Thangksgiving day, saya sering menyimak beragam iklan yang messagenya satu, bersiap menyambut Black Friday. Black Friday adalah hari diskon besar-besaran di semua toko di seantero Amerika Serikat yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya. Tidak akan berkesan thanksgiving tanpa Black Friday. Pada saat Black Friday semua toko besar seperti Walmart, Macy’s, JCPenney, Ross, Best Buys dan lain-lain memulai tradisi diskon sejak tengah malam sampai keesokan harinya.

Pada saat makan malam, obrolan kami tidak lepas dari Black Friday. Dari temannya Yanti, saya mendapat info bahwa ada waffle maker yang dijual dengan harga $2.99 satunya. Mata saya terbelalak. Wah pucuk di cinta ulam tiba begitu kira-kira perasaan saya. Sudah lama saya mendapat amanat dari Syifa, putri semata wayang saya untuk membeli waffle maker. Saya belum menemukan waffle maker yang sesuai (maksudnya kecocokan harga). Jadi pada saat saya dengar ada yang harganya tiga dolar, saya langsung tertarik. Beruntung Yanti dan Joe juga punya keinginan untuk mencari croc pot yang harganya tidak sampai $10. Akhirnya, jam 10 malam kami bertiga berangkat ke Walmart yang letaknya tidak jauh dari apartemen mereka.

Ada perasaan penasaran di hati ini, seperti apa sih suasana saat Black Friday. Sesampainya di sana, orang-orang sudah mulai berdatangan. Di Walmart, televisi 42” dijual sekitar $200 atau bahkan kurang dari itu. Jadi, bisa dibayangkan seperti apa suasananya. Begitu masuk saya menemui kesulitan untuk menembus kerumunan orang yang asyik memilih barang dan memasukkan begitu saja ke dalam trolley yang sudah menggunung. Sekejap saya, Joe dan Yanti langsung terpisah di tengah keriuhan suasana orang-orang yang kesurupan belanja. Jam menunjukkan pukul 10.30 malam dan antrian untuk membayar luar biasa panjangnya.

Sebelum berjalan menyusuri koridor peralatan masak, saya sempat tergoda untuk mampir melihat kerumunan orang yang sibuk memilih sesuatu. Ketika saya dekati ternyata mereka heboh memilih setelan piyama Hello Kitty dari bahan fleece (flannel yang sangat lembut dan hangat). Kontan saya latah, tangan ini langsung mampir ke rak dan mencomot satu piyama warna pink, ah ukuran 6-8, saya kembalikan. Saya mencari nomor 10-12 untuk Syifa. Akhirnya saya mendapatkan ukuran yang saya mau, langsung saya pegang. Selanjutnya saya berjalan menuju peralatan dapur untuk mencari waffle maker $3 idaman saya itu. Cari punya cari, waffle maker yang dimaksud tidak ada, ternyata sudah habis. Di rak yang tertulis $9.99, saya temukan Belgian waffle maker yang bisa diputar seperti yang sering saya jumpai di budget hotel di Amerika saat sarapan. Wah lumayan juga tuh 10 dolar untuk waffle maker yang keren seperti itu, keluaran GE pula. Akhirnya saya tenteng-tenteng box waffle maker tersebut berkeliling  sambil putar otak memikirkan cara saya membawanya nanti. Di perjalanan menuju kasir, saya sempat menyambar 1 box celana dalam wanita dengan gambar yang lucu dan dicontohkan oleh model yang langsing semampai. Saya terpikir untuk membelikan oleh-oleh tambahan buat salah satu keponakan saya. Tanpa tahu sebesar apa persisnya ukuran celana tersebut, saya langsung menyambar dan membayar di kasir. Belakangan di rumah saya buka plastiknya, alamak…ukuran celana dalam raksasa rupanya, padahal gambarnya seorang model semampai.

Kembali ke masalah bayar membayar, beruntung saya saat itu antrian kasir hanya sekitar 4 orang, namun belanjaan mereka segunung tingginya. Setelah menunggu beberapa lama, tiba-tiba seorang laki-laki mempersilahkan saya duluan. Tidak perlu GR, bukan karena dia gentleman atau dia suka sama saya, tapi karena partner belanjanya masih gerilya di belakang sana. Dia cuma kebagian tugas antri bayar. Karena temannya belum juga datang sementara gilirannya sudah sampai, maka pria yang ‘baik hati’ itu mempersilahkan saya membayar duluan. Senangnya hati ini. Tapi kesenangan saya tidak berlangsung lama. Saya memperkirakan belanjaan saya tidak lebih dari 25 dolar. Ketika saya disodori bill sebesar 45$, saya kaget sekali, loh kok? Saya tanyakan kasir berapa harga waffle maker yang saya bawa itu. Jawabannya mengaggetkan, $29.98. Waduh bagaimana ini. Kalo untuk harga sepuluh dolar oke lah, bisa saya paksakan atur kembali barang bawaan saya pulang ke Jakarta. Tapi, untuk 30 dolar berarti harganya tidak murah juga, sementara saya menghadapi kesulitan untuk mengatur bawaan saya nanti. Akhirnya, saya putuskan untuk membatalkan belanjaan saya yang satu itu. Untungnya saya belanja di Amerika, jika kita tidak puas atau berubah pikiran, dengan mudah kita bisa minta dibatalkan transaksi yang sudah dilakukan walaupun sudah sempat dibawa pulang ke rumah. Apalagi saat itu saya belum mengambil barangnya namun baru membayar saja.  Singkat kata, pembelian saya batalkan dan uang saya juga mereka kembalikan. Selesai.

Akhirnya setelah membayar untuk dua jenis barang seharga 11 dolar-an, saya kembali mengeksplorasi koridor demi koridor. Mata saya terbelalak melihat cara orang Amerika berbelanja. Mereka mengambil apa saja dalam jumlah yang gila-gilaan. Yang kocak adalah saat Joe mencari croc pot (semacam slow cooker) pesanan temannya yang harganya sekitar 7 dolar. Setelah pusing mencari, dia menemukan croc pot tersebut ada di trolley seseorang. Pantas saja sudah tidak bisa ditemukan lagi di raknya, ternyata sudah ludes diborong oleh orang tersebut. Joe mencoba untuk meminta dari orang tersebut, tapi orang itu keberatan. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saya saksikan Joe mengeluarkan uang dari dompetnya dan menyerahkannya kepada orang itu. Joe menerima box crock potnya itu. Tapi beberapa saat dia sadar, dia langsung menghampiri orang tersebut dan meminta uangnya kembali. Bagaimana mungkin dia membayar kepada orang yang belum lagi membayar kepada Walmart. Bagaimana caranya dia mendapatkan receipt atas pembeliannya itu. Tanpa receipt tidak ada barang yang boleh keluar, sangat konyol bukan. Akhirnya Joe berhasil meminta uangnya kembali dari orang itu dan melakukan pembayaran di kasir.

Begitulah sihir Black Friday demikian kuat, hampir saja berhasil menipu suaminya saudara sepupu saya itu. Untunglah dia segera sadar, kalau tidak, dia jadi harus membayar dobel. Pertama kepada si orang yang bertindak seolah-oleh penjual barang yang bukan miliknya dan yang kedua, dia tetap harus membayar di kasir. Syukurlah Joe masih diberi kesadaran.

Euforia Black Friday masih terus berlanjut. Lain cerita Joe, lain pula cerita Yanti. Dia menemukan barang yang dia cari tapi karena sudah habis di rak bagian bawah, dia harus mengambil dari rak atas. Dengan pesona Black Friday, sepertinya semua orang di Walmart sudah seperti terbius, entah bagaimana Yanti mampu memanjat sampai mencapai rak teratas yang lumayan tinggi dan melihat dia di atas sana, para pembeli yang lain karuan minta tolong dia untuk menurunkan barang-barang lainnya yang mereka inginkan. Jadilah untuk beberapa saat sepupu saya itu seperti pegawai Walmart yang menurunkan barang-barang dari rak atas. Sejenak semua pembeli bersatu saling bahu membahu untuk memperoleh barang-barang yang mereka inginkan namun bukan berarti mereka perlukan.

Saya merasakan sensasi yang sulit untuk diungkapkan sewaktu berada dalam Walmart. Rasanya antara geli melihat cara belanja orang Amerika yang serabutan, sekaligus ngeri, membayangkan banyaknya manusia yang tumpah ruah di tempat tertutup seperti supermarket itu. Sementara di luar sana masih banyak orang-orang yang antri menunggu giliran untuk masuk.

Selesai berbelanja berarti akhir babak awal dan dimulainya babak terakhir, yaitu bayar di kasir. Perjuangan kita berbelanja baru berakhir setelah kita berhasil membayar di kasir yang antriannya panjang seperti ular naga. Salah satu pelajaran yang saya petik dari acara belanja bareng ala Black Friday adalah, kita tidak boleh lupa menetapkan meeting point apalagi kalo sampai tidak bawa HP, karena kalau tidak ya kacau jadinya. Seperti saya, saking asyiknya kami bertiga terpisah, konsentrasi dengan pencariannya masing-masing. Setelah selesai berbelanja, barulah saya sadar kalau kami belum menentukan dimana saya mesti menunggu mereka. Untunglah saya  berdiri di tempat yang kira-kira bisa tampak oleh Yanti dan benar saja, Yanti sudah berada di luar. Tiba-tiba  petugas Walmart datang menghampiri saya dan memberitahu kalau saya sudah ditunggu di luar, ya ampun.

Pengalaman mengikuti acara Black Friday merupakan pengalaman yang seru walaupun belum tentu saya mau ulangi lagi mengingat suasana yang chaotic dan serba terburu-buru seperti sedang mengikuti acara supermarket sweep. Acara diskon dimanapun sama, mau di Jakarta ataupun di LA, euforianya sama, pesona sihirnya sama. Kalau sudah bicara diskon, bayangan bisa membeli barang dengan harga murah saja sudah membutakan. Namun, kadang saat kita sudah sendiri di rumah, kegalauan mulai menyergap, kenapa saya jadi beli barang ini ya…hehehe.

Nela Dusan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun