Mohon tunggu...
nela agustina
nela agustina Mohon Tunggu... Lainnya - XII MIPA 7

Hi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel Ahmad Yani

21 November 2021   09:16 Diperbarui: 21 November 2021   09:20 1072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

De beste zonen van Soekarno. Terdapat pula sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang dikenal sebagai de beste zonen van Soekarno, putera-putera kesayangan Soekarno, yang belum tentu komunis, bahkan ada diantaranya yang amat anti komunis, namun akan lebih patuh kepada Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI daripada siapa pun dalam struktur kepemimpinan Angkatan Bersenjata. Tapi dalam batas tertentu ini dianggap 'wajar' saja, karena Soekarno memang adalah Pangti. Perwira-perwira tinggi yang masuk kategori de beste zonen ini, namun kemudian berperanan dalam proses perubahan kemudian hari pada masa pasca Soekarno, antara lain adalah Letnan Jenderal Muhammad Jusuf, Letnan Jenderal Basuki Rahmat, Mayor Jenderal Amirmahmud, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie dan Mayor Jenderal Mashudi.

      Jenderal Jusuf dikenal sebagai salah satu tokoh Peristiwa Tiga Selatan. Ketika masih menjadi Panglima Daerah Militer di Sulawesi Selatan di tahun 1960, berpangkat Kolonel, ia dengan wewenang SOB-nya melakukan pelarangan kegiatan PKI di wilayah komandonya. Dua komando wilayah militer Selatan lainnya, yakni Kalimantan Selatan di bawah Kolonel Jusi dan Sumatera Selatan di bawah Kolonel Harun Sohar melakukan tindakan serupa. Dalam suatu momentum peristiwa lainnya, tahun 1965, Soekarno pernah akan menjadikan Brigjen M.

Jusuf sebagai Waperdam IV bidang ekonomi. Letnan Jenderal Yani menyatakan ketidaksetujuannya kepada Soekarno, dengan alasan yang bersangkutan masih muda dan tak cukup punya pengalaman politik. Jusuf sendiri, digambarkan cukup kaget, namun tak diketahui bagaimana apresiasinya terhadap ketidaksetujuan Yani itu. Sikap keras militer terhadap PKI itu masih serentetan dengan penangkapan tokoh tingkat pusat dari PKI, Ir Sakirman, sebulan sebelumnya oleh Garnisun Ibukota, justru karena suatu kritik terhadap Demokrasi Terpimpin. Bersama Sakirman, sejumlah tokoh CC PKI lainnya juga diperiksa, sementara Harian Rakjat milik PKI diberangus penguasa militer.

Salah satu tindakan keras militer yang lebih mutakhir, di bulan Mei tahun 1965, dilakukan oleh Panglima Daerah Militer Mulawarman di Kalimantan Timur, Brigadir Jenderal Soemitro, berupa penangkapan terhadap sejumlah tokoh organisasi Komunis dari Pemuda Rakyat maupun Gerwani, karena ucapan-ucapan provokatifnya terhadap Angkatan Darat. Pada waktu bersamaan Soemitro juga memecat seorang Komandan Kodim dan Komandan Batalion serta beberapa perwira staf yang dianggapnya punya hubungan dengan PKI. Di luar Angkatan Darat, tercatat pula beberapa nama, antara lain Laksamana Madya Udara Omar Dhani dan Letnan Jenderal Hartono dari Korps Komando AL (KKO) sebagai de beste zonen van Soekarno yang umumnya lebih toleran untuk tidak menyebutnya dekat dengan golongan politik komunis.

      Dari sisi sebaliknya, bukannya tak ada upaya penyusupan militer ke dalam tubuh PKI dan organisasi mantelnya. Jenderal Nasution misalnya, pernah menugaskan beberapa perwira melakukan tugas 'pendekatan' agar 'masuk' lingkaran kepercayaan PKI. Pimpinan Angkatan Darat juga melakukan hal serupa. Umumnya, penugasan dilakukan secara lisan tanpa dokumen tertulis demi kerahasiaan. Sungguh malang, bahwa di kemudian hari setelah angin kekuasaan berubah, perwira-perwira penyusup ini ikut ditangkap karena 'kasat mata' memiliki jalinan kedekatan dengan PKI. Hanya sedikit di antara mereka, yaitu mereka yang ditugaskan Nasution, dapat diselamatkan dari pembersihan. Tidak demikian halnya dengan yang kebetulan mendapat penugasan menyusup dari pimpinan Angkatan Darat yang kemudian tewas dalam Peristiwa 30 September 1965.

Kemampuan PKI menginfiltrasi militer, teristimewa Angkatan Darat, memang terlihat masih sejak awal kemerdekaan. Tatkala melakukan pemberontakan di tahun 1948, PKI di bawah Muso bisa mengerahkan dukungan kuat pasukan bersenjata dari kalangan Angkatan Darat melalui perwira-perwira yang bisa dipengaruhi mereka, seperti Kolonel Sungkono yang diangkat PKI sebagai Gubernur Militer, Letnan Kolonel Dahlan dan Mayor Sudigdo. Perwira-perwira ini mengerahkan sebagian batalion-batalion dari Resimen Panembahan Senopati. Mayor Slamet Riyadi --yang kemudian hari gugur dalam operasi penumpasan RMS di Ambon-- adalah salah satu komandan batalion di Panembahan Senopati ini, namun tak ikut serta dalam peristiwa. Komandan resimen ini sendiri, Kolonel Suadi, tampil dengan suatu peran abu-abu dalam rangkaian Peristiwa Madiun ini.

Bahkan Letnan Kolonel Soeharto yang kala itu bertugas di Yogyakarta sempat dipertanyakan 'peranan'nya karena diketahui, dengan diantar Kolonel Suadi, pernah menemui Muso menjelang peristiwa. Soal ini kemudian diklarifikasi, bahwa Soeharto menemui Kolonel Suadi untuk menyampaikan pesan Panglima Soedirman agar pasukan Panembahan Senopati tidak terpengaruh oleh PKI/FDR (Front Demokrasi Rakyat), dan Suadi lah yang membawanya kepada Muso supaya bisa tahu duduk perkara lebih jauh. Kepada Soeharto, Muso menyatakan kekecewaannya terhadap Soekarno dan Hatta yang mau berunding dengan Belanda. "Ada perbedaan cara dalam perjuangan", ujar Muso," pokoknya, saya tidak percaya Belanda dan akan terus melawan Belanda". Tapi karena perbedaan itu, "Soekarno dan Hatta tidak senang dan mencurigai saya. Bahkan saya akan dihancurkan". Dan Muso menegaskan, "kalau saya akan dihancurkan, saya akan melawan". Dengan ini, Muso mencoba menerangkan bahwa perlawanannya bukanlah semata-mata karena masalah ideologi.

Muso ini mengalami akhir yang tragis setelah Peristiwa Madiun. Ia dikejar-kejar oleh massa rakyat, terutama yang diorganisir oleh Masjumi, tertangkap dan kemudian dibunuh begitu saja oleh massa yang marah. Beberapa tokoh pemberontakan lainnya, tertangkap oleh pasukan militer dan kemudian dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi secara resmi oleh pihak militer. Jakarta-Kuala Lumpur: Operasi Bawah Tanah. SETELAH perjuangan Trikora membebaskan Irian Barat, setidaknya ada dua 'peristiwa politik' yang cukup memojokkan Letnan Jenderal Ahmad Yani selaku pimpinan Angkatan Darat maupun Jenderal AH Nasution yang memimpin berbagai versi Departemen Pertahanan Keamanan pada 5 kabinet Soekarno antara Juli 1959 hingga 1966, yakni Operasi Dwikora (Dwi Komando Rakyat) yang dicanangkan Soekarno 3 Mei 1964 dan manuver PKI yang melontarkan gagasan Angkatan Kelima Januari 1965.

     Operasi Dwikora adalah operasi yang dimaksudkan sebagai konfrontasi terhadap Malaysia, sebuah negara federasi yang didirikan 16 September 1963, mencakup Malaya (Persekutuan Tanah Melayu) yang terletak di Semenanjung dan Singapura yang adalah sebuah pulau di sebelah Selatannya serta Sabah dan Serawak yang terletak di Kalimantan Bagian Utara. Semula, Brunai juga akan bergabung, namun batal dan kemudian hari menjadi Kesultanan Brunai Darussalam yang merdeka dan berdiri sendiri. Pada waktu itu, Sabah, Serawak dan Brunai masih merupakan koloni Inggris. Gagasan pembentukan Federasi Malaysia adalah bagian dari rencana Inggris memenuhi permintaan memerdekakan ketiga wilayah yang terletak di bagian Utara Kalimantan tersebut. Namun Inggeris mensyaratkan agar bekas koloninya itu setelah bergabung dalam Federasi Malaysia tetap menjadi anggota Negara-negara Persemakmuran, dan dengan demikian berada dalam payung perlindungan ekonomi dan keamanan dari Inggeris. Satu dan lain hal, ini semua masih terkait dengan suasana Perang Dingin antara blok Barat dengan blok Timur kala itu. Soekarno melontarkan tuduhan bahwa federasi itu adalah bentukan Inggeris dan tak lain merupakan proyek Nekolim (Neo Kolonialisme). Hanya selang sehari setelah pengumuman pembentukan Federasi Malaysia, massa yang dipelopori kelompok politik kiri --namun diikuti pula oleh kelompok politik yang tak berpendirian jelas dan opportunistik, meskipun tidak merupakan barisan PKI dan onderbouwnya-- melakukan demonstrasi besar-besaran ke Kedutaan Besar Inggeris dan Persekutuan Tanah Melayu. Kedutaan Besar Inggeris dirusak dan dibakar. Bersamaan dengan itu, Departemen Luar Negeri yang dipimpin Dr Soebandrio mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur (Persekutuan Tanah Melayu).

Soebandrio yang juga membawahi BPI (Badan Pusat Intelejen) adalah pendorong utama bagi Soekarno dalam konfrontasi terhadap Malaysia. Beberapa kegiatan 'bawah tanah' yang dijalankannya dengan kelompok politik kiri Indonesia dan kaum komunis di Malaya, Singapura, Brunai dan Serawak maupun Sabah, telah menutup peluang tercapainya suatu hasil 'damai' jangka panjang melalui diplomasi. Padahal suatu pembicaraan mengenai rencana Federasi Malaysia telah dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu (PTM) Tunku Abdul Rahman di Tokyo 31 Mei -- 1Juni 1963 dan sebenarnya sempat menciptakan peredaan ketegangan. Pertemuan di Tokyo itu disusul pertemuan segitiga tingkat Menteri Luar Negeri antara Jakarta, Kuala Lumpur dan Manila (yang berkepentingan ada penyelesaian 'damai' karena mempunyai klaim terhadap Sabah) yang mencari solusi mengenai rencana Federasi Malaysia tersebut pada 7-11 Juni 1963 di Manila. Manuver Soebandrio, berupa operasi intelejen dan sejumlah operasi bawah tanah lainnya yang dijalankan sejak awal 1963, tinggal menunggu waktu untuk menjadi batu sandungan, begitu manuver-manuver dan operasi intelejen itu yang mengarah sebagai subversi menurut sudut pandang Malaya, terungkap ke permukaan.

Soebandrio yang juga membawahi BPI (Badan Pusat Intelejen) adalah pendorong utama bagi Soekarno dalam konfrontasi terhadap Malaysia. Beberapa kegiatan 'bawah tanah' yang dijalankannya dengan kelompok politik kiri Indonesia dan kaum komunis di Malaya, Singapura, Brunai dan Serawak maupun Sabah, telah menutup peluang tercapainya suatu hasil 'damai' jangka panjang melalui diplomasi. Padahal suatu pembicaraan mengenai rencana Federasi Malaysia telah dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu (PTM) Tunku Abdul Rahman di Tokyo 31 Mei -- 1Juni 1963 dan sebenarnya sempat menciptakan peredaan ketegangan. Pertemuan di Tokyo itu disusul pertemuan segitiga tingkat Menteri Luar Negeri antara Jakarta, Kuala Lumpur dan Manila (yang berkepentingan ada penyelesaian 'damai' karena mempunyai klaim terhadap Sabah) yang mencari solusi mengenai rencana Federasi Malaysia tersebut pada 7-11 Juni 1963 di Manila. Manuver Soebandrio, berupa operasi intelejen dan sejumlah operasi bawah tanah lainnya yang dijalankan sejak awal 1963, tinggal menunggu waktu untuk menjadi batu sandungan, begitu manuver-manuver dan operasi intelejen itu yang mengarah sebagai subversi menurut sudut pandang Malaya, terungkap ke permukaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun