Mohon tunggu...
Alvita Rosa
Alvita Rosa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya Alvita Rosa, Alvita Rosa, dan Alvita Rosa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pemesan Air Putih

1 Februari 2014   12:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:16 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemesan Air Putih

Aku sedang membersihkan meja yang baru saja ditinggalkan oleh pengunjung. Aku bekerja sebagai seorang pelayan kedai kopi. Tugasku mengantar kopi yang dipesan pengunjung, lalu membersihkan meja saat mereka meninggalkan kedai. Kuangkat tiga gelas yang sudah tak berisi minuman lagi. Tanganku yang memegang lap terus bergerak membersihkan meja. Tapi otakku tak henti-hentinya berpikir tentang minuman yang tadi terhidang diatas meja ini. Tiga gelas minuman itu terdiri dari vanilla latte, expreso, dan mochacino.  Aku menghela napas putus asa, cita-citaku selama bekerja di kedai ini tak juga tercapai.

Kopi di kedai tempatku bekerja sangat terkenal kenikmatannya, terbukti dengan banyaknya pengunjung yang datang. Bahkan saat hari libur, pengunjung sampai membeludak keluar kedai, bahkan ada yang tidak jadi membeli karena tak ada tempat duduk. Aku dan para pelayan lain pun kadang sampai tak istirahat karena banyaknya pengunjung. Mereka semua memesan kopi dengan beraneka ragam rasa. Kebanyakan pengunjung memang pecinta kopi, walaupun tak sedikit kemungkinan yang datang hanya karena ia penasaran atas cerita-cerita orang yang menyatakan bahwa kopi di kedai tempatku bekerja sangat nikmat.

Aku sudah bekerja kurang lebih satu tahun di kedai ini. Dari awal aku bekerja aku sudah mempunyai tujuan tertentu. Aku menyebutnya cita-cita. Dan cita-citaku itu adalah, aku ingin menemukan pengunjung yang datang untuk tidak memesan kopi tapi memesan air putih. Kedengarannya memang aneh, mana mungkin seseorang datang ke kedai kopi untuk memesan air putih. Tapi aku tak berputus asa. Seperti yang kukatakan tadi, pengunjung yang datang kesini bukan semua pecinta kopi. Bisa jadi ia hanya menemani temannya atau kekasihnya untuk minum kopi, sedangkan ia sebenarnya tak suka kopi. Aku terus saja berprasangka demikian. Hingga satu tahun aku bekerja disini, cita-citaku itu tak kunjung terpenuhi. Semua teman-temanku meledekku, mereka bilang aku gila, sinting, nekad, bodoh. Menanti pemesan air putih di kedai yang menjual kopi. Mereka bilang harusnya aku jadi pengedar minuman di bus saja, atau membuka kios macam pedagang kaki lima. Disana aku akan temukan orang yang akan mencari air putih. Tapi bukan itu tujuanku, bukan. Aku ingin mencari seseorang yang melihat ada minuman nikmat didepan matanya, tapi ia memilih air putih.

Kini aku hampir putus asa. Mungkin teman-temanku benar, cita-citaku ini gila. Tapi apa pula yang salah dari sebuah cita-cita. Bukankah dulu orang membayangkan dapat berhubungan jarak jauh, hingga akhirnya Alexander menemukan telepon. Bukankah dulu orang membayangkan dapat pergi dengan mudah dan cepat, hingga akhirnya wight bersaudara menemukan pesawat terbang. Semua berawal dari hal gila dan dianggap tidak mungkin. Lalu apa cita-citaku ini terlalu tinggi hingga tak bisa terpenuhi? Aku hanya ingin ada seseorang yang datang ke kedai, dan ketika kutanya dia ingin memesan apa, ia menjawab dengan mantap “air putih”. Tidakkah cita-cita itu sederhana?

*

Hari ini aku pulang dari kedai sedikit lebih cepat dari biasanya. Ibuku memintaku menemaninya belanja. Entahlah padahal kakakku ada dirumah, tapi dia mati-matian ingin aku menemaninya. Aku tak bisa pula menolak ibuku. Akhirnya kukatakan pada bosku bahwa aku harus mengantar ibuku. Lagi pula aku tak pernah izin selama bekerja disini. Aku bahkan sering pulang lebih lama dari pada pekerja lainnya. Semua itu karena aku tak ingin melewatkan kesempatan untuk mewujudkan cita-citaku. Aku tak ingin meninggalkan kedai begitu saja. Aku takut disaat aku pergi, tiba-tiba ada yang memesan air putih. Alhasil, aku dianggap orang “gila kerja”. Tapi ada untungnya juga, aku menjadi anak buah kesayangan bosku. Kadang gajiku lebih tinggi dari pekerja lainnya. Dia bilang karena aku sangat rajin. Padahal, aku menanti seseorang yang akan memesan air putih.

Sudah satu jam aku dan ibuku mengitari pasar swalayan ini. Kami pun kelelahan dan kelaparan. Akhirnya aku dan ibu makan di sebuah restoran kecil disebelah pasar awalayan. Tiba-tiba ibu bertanya padaku.

“sampai kapan kau akan bekerja di kedai itu, dan memenuhi cita-cita gilamu itu? sudah satu tahun kau di sana, dan tak juga kau dapatkan apa yang kau mau.”

Aku terus saja menguyah makananku, dan memfokuskan pandanganku pada makanan yang ada dipiring. Aku seolah tak mendengar ibu bicara.

“pindahlah bekerja, kau ini sarjana. Kau juga lulus dengan nilai yang bagus. Kau pantas untuk pekerjaan yang lebih layak. Lupakanlah cita-cita gilamu itu.”

Dua kali ibu menyebut cita-citaku gila. Aku masih diam saja mendengarkannya berpidato.

“apa sebenarnya tujuanmu menanti seseorang yang akan memesan air putih? ibu belum juga paham kemana arah pikiranmu itu.”

Kali ini aku mulai menanggapi ucapannya “baiklah ibu, beri aku waktu satu bulan lagi. Jika tak dapat juga apa yang kuinginkan, aku akan melupakannya cita-cita gilaku itu.” aku menekankan kata gila pada ucapanku tadi.

Ibu diam saja tak menanggapi apa-apa. Kukira ia setuju dengan tawar menawarku tadi.

Keesokkan harinya aku dipanggil oleh bosku. Aku sedikit kaget, mendapat panggilan ini. Bosku tak pernah memanggilku kecuali ketika akan membayar gajiku. Kuketuk pintu ruangannya. Lalu ia menjawab dari dalam dan mempersilakan aku masuk.

“anda memanggil saya?” tanyaku dipinggir pintu.

“yaa.. silakan masuk.” jawabnya

Aku duduk di kursi depan mejanya. Aku diam dan menanti ia bicara.

“ada yang ingin saya katakan. Mungkin kamu akan kaget mendengar ini, tapi tolong kamu tanggapi dan pikirkan baik-baik penawaran saya ini.” Lalu ia diam sejenak, sambil terus menatap wajahku. “Saya tahu, kamu adalah pekerja yang luar biasa, kamu selalu datang lebih awal, dan pulang paling akhir. Saya melihat caramu melayani para pengunjung pun sangat baik. Nilai ijazah kuliahmu juga tidak buruk. Begini, saya ingin membuka kedai kopi lagi di daerah lain. Saya ingin kamu yang mengelolahnya. Saya percaya kamu adalah orang yang bisa dipercaya. Sudah satu tahun kamu disini, dan belum sekali pun saya kecewa dengan cara kerjamu. Kau tak perlu menjawab sekarang, pikirkanlah dulu. Kedai itu juga masih dalam tahap pembangunan.”

Aku terdiam mendengar ucapannya. Tak sanggup kutelan ludahku sendiri. Aku ingin bicara tapi tak tahu harus bicara apa. Akhirnya aku hanya diam saja.

“ini hanya penawaran saja. Jika kau mau, saya akan sangat senang. Tapi jika pun tidak, yasudah taidak apa-apa.” bosku berkata lagi.

*

Kuceritakan penawaran bosku itu pada ibu. Ia begitu senang dan bangga mendengar itu, ia memintaku untuk mengiyakan tawaran bosku itu. Tapi aku tak juga bicara. Aku masih memikirkan semua konsekuensinya. Jika aku yang menjadi manajer kedai itu, tentu aku harus melupakan cita-citaku. Karena aku bukanlah seorang pelayan lagi.

“Aku akan tetap bekerja dulu selama satu bulan bu. Kalau ternyata cita-citaku tak juga terpenuhi. Baru aku akan menyetujui tawaran dari bosku.” kataku pada ibu.

“astagaaa… kau masih juga memikirkan cita-cita gilamu itu. Kau ini sungguh keterlaluan.” jawab ibu.

“bu, lagi pula kafe itu masih dalam tahap pembangunan.” kataku.

“yaa.. terserah kau sajalah. Yang jelas aku menyekolahkanmu bukan untuk menanti seseorang yang akan memesan air putih.” kata ibuku sambil berdiri dari duduknya dan meninggalkan aku yang termenung.

Mungkin ibu tak juga mengerti terhadap cita-citaku itu. Tak hanya ibu, tapi juga orang-orang yang dekat denganku. Ada sesuatu dibalik air putih. Ada makna yang terselip dan kusimpan sendiri. Aku pernah patah hati pada seorang kekasih hati. Aku begitu mencintainya, tapi ia lebih memilih meninggalkan aku dan pergi bersama orang lain yang rupanya, otaknya, tubuhnya lebih indah dan lebih baik daripada aku. Ia tak melihat bahwa aku begitu mencintainya, atau ia melihat tapi ia tak ingin hidup bersama seseorang yang biasa-biasa saja. Seperti air putih, biasa-biasa saja, warnanya bening, rasanya biasa saja. Hingga orang kadang lupa betapa melegakannya ia ketika tenggorokkan begitu kering dan haus. Jarang orang memujinya. Orang lebih sering memuji dan membicarakan kenukmatan kopi, teh, es krim, dan minuman lezat lainnya. Orang lupa pada air putih.

Dan aku ini, aku ini hanya air putih. Biasa saja, tak berasa, tak berwarna, tak menarik. Kekasihku itu tak ingin air putih, ia ingin minuman yang lain, yang berwarna, berasa, dan menarik. Betapa sebenarnya aku telah kecil hati dibuatnya. Itulah sebabnya mengapa aku menanti seseorang yang melihat minuman nikmat di depan matanya tapi ia lebih memilih air putih. Dan aku telah menanti selama setahun ini. Aku telah menanti dan membuat ibuku marah. Aku telah menanti sekaligus dimaki oleh orang-orang yang dekat denganku. Tapi aku tak hiraukan itu, mereka tak tahu apa-apa. Aku yang lebih paham apa yang sebenarnya kunanti.

*

Setelah satu minggu, akhirnya kudatangi ruangan bosku. Ia mempersilakan aku masuk. Seperti biasa ia dengan sopan menyapa dan menyuruhku duduk. Ia sepertinya sudah tahu maksud kedatanganku kemari. Kulihat senyum mengembang di wajahnya. Kusadari ternyata ia rupawan. Senyumnya indah dan menawan. Tapi sudahlah lupakan, ia sudah punya tunangan.

“bagaimana ?” tanyanya langsung kesasaran.

“begini, kedai itukan masih dalam tahap pembangunan. Artinya ia belum siap untuk dibuka. Karena itu saya ingin bekerja dulu disini. Beri saya waktu satu bulan lagi di kedai ini.”

“kamu memang gila kerja. Sebelumnya boleh saya tahu mengapa kamu begitu giat bekerja? tentu alasannya bukan cuma uangkan ?”tanya bosku.

aku menggeleng mantap “tentu saja bukan. Uang bukan perkara penting dalam pekerjaan saya ini.” jawabku.

Kali ini bosku sedikit kaget. Baru kujawab begitu ia sudah kaget, apalagi kuberitahukan alasanku yang sebenarnya.

“uang bukan perkara penting? benarkah?” tanyanya.

“saya tahu hidup butuh uang. Uang yang banyak bahkan. Tapi kali ini, dalam pekerjaan saya ini, bukan itu yang saya cari. Itulah sebabnya saya minta satu bulan lagi di kedai ini.” kataku.

“lalu apa yang kamu cari?” tanyanya dengan mata penuh selidik.

Aku tersenyum lalu menjawab “seseorang.” kataku sambil berdiri, lalu membungkuk, dan pergi.

Kurasai bosku begitu tercengang dengan jawabanku barusan. Tapi ia tak tahu lagi apa yang harus ia katakan.

*

Kini sudah 30 hari aku di kafe ini dan aku tak juga dapati cita-citaku akan terpenuhi. Aku hanya punya waktu lima jam lagi sebelum kafe ini tutup. Aku pesimis aku akan menemukan seseorang yang memesan air putih. Aku tak ingin berharap terlalu tinggi lagi. Mungkin aku memang harus memahami bahwa tak mungkin ada orang yang memesan air putih di sebuah kedai yang menyediakan kopi. Aku pasrah, aku tak ingin lagi menanti. Aku hanya akan melayani, dan berhenti berharap bahwa akan ada yang memesan air putih.

Sudah tiga jam berlalu, dan aku benar-benar putus asa. Aku merasakan kakiku begitu lemas. Aku bahkan tak dapat lagi tersenyum tulus pada pengunjung. Dua jam lagi. Ya-dua jam lagi, aku benar-benar tak yakin pada pengharapanku.

Benar saja, kedai sudah tutup dan tak juga kudapati pemesan air putih. Aku kecewa. Kugenggam erat tanganku, mencoba meyakinkan bahwa mungkin aku harus menanti dengan cara yang berbeda.

Keesokan harinya, aku temui bosku. Kali ini ia menjabat tanganku. Dua minggu lagi kedai baru itu akan di buka. Tapi kami belum punya konsep yang benar-benar matang tentang desain kedai itu. Kusadari aku akan mulai punya kehidupan yang berbeda. Bukan lagi seorang pelayan tapi seorang manajer.

“hari ini saya akan ajak kamu mengunjungi kedai kopi lain yang ada di sini. Kamu harus lihat bagaimana kedai lain telah berkembang. Kamu harus banyak belajar. Kali ini saya ajak kamu ke kedai kopi yang sangat luar biasa nikmat rasa kopinya, dan begitu cantik konsep kedainya.” katanya.

Aku mengangguk menyetuji ucapannya. Entahlah aku masih belum bisa bersikap biasa pada bosku ini. Aku masih merasa segan padanya.

“enjoy saja. Jangan anggap saya bos kamu. Kita ini mitra kerja.” katanya.

Aku tersenyum nenanggapi ucapannya.

Sampai di sebuah kedai kopi, kami pun masuk. Kulihat kedai kopi ini tak jauh dengan kafe tempatku bekerja, dindingnya bata dan dicat putih, kursi dan meja kayu yang diukir indah, lalu banyak potret-potret kopi dan biji kopi terpajang di dinding bata itu. Namun aku melihat sesuatu yang unik, para pelayannya yang mengantarkan minuman dengan cara yang tidak biasa. Para pelayan itu menggunakan pakaian eropa zaman dahulu, pelayan perempuan terlihat seperti noni-noni Belanda. Sedang yang laki-laki berpakaian seperti pakaian dalam foto Thomas Alfa Edison, Mozart dan orang-orang Eropa zaman dahulu. Dengan diiringi musik klasik, mereka menari sambil membawa nampan di tangannya. Ini yang  paling menarik. Terkadang para pengunjung bertepuk tangan dengan kelihaian dan kegemualaian dari para pelayan itu.

“punya ide untuk kafe kita nanti ?” tanya bosku padaku.

“belum terpikir, tapi saya rasa saya akan membuat para pengunjung lebih merasakan Indonesia.”

“caranya?”

“akan saya pikirkan.”

Lalu seorang pelayan mendatangi kami, ia bertanya kopi apa yang akan kami pesan.

“vanilla latte” kataku.

“air putih” kata bosku.

Aku kaget mendengar ucapannya. Aku seolah tak bisa bernafas mendengar apa yang ia pesan. Begitu pula dengan pelayan itu, ia sama kagetnya dengan aku. Namun ia tetap tersenyum dan meninggalkan kami. Sedang aku tak dapat lagi tersenyum dan terpaku pada dudukku.

“aku sudah mencoba kopi di kafe ini. Rasanya sungguh lezat, tapi aku ingin air putih. Entahlah.” katanya sambil mengangkat bahu.

The End

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun