Mohon tunggu...
Neiy Foenale
Neiy Foenale Mohon Tunggu... karyawan swasta -

just wanna care how to pleasant my God and my people around

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Buktikan Kita Masih Punya Etika

7 Februari 2014   12:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:04 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Rasa hormat, atau lebih tepatnya hal tentang beretika seakan mulai membias di negeri ini.

Masih jelas diingatan saya, kepada sosok dosen di almamater saya dulu yang gencar sekali berbicara, mendengungkan tentang etika, atau istilah yang sering beliau gunakan adalah "Soft Skill". Bagi beliau, "Soft Skill" harus lah lebih diprioritaskan ketimbang "Intelegensi".

"Untuk apa pintar, banyak prestasi tapi tidak beretika. Semua kepintaran dan prestasinya itu sampah jika dia tidak beretika", begitu penuturannya.

Saya sependapat dengan beliau. Kemampuan EQ mestinya lebih baik daripada IQ. Jika IQ tidak terseralaskan dengan EQ, inilah cikal bakal penyalahgunaan Pengetahuan. Ketika Pengetahuaan seseorang dirasa tidak berfaedah bagi masyarakat, disitulah nampak ketumpulan seseorang itu.

Berkaitan dengan "Soft Skill" tadi, contoh nyata yang saya lihat di sekitar adalah "komentar-komentar pedas, tidak mendidik bahkan jorok yang terluapkan di berbagai artikel". Bahkan dalam beberapa perdebatan yang pernah saya saksikan di Televisi juga menunjukkan betapa minimnya "Soft Skill" generasi saat ini.

"Perdebatan, mengenai kinerja Presiden Saat ini Misalnya". Komentar pedas, yang terkesan nyaris kepada makian banyak saya baca di media-media online. Bahkan dalam perdebatan pun, dengan terang-terang seseorang menyebutkan Kepala Negara dengan kata pengganti "Dia".

Dimana etika kita?

Beliau Kepala Negara loh. Terlepas dari minimnya prestasi atau perkembangan yang dirasakan masyarakat semasa periode beliau, Beliau tetaplah kepala Negara, yang dipilih oleh mayoritas kita di negeri ini.

Miris sekali, jika saya melihat, banyak masyarakat menghujat Pemimpinnya. Sangat tidak etis. Kritis boleh, tapi tidak harus memaki. Beliau Presiden, apapun keburukannya Beliau adalah cerminan Bangsa ini. Bagaimana jika dunia luar, mengetahui banyak masyarakatnya menjelek-jelekan Pemimpinnya sendiri. Ini bisa saja berdampak berkurangnya rasa hormat terhadap Beliau yang secara tidak langsung turut mengurangi rasa hormat terhadap Bangsa ini.

Saya bukan, membela beliau, saya juga bukan simpatisan beliau. Saya hanya memandang dari segi "Kepantasan" saja. Sangat tidak pantas kita menghujat Pemimpin kita sendiri. Itu berarti kita melempar kotoran ke wajah kita sendiri.

Berikan keoptimisan, di sisa masa jabatan Beliau, Beliau masih bisa berbuat sesuatu untuk bangsa. Jika pun tidak, janganlah menghujat. Berdoa dan tetap berpengharapan, Pemimpin periode mendatang, adalah pemimpin yang tetap mementingkan kepentingan rakyatnya, tidak hanya kepentingan partai.

Begitu juga dengan pejabat kita yang lainnya. Kita bisa mengkritisi mereka, tapi jangan memaki. Tidak hanya kepada mereka yang berkedudukan, etika tetap harus kita junjung dimana pun dan kepada siapapun kita berinteraksi. Contoh terdekat adalah terhadap orang tua kita.

Perlu diingat, etika adalah representasi yang sebenarnya kalau kita adalah orang yang mengecap dunia pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun