Apakah ini cerminan, betapa miskinnya kita, sehingga barang bekas negara orang pun terpaksa ditampung?
Saya bilang tidak. Karena jika kalian melihat langsung apa yang terjadi di Pasar Melati, tentu kalian akan sependapat dengan saya, peminat barang bekas bukan orang miskin. Bisa dilihat, ada parkiran khusus untuk mobil-mobil pelanggan Pasar Melati. Mereka yang berduit juga belanja barang bekas.
Mengapa bisa demikian?
Hal ini juga dipicu akan kebanggaan masyarakat kita menggunakan barang branded. Sehingga bekas pun diabaikan, yang penting bisa gaya pakai barang branded. Salah satu kenalan, istri Manajer kerap sekali mendapat pujian dari teman-teman pengajiannya, karena pakaian-pakaian branded yang dikenakannya. Ini lah yang menyebabkan si kenalan tadi kerap datang dan belanja di pasar bekas. Namun, penuturannya, saat ada yang menanyakan dimana dia membeli itu, dia enggan mengatakan di pasar bekas, dia mengatakan dari butik atau saat berkunjung ke luar negeri (pencitraan mode on).
Lalu, anda yang pernah berbelanja barang bekas, apa alasan anda?
Saya, sendiri yang pernah membelinya mengakui kualitas bahan dan keawetan warna yang jauh lebih baik ketimbang barang baru yang beredar di pasar yang pernah saya beli dagangannya, bahkan kualitas matahari juga masih kalah.
Saya suka mencari tas kulit branded di melati. Dengan harga yang tak setimpal dengan harga-harga tas di mall, saya sudah mendapatkan tas yang bagus, kuat, dan branded. Pernah saya belanja tas di matahari, tas dengan brand belezza, ratusan ribu, tapi hanya bertahan beberapa bulan, dikarenakan bahan kulitnya yang pvc. Jika dengan uang yang sama, saya belanja tas di pasar bekas, saya bisa dapat dua tas dengan kulit original, jadi kuat dan tidak gampang ngelupas. Bisa dikatakan, puring dalam tas seken yang saya beli adalah kulit yang digunakan di luaran tas yang dijual di mall.
Jika pun ada produk tas dengan kulit asli, buatan negeri sendiri, saya belum mampu untuk memilih membeli produk sendiri. Karena kisaran tas dengan kulit lembu asli, atau ular misalnya, dibandrol dengan harga di atas Rp 500.00. Ukuran beli beras saya untuk setengah tahun.
Pertimbangan seperti ini juga yang membuat usaha barang bekas ini ada dan berkembang. Kalau Pemerintah memang berniat untuk memajukan produk buatan negeri untuk dipakai semua penduduk, yah harus ada solusi agar rentang harga tidak semencolok itu antara produk sendiri dengan produk bekas luar negeri.
Supaya kita, Indonesia terbebas dari image pengumpul barang rongsokan luar Negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H