Mohon tunggu...
Neil Semuel Rupidara
Neil Semuel Rupidara Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti

Neil adalah dosen di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia dan Kajian Organisasi di Universitas Kristen Satya Wacana. Saat ini menjabat sebagai Rektor UKSW.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

2020, Ketika Dunia Didera Covid-19: Apa yang telah kita pelajari?

30 Desember 2020   17:15 Diperbarui: 30 Desember 2020   22:39 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dunia bukan tidak pernah mengenal coronaviruses. Tujuh jenis virus telah teridentifikasi dalam rumpun keluarga virus-virus korona. Empat di antaranya dinilai bersifat umum dan tidak mengakibatkan penyakit yang berat. Tiga lainnya menyebabkan penyakit-penyakit serius dan epidemi yang kini telah kita kenal: SARS, MERS, dan terakhir Covid-19. Sekalipun telah mengenal “keluarga besar” virus ini, dunia seakan gagap ketika SARS-CoV2 muncul dan mengakibatkan penyakit sejenis pneumonia yang menyebar sedemikian rupa, melanda dunia dan mengakibatkan pandemi global. 218 negara dan kawasan diserang oleh penyakit baru ini, hampir tidak ada satu negarapun yang luput kecuali sejumlah kecil negara pulau di lautan Pacific. Juga, rasanya hampir tidak ada seorangpun yang kini tidak mengenalnya, berbeda dari pengenalan akan “saudara-saudara” serumpunnya dalam keluarga penyakit akibat coronaviruses. Ini menunjukkan betapa luar biasanya virus SARS-CoV2, sekali datang, ia langsung dikenal di seluruh dunia.

WHO secara resmi menamai penyakit baru dari jenis virus korona yang baru ini sebagai Corona Virus Disease – 2019 (Covid-19) pada 10 Januari. Kasus Covid-19 sendiri telah teridentifikasi sejak Desember 2019. Sumber tertentu bahkan menduga sudah ada laporan kasus-kasus pneumonia di China sebelum itu. Ada informasi bahwa di Perancis pun sudah terlaporkan fenomena pneumonia di akhir December. Bahkan dalam kerangka conspiracy theory, ada tudingan bahwa di Amerika pun sudah beredar penyakit itu sebelumnya, awal December. Dunia menghadapi pandemi, tetapi dunia sempat (masih?) tidak sehati-sepikir dalam menanggung deritanya.

Penyebaran

Sejak menjadi wacana dan wawasan global di Januari 2020, penyebaran Covid-19 tampak mulai terpantau, sekalipun ada missing links di fase awal penyebaran Covid-19 yang belum terjelaskan baik. Sebuah contoh adalah penyebaran di Eropa, termasuk Italy. Kasus Covid-19 terdeteksi pertama di Italy adalah kasus dua wisatawan dari China pada akhir Januari, yang segera ditangani oleh otoritas kesehatan di Italy. Namun, penyebaran lokal yang kemudian menjadikan Italy sebagai epicentrum penyebaran Covid-19 di Eropa tidak berasal dari jalur itu tetapi jalur lain (terdeteksi lebih dari 1 jalur masuk), termasuk link dari Jerman. Di Jerman pun kasus pertama baru terlaporkan pada waktu yang kurang lebih sama dengan kasus resmi pertama di Italy itu. Itu menunjukkan bahwa telah ada jalur penyebaran Covid-19 yang sesungguhnya tidak terdeteksi di awal. Dan, fenomena itu sepertinya terjadi di banyak negara karena tidak begitu terpantaunya penyebaran Covid-19 di awal. Dunia masih sedang menikmati liburan akhir/awal tahun sehingga tidak menyadari bahaya yang mengintai dan mengancam.

Sekalipun sudah ada kasus-kasus di Januari itu, dunia seolah bergeming. Menyepelekan? Entahlah. Lihat kronologi kecil di atas. Akhir Desember sudah dideteksi. Awal Januari sudah dinamakan penyakit itu, dan sudah ada peringatan terjadinya epidemi darinya. Atas kecurigaannya, Taiwan bertanya kepada WHO dan China di 31 Desember, bahkan belakangan menemukan evidence dari Wuhan sehingga pada 13 Januari mengingatkan WHO bahwa virus ini bisa mengalami transmisi di antara manusia. Namun, mengikuti kesimpulan China, WHO di 14 Januari menyatakan “no clear human to human transmission”. Belakangan pada 22 Januari, kembali mengikuti sikap China lagi, baru WHO pun menyatakan transmisi SARS CoV2 dari orang ke orang terjadi di Wuhan. Begitulah, dunia tampak sudah menyepelekannya, bahkan otoritas-otoritas dunia. Namun, WHO menolak telah mengabaikan peringatan Taiwan. Sejumlah dalih dibangunnya. Manusia, oh manusia, do you need many more justification?

Anyway, ketika datang Maret 2020, penyebaran Covid-19 semakin berakselerasi, meluas ke makin banyak negara, tiga kali lipat jumlahnya, barulah dunia tampak panik. WHO menyatakan Covid-19 adalah pandemi global, pada 11 Maret 2020. Ada empat intisari kebijakan public health yang WHO keluarkan. “First, prepare and be ready. Second, detect, protect and treat. Third, reduce transmission. Fourth, innovate and learn.” Tidak tahu missing dalam komunikasi ada di mana, namun yang terpatri di masyarakat adalah semua pihak diminta segera melakukan social distancing, merespon secepatnya kilat. Padahal, poin kedua kebijakan itu adalah, detect, protect, treat, dan untuk itu “Find, isolate, test and treat every case and trace every contact.” Itu kemampuan penting dalam konteks epidemi namun itulah yang sepertinya missing di negara kita.

Dalam hal Covid-19 berasal dari negara lain, mestinya juga yang menjadi prioritas penanganan adalah penutupan atau pengendalian ketat atas mobilitas penduduk masuk keluar perbatasan suatu negara, atau wilayah. Namun, yang terburu-buru dilakukan adalah penghentian seluruh aktivitas di dalam wilayah-wilayah. Bahkan di wilayah-wilayah steril pun perintahnya sama. One size fits all policy. Seolah semua negara dan wilayah sudah seperti Wuhan yang memang menjadi pusat penyebaran secara lokal. Kebijakan kita seolah tidak sensitif dengan perbedaan kondisi antar wilayah, perbedaan konteks. Semua digebyah-uyah menjadi gado-gado. Aneh, tetapi nyata. Bahaya yang justru datang dari luar tetapi pintu gerbang rumah tidak ditutup, tetapi semua orang dalam rumah yang sehat-sehat malah disuruh masuk ke dalam kamar dan menguncinya tetapi karena toh butuh melakukan hal-hal di dalam rumah, maka akhirnya mereka berjumpa bahaya itu. Dalam kondisi seperti itu, Covid-19 seolah justru diberi “karpet merah” untuk masuk ke dalam wilayah-wilayah, lalu ia menunggu dan menunggu kapan waktu tepat untuk menyergap, menyebar. Bahkan, saking ketat “mengurung diri” terlalu awal, belakangan masyarakat mencapai tingkat kejenuhan psikologis yang memuncak dan seolah tidak mau lagi dikekang lalu membebaskan diri semau-maunya. Sekalipun angka penyebaran justru makin meningkat, masyarakat tetap tidak khawatir. Rupanya kita tampak sudah bisa bergaul “akrab” dengan Covid-19.

Catatan: Taiwan adalah contoh terbalik dari sikap-sikap di atas. Taiwan telah melakukan pengendalian mobilitas antar negara sejak mengetahui SARS CoV2 ditemukan di China, sekalipun ditingkahi sikap China dan WHO yang seolah menutup-nutupi informasi. Arus masuk dari Wuhan dikendalikan dengan ketat. Taiwan adalah salah satu negara yang paling berhasil menangani Covid-19.

Tampak terjadi kesenjangan antara pengetahuan ilmiah, dalam hal ini tentang SARS CoV2 dan Covid-19, dengan pemahaman yang ada pada masyarakat umum. Fenomena ini telah menciptakan ketegangan-ketegangan muncul di level “akar rumput” pada masa-masa awal kasus-kasus Covid-19 merebak di lokal-lokal. Ada kejadian-kejadian tanda pengabaian dan tindakan bodoh dari yang orang terkena Covid-19 yang berkeliaran bebas. Sebaliknya, tidak sedikit terjadi kepanikan dan kemarahan kurang terkendali dari tetangga-tetangga. Namun kini semua terlihat biasa-biasa saja. Tidak takut Covid-19? Kesannya, peduli amat. Maklum, sudah jenuh.

Efek-Efek

Bagaimanapun, ketika Covid-19 menerjang, tampaklah kerentanan menghadapi serangan tiba-tiba dari penyakit ini. Covid-19 yang bagaimanapun merajalela seolah mengejek kita manusia dan seluruh tatanan sosial kultural hasil bentukan keseluruhan peradaban. Bayangkan, semua dibangun berabad-abad, semua seolah lumpuh diluluhlantakkan Covid-19. Dalam sekejab semua seolah bisa dijungkirbalikkannya. Tarulah, sudah seberapa tua misalnya tradisi bersekolah dan beruniversitas? Tua, sangat tua. Namun, Covid-19 yang baru seumur jagung dengan cerdik membongkar tradisi-tradisi pendidikan yang dibangun berabad-abad. Apa juga misalnya yang masih tersisa kesakralannya dalam tradisi-tradisi beragama yang juga tidak luput dari hardikan penyakit ini? Gereja-gereja, misalnya, dibuatnya menjadi ruang-ruang kosong. Padahal kita sudah berupaya membangunnya indah-indah, sebagai simbol keagungan yang ilahi. Ritual-ritual beribadah pun bertumbangan. Beribadah dari rumah yang dulu cenderung dipandang tabu, kini merejalela di mana-mana. Penyakit ini seolah sedang mengejek kita.

Karena dilumpuhkan, beberapa saat setelah berdiam diri, manusia mencari jalan-jalan keluar. Kita berdalih kita sedang meredefinisi dan meredesain seluruh tatanan sosial-kultural kita. Di bawah bendera yang diberi nama new normal, segala sesuatu seolah sedang diadaptasikan. Sekolah dan perkuliahan bisa dilaksanakan kembali secara online. Ibadah-ibadah juga online. Pertunjukan musik online. Seminar online. Semua serba online. Itu seolah membenarkan ramalan bahwa kehidupan kita di masa depan akan serba atau mayoritas online. Internet of things. Namun, semua itu terjadi bukan karena kita, tetapi karena dia, Covid-19. Dia yang memaksa kita, bukan karena kita sadar memilih dan melakukan. Namun, setelah seolah semua yang web-web-an berjalan, kita seolah jumawa, bertingkah seolah kitalah yang hebat. Mmanusia hanya mencari pembenaran seolah dirinya kreatif. Padahal, sebelum Covid-19 memangnya berapa banyak orang yang pakai e-learning? Sesuatu yang dulu banyak ditolak atau dihindari, kini setelah dipaksa, suka tidak suka harus diterima dan dilaksanakan, baru kita menyebut seolah kitalah yang kreatif. Senang rasanya kita membenarkan diri, tetapi itu menunjukkan manusia lebih merupakan makhluk pembuat alasan pembenaran (rationalising animal) daripada menjadi makhluk yang benar-benar rasional. Harusnya, berterima kasihlah kita kepada Covid-19.

Dalam hal adaptasi pola kehidupan kita di masa pandemi, rasanya kita menggaungkan konsep new normals dengan volume yang agak kegedean. Yang sesungguhnya lebih banyak terlihat adalah pertunjukan kegagalan beradaptasi dalam menghadapi pandemi Covid-19. Padahal tadi, pengetahuan tentang Covid-19 terus berakumulasi. Pemahaman kita karenanya sudah jauh lebih baik, walau SARS CoV2 masih saja cerdik dan membuat kita belum paham tuntas tentangnya. Namun, perilaku kita (banyak orang) masih saja gagal dalam urusan beradaptasi di masa pandemi. Akibatnya, angka penyebaran Covid-19 tetap saja berada dalam trend naik, secara global maupun juga nasional. Kita tetap gagap menjinakkan perilaku virus yang satu ini, padahal ada contoh seperti Taiwan yang sukses mengendalikan penyebaran Covid-19. Studi-studi memang menunjukkan bahwa perilaku manusialah salah satu masalah utama dalam penyebaran Covid-19. Tidakkah itu semakin menunjukkan bahwa kita makhluk manusia ini sulit dari klaim rasionalitasnya, bahkan cenderung akhirnya melakukan banyak kesia-siaan? Tidak juga. Namun, lihat berapa nilai uang habis dikuras untuk berhadapan dengan Covid-19? Tidak kecil kan. Namun sudah begitupun kita masih cenderung gagal menghadapi Covid-19 sebagai masyarakat manusia. Kita hanya mau bergantung sepenuhnya pada hasil segelintir scientists yang bagaimanapun sudah berjibaku mencari obat mujarab melawan Covid-19. Terima kasih banyak kepada mereka yang telah berjerih lelah membuat vaksin-vaksin yang harus diacungi jempol kemampuan respon para scientists untuk memutar roda mesin pekerjaan mereka di lab-lab untuk menghasilkan vaksin lebih cepat dari kelaziman. Namun, tidakkah sesungguhnya ketergantungan kita pada vaksin itu menunjukkan di sisi sebalinya kegagalan klaim kita sebagai makhluk rasional, apalagi kreatif? Tentu tidak semua kita gagal menjadi yang rasional atau kreatif. Namun, sebagai masyarakat manusia, kita harus mempertanyakan ulang ciri kemakhlukan kita itu.

Namun, keluar dari perilaku-perilaku berhadapan dengan Covid-19 yang masih incompatible dengan ciri pandemi ini, ada juga dan tidak sedikit bentuk-bentuk adaptasi dan inovasi baik yang muncul di berbagai bidang. Dihasilkannya vaksin-vaksin secara lebih cepat. Munculnya bentuk-bentuk teknologi kesehatan baru, misalnya alat sanitasi ultraviolet. Bentuk-bentuk pelayanan sosial di masa pandemi. Aplikasi-aplikasi teknologi informasi yang membantu kita, termasuk memfasilitasi tetap berjalannya berbagai kegiatan kita di tengah segala keterbatasan situasional yang kita hadapi. Ini termasuk aplikasi-aplikasi konsultasi kesehatan jarak jauh, uji ketahanan mental. Karena itu fair juga untuk menghargai karya-karya kreatif yang muncul. Namun, rasanya banyak hal yang rusak dan terbongkar selama masa pandemi ini. Jika dibandingkan antara apa yang rusak dengan respon inovatif yang tepat manfaat atasnya, rasanya masih kalah hal yang kedua, bukan yang pertama. Yang juga banyak terjadi adalah peniruan-peniruan massal atas ide-ide kreatif yang relatif terbatas jumlahnya. Kita tampak dipaksa untuk melakukan hal-hal yang sesungguhnya yang sudah tidak baru. Namun, sekali lagi, bukannya manusia tidak melakukan inovasi-inovasi, terutama dalam merespon Covid-19. Dan, melakukan sesuatu yang tidak baru sekalipun secara massal bagaimanapun akhirnya menjadi fenomena “baru” juga. Kita manusia, terutama sebagian yang kreatif, inovatif, mereka telah banyak belajar dan merespon dengan baik tantangan yang diciptakan oleh Covid-19. Mungkin karena ada inovasi-inovasi baik di masa pandemi ini, kita perlu berterima kasih kepada Covid-19 karena telah memaksa kita berinovasi.

Namun, terhadap semua yang baru yang dihasilkan di masa ini, semua harus nanti diuji kembali, apakah semua hal baik yang kita lakukan di masa pandemi Covid-19 itu akan bertahan di masa pasca pandemi ataukah akan sirna. Berapa banyak dari hal-hal baru itu yang akan tinggal tetap? Itu adalah ujian bagi kemampuan kita membentuk normalitas kehidupan baru yang terstimulasi muncul di masa pandemi tetapi harus melewati ujian konsistensi untuk prevail di masa pasca pandemi. Jangan-jangan, mumpung Covid-19 pergi, maka kembalilah kita ke perilaku-perilaku lama termasuk kebiasaan-kebiasaan buruk yang merusak lingkungan dan mengganggu habitat-habitat binatang-binatang (liar) yang mendorong mutasi-mutasi genetik terutama pada virus-virus, sebagaimana pada virus korona baru yang sudah menghukum tetapi sekaligus juga mengajarkan banyak hal kepada kita.

Satu hal yang mungkin bisa tampak lucu terkait relasi kita dengan SARS CoV2. SARS-CoV2 ini mungkin pada akhirnya gumun berhadapan dengan fenomena perilaku makhluk manusia. Setelah banyak yang dibuatnya menderita, institusi-institusinya ditunggang-balikkan, masih saja masyarakat manusia ini tegar tengkuk. “Jikapun ada sebagian mereka bekerja sangat keras untuk memahamiku, entah yang lainnya itu simpan di mana dalam ruang kesadarannya pengetahuan-pengetahuan yang mereka sudah peroleh tentangku, pikir sang Covid-19. Dia bingung melihat perilaku-perilaku bawah sadar kita yang menantangnya dengan kebodohan, bukan berupaya mengatasinya dengan pengetahuan dan kecerdikan.

Mungkin saking bingungnya bagaimana ia harus mengingatkan si makhluk yang menglaim dirinya paling rasional itu, SARS-CoV2 yang malah makin kreatif memutasi dirinya, di antaranya untuk menghasilkan varian-varian yang lebih trengginas untuk menyerang manusia. Sejak awal saja SARS-CoV1 sudah bermutasi ke varian D614G (mutasi virus tipe D ke tipe G). Itu ditemukan di Januari, diduga berasal dari China. Di Eropa populasi varian G meningkat di Maret dan menjadi dominan di April. Di April, varian tersebut menyebar lebih luas ke Canada, juga Australia. Tidakkah di Indonesia di masa itu kita semua masih sedang bersembunyi, sedangkan SARS-CoV2 sudah berinovasi? Tidak cukup di situ virus ini bermutasi. Saat manusia masih tetap kurang kreatif meresponnya, virus ini bermutasi untuk membelajarkan kita untuk menjadi lebih kreatif. Peneliti-peneliti di India misalnya menemukan 19 varian virus korona, salah satunya varian N440K. Sekarang, baru-baru ini, dari Inggris kita dapati lagi mutasi baru ke varian yang disebut B.1.1.7 atau VUI-202012, yang telah menyebar ke negara-negara lain seperti Italy, Denmark, Belanda, Islandia bahkan menyeberang jauh Australia, Singapura, Afrika (menunjukkan bahwa “mesin” utama penyebaran adalah mobilitas manusia yang gagal menjaga dirinya). Di Afrika Selatan, varian baru dari Inggris itu sudah bermutasi lagi menjadi 501.V2, yang kemudian bermutasi lagi menjadi P681H di Nigeria. Lalu, apa artinya semua ini? Tidakkah kita sedang menunggu vaksin untuk menumpas Covid-19 dan itu seakan sudah berabad-abad tetapi lalu mutasi SARS-CoV2 menjadi varian yang lebih berbahaya bergerak lebih cepat dari itu? Untung pertama, mutasi genetik pada virus korona ini tergolong lambat juga. Untung kedua, mutasi genetiknya dinilai masih belum mengubah materi genitiknya terlalu banyak sehingga vaksin-vaksin diharapkan masih akan efektif. Semoga. Cuma, SARS CoV2 telah “menunjukkan dirinya lebih cerdas” dari kita.

Lessons Learned?

Apa yang dapat kita pelajari dari pengalaman bersama Covid-19 di 2020 ini? Di antaranya yang perlu kita jujur akui adalah kenyataan relatif tidak siapnya kita berhadapan dengan gangguan atau disrupsi besar dan baru seperti Covid-19. Kekurangsiapan, mungkin lebih baik, karena gangguan-gangguan berskala sebesar ini tidak banyak dan terhadap sesuatu yang baru, perlu waktu untuk belajar. Di kita di Indonesia, sains kita tampak benar-benar tidak siap. Tidak banyak pengetahuan yang secara sistematis diproduksi dari seputar peristiwa Covid-19. Bukan tidak ada, tetapi masih sangat terbatas. Ketidaksiapan, itu merupakan wajah dominan kita. Lalu apa poin belajar (lanjut) dari kenyataan itu? Pandemi baru mungkin bisa datang lagi suatu waktu di depan sana, walaupun sumbernya bisa lain. Krisis global dalam wujud yang lain juga mungkin bisa terjadi. Lalu, apa pesan kuat bagi kita semua dari pandemi Covid-19 sebagai peristiwa mengejutkan di abad ini? Semoga kita tidak akan terus senang terjebak dalam fenomena jargon-jargon seperti new normal yang tidak normal, atau klaim-klaim yang gagal berbukti di lapangan.

Refleksi ini bagaimanapun telah menggugat sejumlah aspek yang melekat pada diri kita sebagai makhluk maupun juga pada tatanan-tatanan sosio kultural yang telah kita bangun. Artinya, selain tidak siap, kita ternyata rapuh. Rentan. Bangunan peradaban yang panjang bisa tinggal kenangan jika disrupsi yang datang jauh lebih hebat dari yang sudah diciptakan oleh Covid-19.

Pertanyaan tentang apa lessons learned dari Covid19 ini baiknya saya gantung terus untuk dapat dijawab oleh siapapun kita, menurut pengalaman dan perspektif masing-masing, termasuk bilamanapun ada yang mau menolak pentingnya Covid-19 dalam memberikan pembelajaran zaman bagi kita. Mungkin benar ada yang tidak belajar apa-apa atau tidak mau belajar apapun dari Covid-19, kecuali pembelajaran terpaksa seperti harus memakai masker di ruang publik. Itupun, dari flu Spanyol 1918 pun manusia sudah belajar untuk pakai masker di masa pandemi. Lagian, di rumah-rumah sakit, memakai masker toh sudah barang biasa. Bagi sebagian orang yang hidup di kota-kota besar yang tingkat polusinya relatif tinggi juga, menggunakan masker setiap hari adalah kebiasaannya. Bagaimanapun, untuk pertama kalinya semua atau hampir semua orang dipaksa harus menggunakan masker secara “gotong royong”, itupun dengan dipaksa-paksa. Itu mungkin sebuah pembelajaran baik. Mungkin itu bentuk adaptasi paling massif yang telah kita tunjukkan akibat pandemi Covid-19.

Namun, semoga kita masih juga bisa belajar bahwa dalam keadaan darurat pun kadang kita masih belum benar-benar sadar bahwa itu adalah darurat. Dalam keadaan darurat, kesulitan-kesulitan harus dijadikan “kenyamanan”, suka tidak suka. Semoga kita juga masih bisa belajar untuk mengambil saat-saat teduh, menarik diri dari kebiasaan-kebiasaan kita apalagi yang penuh hiruk-pikuk kemeriahan dan kemewahan, dan memilih untuk bisa berdiam diri sejenak, sekalipun sejenak, untuk merenungkan apa arti peristiwa sedahsyat Covid-19 ini bagi kemanusiaan kita. Ada dampak-dampak positif dari Covid-19 ini yang kadang kurang kita hargai semisal bumi kita yang akhirnya beristirahat sejenak karena kita terpaksa berdiam diri di rumah, kendaraan-kendaraan kita mati, mesin-mesin pabrik juga off. Semoga kondisi itu telah menolong bumi ini untuk memulihkan dirinya dari beban kehidupannya karena aktivitas-aktivitas kehidupan kita. Jika bumipun telah sempat berdiam diri, maka marilah di penghujung tahun ini kita mengambil saat teduh untuk merenungkan dengan lebih baik akan banyak hal, termasuk apa arti kehadiran kita dan kehidupan kita di bumi ini, di tengah kesulitan-kesulitan seperti Covid-19.   

Penutup

Anyway, apapun substansi belajar yang setiap kita mau ambil dari fenomena kehidupan manusia bersama Covid-19 di sepanjang 2020 ini, tahun 2020 ini bagaimanapun telah menjadi tahun yang istimewa bagi manusia. Sekalipun Covid-19 muncul di 2019, 2020 lah yang lalu menghadirkan hal-hal yang tidak diharapkan, mungkin bahkan sangat mengganggu dan merusak diri kita, bahkan pada skala global. Ia 2020 menyaksikan kelumpuhan dan reaksi-reaksi kita atas sumber kelumpuhan. OK, masih lumpuh juga kita dalam banyak fungsi dan peran dalam kehidupan kita ini, paling tidak belum beroperasi pada level yang seharusnya. 2020 juga sudah menjadi sebuah konteks zaman yang mampu memberikan kita cermin besar yang memantulkan banyak obyek peristiwa yang terstimulasi obyek tunggal, Covid-19, untuk menarik kita untuk belajar lagi mengenali diri sendiri dengan lebih baik, termasuk berbagai wujud ketidakmampuan kita. Ia menjadi saksi bagi tersitanya banyak energi kita melakukan ini dan itu tetapi di dalam kekhawatir, ketidaknyamanan, ketakutan, pengabaian, dan ragam perasaan.

Dengan fenomena seperti itu, sebagai satu dari rangkaian tahun-tahun, 2020 seolah telah berlalu begitu saja. Sekalipun masih ada banyak hal yang telah dapat kita lakukan di 2020 di dalam keterbatasan-keterbatasan konteks yang diciptakan oleh Covid-19, semua itu bagaimanapun terkesan berjalan terlalu cepat, begitu saja, seolah tidak kita sadari pergerakannya.

2020 karenanya adalah tahun fenomenal. Ia pasti akan dikenang secara khusus. Kita sudah memasuki dan menjalaninya bahkan hingga ke fase akhir untuk menutupnya. Jika banyak beban kita pikul di 2020, maka mungkin ini saat untuk meninggalkan beban-beban itu, sebagai bahan pelajaran. Kita mau menatap 2021, sebagai kelanjutan 2020 dari segi waktu, tetapi yang kita mau yakini sebagai tahun baru yang penuh harapan. Mari siapkan diri kita untuk menyambut 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun