Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian global, termasuk di Indonesia. Aktivitas ekonomi mengalami penurunan tajam, tingkat pengangguran meningkat, dan rantai pasok terganggu, yang pada akhirnya meningkatkan risiko di sektor keuangan. Dalam menghadapi dampak berkepanjangan dari pandemi ini, menjaga stabilitas sistem keuangan menjadi fokus utama pemerintah dan bank sentral.
Di Indonesia, pandemi menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi serta lonjakan risiko kredit akibat turunnya daya beli masyarakat, meningkatnya jumlah kredit bermasalah (non-performing loan/NPL), dan menurunnya kemampuan debitur untuk melunasi kewajiban kredit. Pada tahun 2020, pertumbuhan kredit mengalami perlambatan yang signifikan, bahkan beberapa sektor mencatat kontraksi. Bank Indonesia melaporkan bahwa pertumbuhan kredit pada 2020 hanya mencapai sekitar 2,5% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan 6,1% (yoy) pada 2019. Dalam hal ini, Penerapan kebijakan makroprudensial akomodatif menjadi sangat penting untuk mendukung pemulihan ekonomi. Kebijakan makroprudensial akomodatif bertujuan untuk menj aga stabilitas sistem keuangan, sambil memberikan ruang bagi pembiayaan yang dibutuhkan oleh sektor-sektor ekonomi yang terdampak.
Kebijakan yang diterapkan oleh Bank Indonesia (BI) akibat tekanan dari pandemi berhasil menjaga stabilitas selama periode 2018-2020. Pada semester pertama tahun 2018, BI mulai merumuskan kebijakan makroprudensial yang bertujuan untuk menghadapi tantangan ekonomi global dan domestik yang semakin kompleks. Meskipun intermediasi perbankan mengalami perlambatan akibat tekanan ekonomi, pertumbuhan kredit tetap menjadi salah satu prioritas utama. Hal ini tercermin dari tingkat pertumbuhan kredit yang mencapai 9,92% secara tahunan (year-on-year) pada semester pertama tahun 2019, menunjukkan peran penting kebijakan BI dalam mendukung aktivitas ekonomi nasional meskipun dalam situasi yang penuh tantangan.
Hal tersebut dilakukan melalui Bank Indonesia bersama dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang memperkuat kolaborasi kebijakan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional setelah pandemi. Fokus utama dari langkah-langkah ini adalah meningkatkan intermediasi perbankan, menjaga stabilitas nilai tukar, serta mendorong inklusi dan digitalisasi keuangan. Kebijakan yang diterapkan meliputi pelonggaran kebijakan moneter, penurunan rasio LTV dan FTV, serta pemberian insentif makroprudensial seperti Countercyclical Capital Buffer (CCyB) dan Ratio of Insurance Market (RIM). Langkah-langkah ini bertujuan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, mendukung sektor riil, serta memfasilitasi transisi menuju ekonomi hijau dengan fokus pada inklusi keuangan hijau. Di tengah ketidakpastian ekonomi global, Bank Indonesia juga memperkuat digitalisasi sistem pembayaran dan merencanakan penerbitan Central Bank Digital Currency (CBDC) untuk memperkuat ekosistem digital yang lebih resilien.
Pada tahun 2021, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkuat kerjasama kebijakan melalui Forum Koordinasi Makroprudensial dan Mikroprudensial (FKMM) serta Perjanjian Kerjasama (PKS) terkait dengan pemberian Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) dan Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah (PLJPS). Upaya ini memperkuat peran BI sebagai Lender of the Last Resort dan memperkuat pengawasan sektor perbankan oleh OJK. Sejak awal pandemi, BI telah mengambil langkah-langkah signifikan dalam kebijakan moneternya, termasuk penurunan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebanyak enam kali, yang membawa suku bunga ke tingkat terendah dalam sejarah. Bersamaan dengan kebijakan likuiditas longgar melalui quantitative easing yang mencapai Rp 827,7 triliun (setara 5,4% dari PDB sejak 2020), langkah-langkah ini menunjukkan komitmen BI dalam mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Pada tahun 2022, pertumbuhan perekonomian global diperkirakan lebih rendah pada tahun 2022, disertai dengan tantangan geopolitik dan pengetatan kebijakan moneter, menggambarkan kerentanan yang dihadapi oleh banyak negara. Dampak dari konflik Ukraina dan inflasi global dapat meningkatkan risiko stagflasi dan resesi. Meskipun demikian, perekonomian domestik diperkirakan akan mengalami perbaikan yang positif, didorong oleh peningkatan konsumsi, investasi, dan kinerja ekspor yang membaik.
Pada tahun 2023, kebijakan makroprudensial yang akomodatif diarahkan untuk mendorong pertumbuhan kredit sebesar 9-11% (yoy) dengan memanfaatkan berbagai instrumen kebijakan guna memberikan insentif kepada bank dalam menyalurkan pembiayaan. Transparansi suku bunga dasar kredit akan ditingkatkan untuk mendorong efisiensi di pasar pembiayaan. Kebijakan Countercyclical Capital Buffer (CCyB) tetap bersifat akomodatif, mengingat indikator utama tidak menunjukkan adanya risiko intermediasi yang berlebihan. Meski likuiditas diperkirakan mengalami perlambatan, Pengelolaan Likuiditas Makroprudensial (PLM) akan tetap terjaga. Selain itu, dukungan terhadap pembiayaan inklusif dan hijau terus diperkuat dengan menitikberatkan pada pengembangan ekosistem keuangan yang berkelanjutan (Bank Indonesia, 2023). Amandemen Undang-Undang Bank Indonesia dalam UU PPSK semakin memperkokoh mandat untuk memajukan pembiayaan inklusif, termasuk memperluas akses bagi UMKM dan pelaku ekonomi berbasis syariah.
Selanjutnya, kebijakan makroprudensial yang longgar diterapkan oleh Bank Indonesia pada tahun 2024 dinilai sangat strategis dalam menjaga keseimbangan antara mendorong pertumbuhan kredit dan memastikan stabilitas sistem keuangan. Dengan mempertahankan Countercyclical Capital Buffer (CCyB) di level 0% dan pelonggaran rasio Loan to Value (LTV), BI memfokuskan upaya pada sektor properti dan otomotif untuk memperkuat daya ungkit ekonomi. Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap konsumsi dan investasi domestik (Bank Indonesia, 2024). Selain itu, penetapan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) di kisaran 84-94% dengan beberapa pengecualian tertentu memberikan fleksibilitas kepada bank dalam menyalurkan kredit, terutama pada sektor-sektor prioritas.
Hal ini disebabkan karena secara global, proyeksi perlambatan ekonomi di Amerika Serikat yang diperkirakan akan menurunkan Federal Funds Rate (FFR) serta berkurangnya ketidakpastian pasar memberikan peluang bagi masuknya arus modal ke Indonesia, yang dapat mendukung penguatan nilai tukar Rupiah. Prospek pertumbuhan kredit sebesar 10-12% pada tahun 2024, dengan prediksi peningkatan pada tahun 2025, mencerminkan optimisme terhadap permintaan domestik yang tetap kuat, terutama dengan fokus pada sektor hijau dan inklusif yang sejalan dengan tren keberlanjutan saat ini. Namun, Bank Indonesia perlu terus memantau potensi risiko, baik domestik maupun global, termasuk ketergantungan terhadap stabilitas arus modal asing dan dampak dari ketidakpastian global.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H