Ya kemungkinan ada terhadap jaman dulu, tetapi tokoh-tokoh di dalam cerita politik klasik menguasai "swing voters" bersama dengan menguasai elit politik dan konglomerat. Sedangkan kini, posisi Mahfud baru bisa eksis sehabis adanya sosial media dan pemahaman politik yang memadai di level akar rumput.
Lagipula, eksistensi swing voter ini tumbuh subur karena cuma ada dua kandidat presiden. Hal yang mirip berjalan di Amerika Serikat yang mana cuma ada dua partai yang boleh bertarung untuk jadi yang nomer satu.
Tapi ohoho, tak semudah itu, Ferguso. Karena sifatnya yang "independen", pemilih non partisan ini memiliki banyak sekali ide mengenai bagaimana calon pemimpin yang ideal. Ketika "pemimpin" group tanpa pemimpin ini tak bisa mengumpulkan ide-ide tersebut, maka swing voter cuma bakal jadi golput-er.
Artinya, jikalau benar Mahfud menginginkan menggunakan Golfudnya sebagai bargaining chip, maka hal pertama yang harus dilaksanakan sehabis mendeklarasikan Golfud adalah membangun jaringan komunikasi yang luas.
Jaringan komunikasi ini dibutuhkan agar semua anggota Golfud bisa dimobilisasi di dalam waktu yang singkat dan ada garis komando yang jelas.
Sebenarnya ada hipotesa-hipotesa lain mengenai bagaimana Mahfud bisa menggunakan golongannya di dalam percaturan politik. Semisal jadi menteri di rezim selanjutnya, jadi capres atau cawapres di 2024, dan lain-lain. Tapi marilah kami cukupkan pembahasan sampai sini saja karena ternyata membawa dampak hipotesa ngawur itu termasuk butuh tenaga dan pikiran. Wassalam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H