Mohon tunggu...
Neil Armstrong
Neil Armstrong Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Federalisme Indonesia

31 Januari 2019   12:48 Diperbarui: 31 Januari 2019   12:51 1487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Masyarakat takut dirasakan sebagai anti Undang-Undang Dasar 1945, anti Pancasila, anti NKRI, dan takut dirasakan pemberontak... Tapi yang sangat takut soal ini kok Jawa ya?"---Faisal Basri

NKRI harga mati!

Jargon tersebut sering terdengar sejumlah waktu belakangan. Kalimat digdaya tersebut sering dibacakan sebagai penegasan bahwa format Negara Kesatuan ialah final, mustahil diganggu gugat lagi, sampai-sampai sistem kenegaraan lain laksana federasi tabu guna didiskusikan. Tapi bila berandai-andai, kira-kira sesuai ga ya gagasan federalisme diterapkan di Indonesia?

Federalisme tersebut sendiri ialah bentuk negara dimana provinsi adalahbagian tak terpisahkan dari pemerintahan pusat. Sama serupa seperti sistem Negara Kesatuan yang anda anut sekarang. Hanya dalam praktiknya, provinsi ini diberi kewenangan sarat dalam mengelola segala aspek pembangunan, mulai dari keuangan, infrastruktur, pendidikan, hukum, pendidikan, dan sebagainya.

Bedanya dengan Negara Kesatuan, pemerintahan pusat melulu bertugas mengurusi hal-hal mempunyai sifat nasional saja laksana pertahanan dan keamanan, politik luar negeri, dan Fiskal. Selebihnya adalahwewenang pemerintah negara bagian/ provinsi.

Banyak negara memakai sistem federal. Mulai dari Amerika Serikat, Australia, Swiss, bahkan tetangga terdekat kita, Malaysia, pun menggunakan sistem federalisme.

Federasi sendiri bukanlah kata asing untuk Indonesia. Karena ketika negara anda belum lahir, Jepang sudah menyarankan pada BPUPKI supaya membentuk negara federal. Tapi sayangnya, perwakilan sepuluh orang dari luar jawa tidak lumayan kuat untuk memprovokasi keputusan sampai-sampai terbentuklah negara kesatuan.

Selain tersebut Soekarno yang berasal dari etnis Jawa yang kriteria dengan aristokrasi mempengaruhinya untuk memfokuskan kekuasaan. Berbeda dengan Hatta yang berasal dari Minangkabau yang kebiasaan aristokratnya sudah dilemahkan oleh gerakan Islam dan kebiasaan dagang.

Ia lebih memilih federasi sebagai sistem negara. Namun sekali juga Dwitunggal Indonesia bertolak belakang pendapat, sebagai seorang demokrat Bung Hatta tetap tunduk dan patuh untuk keputusan suara terbanyak.

TAPI SEKARANG KOK FEDERALISME SEPERTI HANTU YANG DITAKUTI DALAM POLITIK INDONESIA?
Jawabannya ialah saat negara anda tetap balita, federasi pernah dipakai sebagai format negara. Tapi ketika itu, tepatnya pada tahun 1949 sesudah perjanjian Konferensi Meja Bundar, sistem federal dipaksakan oleh Belanda untuk Indonesia.

Langkah tersebut bertujuan guna memecah belah kekuatan politik nasional supaya mudah dipengaruhi. Belanda yang porak-poranda usai Perang Dunia II masih membutuhkan sumber daya Indonesia untuk mencairkan ekonominya dan bercita-cita dapat pulang menguasai nusantara.

Itulah kenapa sistem negara federasi laksana diharamkan. Karena format negara federasi sering disinggung bentukannya Belanda. Sejarah tersebut kemudian dibumbui cerita-cerita mistis oleh rezim yang memang kegemaran memelihara hantu, khususnya Orde Baru, yang menginginkan kontrol sarat atas masyarakat dan sistem pemerintahan yang sentralistik.

Pasca reformasi sendiri tidak sedikit tokoh nasional yang mengharapkan Indonesia berpindah ke sistem federal. Beberapa di antaranya ialah Amien Rais dan Gus Dur. Tapi lagi-lagi, isu tersebut tenggelam bareng euforia reformasi dan keluguan masyarakat Indonesia bakal politik.

"Semua wilayah punya kekhususan (masalah dan potensi keunggulan) masing-masing. Oleh karena tersebut harus ditata dengan cara-cara yang eksklusif pula. Itulah esensi dari federalisme."

Di masa aku masih jadi pekerja media, ada sejumlah anggota dewan yang mengeluh soal komparasi Pendapatan Asli Daerah yang disetor ke pusat dengan APBD + Dana Untuk Hasil serta Dana Alokasi Khusus dan Umum yang turun ke daerah. Mereka merasa menjadi sapi perah pulau jawa terutama Jakarta.

Selain tersebut UU yang menata kewenangan wilayah dalam mengelola finansial masih tak dapat membuat wilayah lebih mandiri. Mungkin itulah yang akhirnya merangsang Pemda memasukkan beberapa dari APBD ke bank-bank wilayah dalam format deposito.

TAPI KALAU INDONESIA JADI NEGARA FEDERAL, NANTI BAKAL ADA KETIMPANGAN ANTAR DAERAH DONG?


Untuk membalas masalah ketimpangan, anda harus belajar dari negara federal yang lain. Salah satu yang sukses ialah Swiss. Negara ini ialah salah satu negara dengan sistem politik sangat egaliter di semua dunia.

Pemerintah Swiss membagi wilayahnya ke dalam kanton-kanton (semacam provinsi dalam konfederasi) yang berhak menciptakan perundangannya sendiri. Karena sistem ini pula setiap wilayah sangat gampang beradaptasi dengan masalah dan kelebihannya masing-masing.

Uniknya lagi, negara tersebut ternyata menganut sistem pemilu semi-langsung, dimana masyarakat berhak mengemukakan penambahan, penghapusan, dan modifikasi undang-undang tanpa melewati lembaga perwakilan.

Jadi andai masyarakat tidak setuju dengan draft undang-undang yang diciptakan parlemen, mereka tinggal mengemukakan petisi yang ditandatangani oleh paling tidak 50.000 orang guna level kanton dan 100.000 guna level konstitusi nasional. Say bye to money politics! Tidak terdapat lagi partai-partai songong yang selingkuh dengan konglomerat sebab rakyat punya instrumen guna menilai hidupnya sendiri.

Kembali ke Indonesia, masalah dan kelebihan tiap wilayah itu berbeda. Jika masyarakat wilayah dibekali pengetahuan yang mumpuni plus birokrasi yang baik dan transparan aku yakin ga akan ada ketimpangan.

Yang terdapat justru wilayah tertinggal dapat menciptakan sistem yang sama dengan wilayah maju. Dan memang disitulah letak indahnya sistem federalisme, sebab kerjasama antar wilayah akan paling dianjurkan.

Hingga sekarang aku masih sepakat dengan apa yang dikatakan Bung Faisal Basri. Demokrasi bakal lebih berkembang dalam format negara federasi sebab setiap distrik --- khususnya Indonesia yang multietnis, ,multikultur, multibahasa --- bisa memetakan permasalahannya sendiri sembari membuat solusi yang cocok dengan kebijaksanaan lokal setempat.

Masyarakat tak butuh lagi jadi pemirsa proyek-proyek pusat yang di bina di daerah. Toh pada hakikatnya akar dari federalisme dapat kita temukan pula dalam pandangan hidup Bhinneka Tunggal Ika dan pemikiran semua Bapak Bangsa kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun