Itulah kenapa sistem negara federasi laksana diharamkan. Karena format negara federasi sering disinggung bentukannya Belanda. Sejarah tersebut kemudian dibumbui cerita-cerita mistis oleh rezim yang memang kegemaran memelihara hantu, khususnya Orde Baru, yang menginginkan kontrol sarat atas masyarakat dan sistem pemerintahan yang sentralistik.
Pasca reformasi sendiri tidak sedikit tokoh nasional yang mengharapkan Indonesia berpindah ke sistem federal. Beberapa di antaranya ialah Amien Rais dan Gus Dur. Tapi lagi-lagi, isu tersebut tenggelam bareng euforia reformasi dan keluguan masyarakat Indonesia bakal politik.
"Semua wilayah punya kekhususan (masalah dan potensi keunggulan) masing-masing. Oleh karena tersebut harus ditata dengan cara-cara yang eksklusif pula. Itulah esensi dari federalisme."
Di masa aku masih jadi pekerja media, ada sejumlah anggota dewan yang mengeluh soal komparasi Pendapatan Asli Daerah yang disetor ke pusat dengan APBD + Dana Untuk Hasil serta Dana Alokasi Khusus dan Umum yang turun ke daerah. Mereka merasa menjadi sapi perah pulau jawa terutama Jakarta.
Selain tersebut UU yang menata kewenangan wilayah dalam mengelola finansial masih tak dapat membuat wilayah lebih mandiri. Mungkin itulah yang akhirnya merangsang Pemda memasukkan beberapa dari APBD ke bank-bank wilayah dalam format deposito.
TAPI KALAU INDONESIA JADI NEGARA FEDERAL, NANTI BAKAL ADA KETIMPANGAN ANTAR DAERAH DONG?
Untuk membalas masalah ketimpangan, anda harus belajar dari negara federal yang lain. Salah satu yang sukses ialah Swiss. Negara ini ialah salah satu negara dengan sistem politik sangat egaliter di semua dunia.
Pemerintah Swiss membagi wilayahnya ke dalam kanton-kanton (semacam provinsi dalam konfederasi) yang berhak menciptakan perundangannya sendiri. Karena sistem ini pula setiap wilayah sangat gampang beradaptasi dengan masalah dan kelebihannya masing-masing.
Uniknya lagi, negara tersebut ternyata menganut sistem pemilu semi-langsung, dimana masyarakat berhak mengemukakan penambahan, penghapusan, dan modifikasi undang-undang tanpa melewati lembaga perwakilan.
Jadi andai masyarakat tidak setuju dengan draft undang-undang yang diciptakan parlemen, mereka tinggal mengemukakan petisi yang ditandatangani oleh paling tidak 50.000 orang guna level kanton dan 100.000 guna level konstitusi nasional. Say bye to money politics! Tidak terdapat lagi partai-partai songong yang selingkuh dengan konglomerat sebab rakyat punya instrumen guna menilai hidupnya sendiri.
Kembali ke Indonesia, masalah dan kelebihan tiap wilayah itu berbeda. Jika masyarakat wilayah dibekali pengetahuan yang mumpuni plus birokrasi yang baik dan transparan aku yakin ga akan ada ketimpangan.