Hubungan relasi antara negara Tiongkok dan Amerika Serikat adalah salah satu kajian yang cukup penting untuk digali, mengingat dampak dan pengaruh besar dari kedua negara adidaya di era yang baru ini. AS telah dikenal dalam memegang kendali atas peran power yang cukup dikenal di dunia sejak era Perang Dunia II, di sisi lain Tiongkok yang dapat kita lihat sebagai negara yang telah dikenal dengan pertumbuhan ekonominya yang paling bergerak cepat dan semakin maju setiap tahunnya saat ini. Hal ini telah menjadi permasalahan yang awam, khususnya ketika kedua negara saling bereaksi atas satu sama lain sejak permasalahan perang dagang yang telah dimulai pada tahun 2018.
Dengan pertumbuhan yang erat dari kekuatan komprehensif Tiongkok, baik Tiongkok dan Amerika Serikat ditafsirkan untuk "jatuh" ke dalam apa yang disebut "Perangkap Thucydides", konsep ini diberikan oleh pemikir Amerika Graham Allison, dan telah menjadi topik keprihatinan global sampai hari ini. Namun, pemikiran ini masih kontroversial dalam menjawab apakah konsep ini benar-benar relevan dalam analisis hubungan Tiongkok-AS. Dalam menjawab pertanyaan besar tersebut, penulis akan mencoba untuk melihat kembali dalam Perang Peloponnesia yang telah dijelaskan oleh Thucydides dan relevansinya pada hubungan Tiongkok-AS saat ini, terutama akar konflik antara dua kekuatan utama dalam kedua kasus yang berbeda abad tersebut. Mengikuti multi-level pendekatan analitis, artikel ini akan mencoba untuk membandingkan Athena dan Sparta di abad ke-5 SM dengan Tiongkok dan Amerika Serikat pada abad ke-21 di tatanan hubungan internasional. Penulis juga akan mencoba untuk menganalisis masalah yang berkaitan dengan konsep dan upaya untuk menentukan apakah Tiongkok dan Amerika Serikat ditakdirkan untuk jatuh ke dalam "Perangkap Thucydides."
THUCYCIDES & SEJARAH PERANG PELOPONNESIA
Tidak dapat dipungkiri bahwa Ilmu Hubungan Internasional diciptakan dan dapat dikatakan sebagai kajian atau ilmu yang termasuk baru dan berusaha untuk mencoba menganalisis tentang segala isu yang terjadi di dunia. Namun perlu diingat, bahwa pemikiran-pemikiran ilmu HI tentu tekah jauh berada, bahkan sebelum ilmu HI tersebut menjadi sebuah ilmu yang berdiri sendiri dan dikategorikan sebagai ilmu kontemporer. Dari berbagai tokoh pemikir-pemikir disiplin HI, yaitu Thucydides, salah satu tokoh pemikir realisme dalam ilmu HI.
Thucydides (460-400 SM) merupakan seorang sejarawan sekaligus jenderal Yunani, dan penulis dari negara Yunani. Sebuah mahakarya klasik dengan buku yang berjudul The History of Peloponnesian War (Sejarah Perang Peloponnesia) berusaha memberi gambaran atas perang yang terjadi pada Abad 5 SM antara negara Athena dan Sparta pada 421-404 SM. Melalui karya tersebut, tokoh ini dijuluki sebagai bapak "sejarah ilmiah", dikarenanakan atas standarisasi yang cukup erat atas bukti analisis dan pengumpulan data sebab akibat tanpa mengikuti acuan "intervensi" oleh para dewa kala itu, layaknya buku-buku yang telah ada lainnya dari era yang sama dengan zaman saat buku tersebut ditulis. Berdiri dari akar pemikiran realisme pada disiplin ilmu HI, Thucydides pun menggambarkan dan menjelaskan 4 (empat) kategori mengenai ilmu realisme, yaitu:
- Kondisi hubungan internasional yang menurut dia selalu dalam kondisi anarkis, dan untuk mencapai keamanan atas kepentingan sendiri, seluruh negara di dunia berusaha meningkatkan kekuasaan masing-masing.
- Pemikir tokoh realis menganggap bahwa pemerintah merupakan hal yang tidak ada dan kondisi tatanan dunia yang selalu di kondisi anarkis,
- Kondisi dan sifat manusia yang pada dasarnya mementingkan diri sendiri dan egois sebagai titik awal pemikir realisme dalam hubungan internasional.
- Realis menganggap dan mengklaim bahwa pada dasarnya tidak menempatkan moralitas dalam tatanan dunia, semua kembali pada pemikiran "moralitas" yang dipercaya masing-masing negara anut.
Istilah "Thucydides Trap" diperkenalkan pertama kali oleh Allison (2012) dalam menggambarkan kasus perang para negara adidaya atau hegemon dunia atas reaksi kekuatan baru yang "mengejar". Kita telah mengenal AS sebagai salah satu negara yang paling berkuasa atau dapat disebut sebagai "polisi dunia", dan di sisi lain Tiongkok sebagai kekuatan adidaya baru yang dipersepsikan sedang kejar mengejar pertumbuhan AS. Allison menggunakan pemikiran ini dengan mengutip akar pemikiran Thucycides yang telah terdahulu menjelaskan kisah Perang Peloponnesia yaitu antara Athena sebagai negara adidaya terdahulu dan Sparta sebagai kekuatan adidaya baru.
Perang Peloponnesia yang terjadi dari tahun 431 hingga 404 SM. antara Aliansi Delos yang dipimpin oleh Athena dan Aliansi Peloponnesia yang dipimpin oleh Sparta, dan Thucydides menguraikan proses dan penyebab perang dalam karyanya buku, The History of Peloponnesian War. Di awal buku, Thucydides menawarkan dua penjelasan dasar untuk perang: akar penyebab dan alasan perang. Meskipun Thucydides kemudian menafsirkan penyebab Perang Peloponnesia dari banyak sudut lain, penyebab utama perang "bangkitnya" Athena dan ketakutan yang diilhami di Sparta" telah diakui oleh mayoritas ilmuwan politik dan telah berkembang menjadi konsep "Perangkap Thucydides". Namun, apakah interpretasi Thucydides terlalu disederhanakan, dan apakah seseorang dapat menarik hubungan langsung antara Tiongkok dan Amerika Serikat hari ini dengan Athena dan Sparta di 24 abad yang lalu, adalah hal yang masih terbuka untuk dipertanyakan dan direlevansikan dengan kondisi abad sekarang?
KONTROVERSI THUCYCIDES TRAP
Sebagai gagasan yang semakin populer dan telah sering disebutkan oleh para pemimpin China dan Amerika, "Perangkap Thucydides" tetap menjadi topik kontroversi di kalangan akademisi dan kebijakan internasional. Baik pejabat pemerintah China maupun Amerika cenderung bersikap optimis melihat bahwa negara mereka dapat melarikan diri dari "Perangkap Thucydides". Pada tahun 2014, Presiden China Xi Jinping menyatakan bahwa "kita semua perlu" bekerja sama untuk menghindari `Thucydides Trap". Dalam pidatonya di Seattle pada 24 September 2015, ia berusaha untuk menegaskan bahwa "tidak ada hal seperti itu" sebagai apa yang disebut perangkap Thucydides di dunia. Tetapi haruskah negara-negara besar berulang kali membuat kesalahan kesalahan perhitungan strategis, mereka mungkin membuat jebakan seperti itu untuk diri mereka sendiri.". Sebagai tanggapan, Presiden AS saat itu Obama mengatakan pada tahun 2015 bahwa dia tidak setuju dengan gagasan "Perangkap Thucydides" dan relevansinya dengan hubungan AS-China. Meskipun Presiden Trump belum membuat pernyataan yang jelas tentang apakah ada "Perangkap Thucydides" antara China dan Amerika Serikat, ia telah berkali-kali menegaskan bahwa kedua negara harus menjaga kerja sama dan mengelola perbedaan di kedua hubungan negara adidaya di era ini.
Jelas, baik pemimpin tinggi China maupun Amerika tidak berpikir negara mereka akan jatuh ke dalam "Perangkap Thucydides." Sebagai perbandingan, para tokoh internasional yang lebih beragam pada konsep tersebut. Secara umum, ada 3 (tiga) pandangan. Pandangan pertama, terutama dari para pemikir Barat dan khususnya Amerika, cukup pesimistis. Mereka percaya bahwa hubungan AS-China telah jatuh atau akan memasuki "Perangkap Thucydides." Misalnya, pada Mei 2015, cendekiawan Amerika David Lampton, yang biasa mengungkapkan banyak harapan untuk hubungan AS-China yang sehat dan langgeng, menyampaikan pidato di Forum Dunia tentang Studi China, yang menyatakan bahwa "titik kritis dalam hubungan AS-China ada pada kita" dan bahwa "kita menyaksikan erosi dari beberapa dukungan mendasar yang kritis untuk hubungan AS-China yang sebagian besar positif.". Banyak yang mengatakan, termasuk beberapa orang Tiongkok, lebih cenderung berbagi pengamatan yang pesimistis terhadap hal ini.
Namun, sebagian besar cendekiawan Tiongkok memiliki pandangan berbeda bahwa "Perangkap Thucydides" tidak dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan Tiongkok-AS secara akurat. Dengan membedah masalah dengan gagasan tersebut, mereka telah mencari cara bagi kedua negara untuk mengatasi jebakan tersebut. Misalnya, Profesor Qin Yaqing menemukan bahwa model filosofis Tiongkok tentang "Dialektika Yin dan Yang" sangat berbeda dari pemikiran Barat tentang "konflik dan konfrontasi", dan dengan demikian kebangkitan China harus dinilai dari perspektif holistik dan historis, bukan permainan zero-sum. Profesor Qian Shengdan menunjukkan secara langsung bahwa "Perangkap Thucydides" tidak konsisten dengan fakta sejarah dan oleh karena itu mungkin tidak berlaku untuk hubungan Tiongkok-AS saat ini.