Kemenangan pasangan Joko Widodo (Jokowi) - Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tak lepas dari sebuah "perjudian" dgn taruhan super tinggi ketika Megawati & Prabowo "mengawinkan" Jokowi & Ahok. Menurut "kabar angin", pada awalnya kepada Jokowi ditawarkan 2 nama cawagub untuk mendampinginya, yg satu seorang aktor senior yg sangat teruji kredibilitas dan integritasnya dan yg kedua ialah Ahok.
Bakal calon yang pertama ini popularitasnya sangat tinggi (maklum aktor senior yg wajahnya hampir setiap hari muncul di layar kaca) dan pada gilirannya akan menghasilkan angka elektabilitas yg sangat tinggi pula. Citranya di luar dunia keartisan juga sangat bagus, tidak pernah tersandung masalah rumah tangga dan narkoba, dua hal yg sering mengganjal nama baik selebriti. "Pokok'e maknyus" lah kalau menurut istilah Pak Bondan. Kemenangan dapat diraih dgn mudah. Kombinasi birokrat-selebriti ini banyak menuai kemenangan di beberapa pemilihan kepala daerah.
Pilihan kedua adalah Ahok. Waktu itu warga DKI belum banyak yg mengenal Ahok. Hanya yg suka mencermati berita politik dan rajin nonton Kick Andy yang mungkin pernah satu atau dua kali mendengar nama Ahok disebut. Kiprahnya selaku Anggota DPR Komisi II, jabatan terakhir sebelum dia maju jadi cawagub DKI, "nyaris tak terdengar" di luar tembok ruang rapat dewan. Kalau sesama anggota Komisi II tentu sudah tahu bagaimana vokalnya Ahok, salah satunya saat Rapat Dengar Pendapat dgn KPU & Bawaslu. (Link videonya bisa diakses di http://www.youtube.com/watch?v=Ee4kQoX-W9Y ).
Selain kurang dikenal, Ahok juga kebetulan lahir sebagai keturunan etnis Tionghua serta beragama Kristen Protestan. Sebetulnya tidak ada yg "salah" samasekali Ahok itu Tionghua dan non Muslim, kecuali dia mau mencalonkan diri jadi wakil gubernur DKI. Minoritas ganda ini, tanpa perlu segala riset & survei, bisa dipastikan akan menjadi "sasaran tembak" yg empuk buat lawan² politiknya. Bahkan sebagian warga, tanpa harus dikompori, sudah "alergi" dgn kombinasi ini (Tionghua & non Muslim).
Jokowi dihadapkan pada 2 opsi ini. Seharusnya pilihan yang sangat mudah dan sudah jelas. Kalau secara nalar pragmatis maka nama pertama lah yg harusnya dipilih oleh Jokowi. Tapi Jokowi ternyata malah memilih Ahok. Nah disinilah keberanian seorang entrepreuner seperti Jokowi muncul. Jokowi betul² "berjudi" dgn menggandeng Ahok sebagai calon wakilnya.
Dia membuang satu kesempatan untuk bisa memenangkan Pilgub DKI dgn cara lebih mudah. Dia lebih memilih "jalan terjal dan berliku" menuju DKI1. Pada suatu kesempatan, Jokowi pernah ditanya wartawan kenapa dia pilih Ahok. Ternyata dia lebih memprioritaskan bagaimana nanti mengelola Jakarta yg penuh kompleksitas ini seandainya dia menang ketimbang kemudahan memenangkan Pilgub itu sendiri.
Jokowi sudah berpikir lebih jauh daripada sekedar mengejar kemenangan saja. Dia sangat sadar, untuk bisa mengelola Jakarta dengan baik, dia butuh rekan kerja yg betul² bisa diandalkan. Baginya lebih baik kalah daripada menang tapi nanti kerepotan dan akhirnya gagal total menjalankan kepercayaan rakyat. Singkat kata dia sedang "berjudi" dengah taruhan yang sangat tinggi, yakni kekalahan itu sendiri.
Jadilah Jokowi dan Ahok bergandengan tangan maju dalam kancah Pilgub DKI. Sekali pun popularitasnya lumayan tinggi (karena kiprah dan perstasinya sebagai walikota Solo dia banyak di liput media nasional), tapi tak sedikit kalangan yg menilai peluangnya kecil untuk menang. Salah satu titik lemahnya adalah Ahok. Benarkah demikian?
Saat putaran pertama, hasilnya ternyata cukup mengejutkan. Pasangan Jokowi-Ahok ini melejit dgn perolehan suara meninggalkan 5 pasangan pesaingnya. Bahkan pasangan Foke-Nara yang diprediksi bakal menang mudah ternyata harus puas di posisi 2 dgn jurang selisih suara yang sangat lebar.
Nah memasuki Pilgub Putaran II inilah Ahok diserang secara masif dgn isu SARA serta dicitrakan sebagai figur yg ambisius dan tidak amanah. Tidak perlu saya ulas disini serangan apa saja yg diarahkan ke Ahok, kita semua sudah sama² tahu lah. Dan anehnya Ahok se-akan² menerima saja segala anak panah yg menyasar ke dadanya, selama periode bulan puasa dan menjelang kampanye periode II kita hampir tidak melihat adanya gerakan dari Ahok.
Tapi keadaan berbalik ketika masa kampanye dilakukan debat kandidat secara langsung di 2 stasiun TV secara bergantian. Dari dua kali debat itu semua orang yang tadinya tidak mengenal Ahok serta meragukannya matanya menjadi terbuka dan tahu bagaimana kemampuan Ahok. Hampir semua pengamat sepakat bahwa bintang dari kedua debat itu adalah Ahok. Saya tidak ada data konkrit, tapi saya yakin performa Ahok di 2 debat itu telah mendongkrak cukup signifikan perolehan suara Jokowi-Ahok, utamanya dari kalangan menengah dan atas yg lebih melek informasi. Mereka yang tadinya ragu atau masih belum yakin 100% Â menjadi berubah pandangannya.