Mohon tunggu...
Isadur Rofiq
Isadur Rofiq Mohon Tunggu... Penulis - penulis

Kau lupa Ambo, cerita hikayat lama dongeng-dongeng itu ada penulisnya. tapi ceritamu, Allah Penulisnya. @negararofiq

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Kita yang Mengakhiri

12 Maret 2019   10:25 Diperbarui: 12 Maret 2019   10:52 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Oke siap windi"

"Aku hanya ingin nanya aja, kenapa kamu dulu pas test interview, jawabnya Cuma punya modal orang tua yang mendoakan untuk kesuksesanku?"

Aku termenung sebentar, mencoba merangkai kata-kata agar jawabanku diterima dengan baik oleh ibu direktur. "Saya rasa selain tuhan, aktor yang menentukan kesuksesan seseorang adalah orang tua. Orang tuaku, tak henti-hentinya mendoakan setiap siang dan malam untuk kebahagiaan dan kesuksesanku. Juga sudah jelas, 'dalam hadis menyatakan bahwa keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, begitupun sebaliknya, kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orang tua'. Jadi dirasa gak salah saya mengatakan bahwa orang tua adalah modal utama saya dalam mengarungi kehidupan." Ujarku. 

Tiba-tiba sang direktur menangis. "Terimakasih atas motivasinya ya Fej" ujarnya.

"Saya tidak memberikan motivasi kok. Cuma bicara apa adanya tentang hidupku"

"Iya paham, tapi ceritamu membuatku termotivasi dan menyesal dengan apa yang saya lakukan kepada kedua orang tuaku dulu"

"Memang ada apa dengan orang tuamu dulu?"

"Aku bisa dikatakan adalah anak yang durhaka dan tidak pernah menghargai jasa kedua orang tuaku. Tapi maaf, saya gak bisa membicarakan kepadamu. Masalahku pelik sekali, aku malu"

"Kok bisa begitu? Cerita aja, siapa tau aku bisa membantu menyelesaikan masalah masa lalumu"

Suasana menjadi hening, lalu windi melanjutkan ceritanya, "Aku terlahir dari orang tua yang sangat miskin, hampir setiap hari kita hanya makan 1 kali. Tapi orang tuaku gak pernah mengeluh dan bahkan hidup kami agamis. Hingga suatu saat aku mendapat beasiswa kuliah di luar negeri. Akupun berangkat ke luar negeri dan satu pesan dari orang tuaku, 'Jangan lupakan kami bapak dan ibu ya nak', saat berjalan 1 tahun kuliah, aku ditelpon oleh sepupuku, bahwa bapakku meninggal dunia karena asma, tapi reaksiku pada saat itu biasa-biasa saja. Bahkan aku gak kepikiran pulang karena 2 hari lagi pada saat itu akan berlangsung ujian. Berkali-kali sepupuku nelpon, tapi saya abaikan. Pikiranku pada saat, kematian adalah takdir, sehingga meskipun aku pulang kampung tidak akan merubah nasib bapakku. Hingga 2 tahun berlalu, lagi-lagi sepupuku menlponku, kali ini Ia bilang, 'Ibumu meninggal nduk', reaksiku pada saat itu sama, tidak mau pulang, biarkan saudara-saudaraku yang menguburkannya. Sekali lagi pikiranku, kalau sudah takdir, ngapain digugat.?" Suasana hening dan kali ini Windi megusap air matanya.

Dengan tersedu-sedu kemudian Ia melanjutkan ceritanya lagi, "suatu saat, saya sakit keras, biasanya saya dimasakin bubur sama ibuk kalau sakit, dan ibuk selalu memberi semangat agar bisa cepat sembuh. Tapi, pada saat itu kenangan menghiasi pikiranku hingga aku menyesal tak pernah menghubungi ibu ditengah kesibukanku menjadi mahasiswa. Sakitku sampai seminggu dan tidak ada seseorang pun yang merawatku. Hingga pada akhirnya aku sembuh dengan sendirinya, tapi rasa penyesalanku tetap ada, kenapa aku tidak menghargai kedua orang tuaku". Windi kembali mengusap air matanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun