Mohon tunggu...
Isadur Rofiq
Isadur Rofiq Mohon Tunggu... Penulis - penulis

Kau lupa Ambo, cerita hikayat lama dongeng-dongeng itu ada penulisnya. tapi ceritamu, Allah Penulisnya. @negararofiq

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Debat Capres untuk Siapa? Biarkan Dikonsumsi Media Saja

25 Januari 2019   20:29 Diperbarui: 28 Januari 2019   19:59 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Is'adurRofiq *


Pembahasan mengenai 'performa' Capres-Cawapres dalam debat pertama kemarin belum usai. Tim sukses maupun partisipan mengalihkan pembahasannya di media sosial. saat ini seperti Facebook, Twitter, dan Instagram kerap kali menjadi hal yang sangat menakutkan, bagaimana tidak, kolom-kolom komentar media tersebut menjadi tempat 'pertarungan' ekstrem antara pendukung masing-masing capres. 

Mereka saling adu pendapat. Bahkan tak sedikit yang menghujat dan menghina,. Semuanya merasa paling benar dan tak ada yang mau mengalah. Begitulah potret kehidupan kalau sudah terjerumus dalam kefanatikan. Tidak ada jalan keluar, justru menambah permusuhan antar bangsa.

Animo masyarakat untuk melihat debat kemarin sungguh sangat besar. Mereka ingin mendegar gagasan dan solusi yang ditawarkan untuk kemujuan bangsa dan negara Indonesia. 

Kemudian pertanyaan besar yang muncul, puaskah masyarakat terhadap gagasan yang disampaikan oleh masing-masing kubu paslon? Rasanya sangat ironis melihat calon Presiden menjawab pertanyaan dengan jawaban yang tak substantif dan minim gagasan. Apalagi jawabannya menyontek di kertas yang telah disiapkan. Muncul pertanyaan lagi, jawabannya itu murni dari paslon atau dari tim suksesnya?

Hukum, HAM, korupsi, dan terorisme menjadi tema besar pada debat pertama kemarin. Berulang kali moderator debat menegur kedua tim sukses karena berlebihan menyoraki. Minim narasi dari Jokowi dan minim data dari Prabowo menegaskan bahwa debat kemarin terkesan hanyalah formalitas hingga akhirnya menarik warganet untuk saling berargumentasi di media sosial.

Ada adagium yang sangat menarik untuk menaggapi jalannya debat kemarin. seperti restoran yang enak. Pembeli tidak mungkin bertanya isi dapurnya. 

Maksudnya adalah masyarakat hanya butuh suguhan gagasan yang inovatif dari kedua paslon, Bukan tentang pertanyaan menyerang personal partai yang diutarakan Jokowi, atau minim data fakta dari Prabowo. Lanskap demokrasi yang diagungkan akhirnya berubah menjadi pergulatan akal sehat yang belum sempurna.

Mentalitas Global

 Di media sosial, masyarakat Indonesia akhir-akhir ini banyak yang membandingkan debat Capres-Cawapres Indonesia dengan negara lain, sebut saja seperti Amerika Serikat. Masyarakat mengagungkan panasnya debat antara Donald Trump dan Hillary Clinton. 

Pada akhirnya banyak yang beranggapan bahwa kemenangan Donald Trump di pilpres Amerika Serikat karena faktor debat yang mamukau, Ia memberikan gagasan yang sangat inovatif, seperti tembok perbatasan dengan Meksiko. Sungguh miris jika dibandingkan dengan kondisi debat capres di Indonesia. Pertanyaan dan jawaban yang 'receh' disuguhkan kepada jutaan masyarakat Indonesia yang menonton. kalau dalam bahasa mahasiswa, pertanyaan yang bisa diselesaikan di Warung kopi. 

Masyarakat masih terbelenggu dengan mentalitas global. Mereka menginginkan Indonesia menjadi Negara maju baik sistem maupun cara interaksi antara pemimpin dengan rakyat. Kepemimpinan kemarin hendaknya dijadikan ajang evaluasi oleh kedua paslon dengan menawarkan program solutif dan inovatif di masa jika dia memenangi pilpres.

KONSUMSI MEDIA

Kapan berakhirnya perdebatan para pendukung kedua kubu di media sosial? Rasanya akan berlanjut dalam waktu yang lama. Tetapi ada baiknya juga realita seperti ini. Masyarakat yang masih awam dan masih menyisakan keraguan tentang gagasan yang ditawarkan oleh kedua paslon, kini dengan mudah nimbrung di media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dll. 

Kalau ada yang saling caci maki dan tak jarang membawa agama dan Alqur'an dalam perdebatannya di Media sosial, lalu siapa yang disalahkan? Sama saja dengan kejahatan yang disebabkan oleh konspirasi, maka sungguh bejat konspiratornya dan dialah yang harus disalahkan. 

Dengan demikian, jika ada rakyat yang saling berdebat di Media sosial dan saling maki, maka salahkan capres-cawapresnya yang tidak jelas gagasan dan program yang ditawarkan pada saat debat pertama kemarin.

Untuk siapa debat capres-cawapres? Biarlah mahasiwa berdiskusi di warung kopi dulu.

*Penulis adalah Aktivis Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Manifest , FLP Jember, PMII FTP, dan UKM-KI LDK UNEJ

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun