Berdasarkan kamus, demagog adalah seorang politikus atau orator yang memperoleh kekuasaan dan kepopuleran menggunakan emosi, hasrat dan prasangka masyarakat.Â
Rocky Gerung (RG) pernah menulis mengenai Demagogi. Menurutnya, Demagogi adalah ilmu menyiram angin demi menuai bau, yaitu mencari sensasi dalam psikologi massa untuk menikmati kebanggaan diri.
Seperti halnya kasus hoax penganiayaan Ratna Sarumpaet (RS) yang telah terlanjur memasuki psikologi massa. Masyarakat sudah terlanjur berasumsi bahwa ada pelanggaran HAM yg terjadi pada RS.Â
Massa tentu mempertanyakan kinerja pemerintah dalam menyelesaikan kasus HAM. Atau bahkan, karena RS berada di pihak oposisi, maka massa bisa berfikir bahwa penganiayaan itu ulah pemerintah.Â
Itulah yg dimanfaatkan kubu Hambalang Prabowo, menyiram angin lewat konferensi pers yg mereka lakukan. Dengan harapan, kasus ini menjadi angin tunggangan untuk memenangkan Pilpres.
Prabowo tidak lagi menggunakan akal sehat dalam kasus Ratna. Lewat sifat demagoginya kubu Prabowo ingin memanfaatkan angin RS. Tanpa mendengar kritik dari pihak lain, mereka meyakini hoax RS.Â
Ucapan dokter Tompi yang merupakan dokter bedah plastik pun tak dianggap. Yg penting, harus memanfaatkan angin. Memanfaatkan momen dan psikologi massa.Â
Pemikiran logis tak lagi menjadi dasar. Padahal pemikiran logis adalah dasar kemerdekaan negeri ini. Seperti Sutan Sjahrir yg pernah menanggapi argumentasi provokatif pihak Belanda dalam persidangan di Lake Success, New York.Â
Pihak Belanda berargumen lewat ucapan: "Mana yang Anda percaya, mereka atau orang-orang beradab seperti kami"? Balasan argumen yang logis dari Sutan Sjahrir justru membuat DK PBB terkesan lewat ucapannya "Mereka mengajukan tuduhan tanpa bukti, ketimbang membantah argumen saya." Bahkan koran harian New York Herald Tribune tertanggal 15 Agustus 1947 menulis "Pidato Sjahrir salah satu yang paling menggetarkan Dewan Keamanan."
Seharusnya sebagai calon pemimpin yang baik, Prabowo dapat memastikan keabsahan dari kasus Ratna, tanpa dasar praduga. Apa yang Prabowo lakukan tanpa logika yang kuat, tanpa pengetahuan yg mendalam hanya akan menjadi doktrin yang menyuburkan para demagog di pentas politik Indonesia. Usaha yang kubu Hambalang lakukan telah mengganjal demokrasi sebagai forum pemikiran.
"Debat adalah metode berpikir. Titik kritisnya adalah ketika retorika mulai tergelincir. Titik matinya adalah ketika dialektika terkunci." - Rocky Gerung
Psikologi rakyat dimainkan. Psikologi akan ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum dan pelanggaran HAM. Rakyat akan terbawa pada suasana terlalu pesimis.Â
Tan Malaka pernah memberi nasihat: "Kita tak boleh merasa terlalu pesimistis, pun tak boleh terlalu optimistis, karena kedua perasaan itu akan mudah membawa kita ke oportunisme."
Sikap dari Prabowo sangat berbahaya bagi pemikiran kritis. Menelan mentah-mentah sebuah informasi demi tujuan politik dapat menyebabkan dekadensi pemikiran.Â
Tahukah anda bahwa pemikiran kritis ditekan habis-habisan di rezim Soeharto? Apakah lewat contoh kasus RS, Prabowo mengesampingkan pemikiran kritis?Â
Bukankah era reformasi bangkit lewat pemikiran kritis? Lantas apakah Prabowo menginginkan rakyat kita tak berpikir logis? Hal ini hanya akan membangkitkan fanatisme membubarkan akal.
Hoax Ratna menjadi bukti bahwa cara yang dilakukan Prabowo dalam berkampanye tidaklah mengedepankan akal sehat. Hambalang Prabowo menggunakan cara demagog demi mengaktifkan fanatisme sempit masyarakat. Menunggangi angin demi kekuasaan. Lambat laun akan menghilangkan kritis dan idealisme.Â
- Meracuni rakyat Indonesia agar tak berfikir logis. Rakyat tak mau mendengar satu dengan yang lain. Ujung-ujungnya mungkin ucapan Prabowo benar adanya. Bahwa Indonesia akan bubar, yang justru terjadi karena sikap demagognya.
Sumber:
1. Tempo [Demagogi]
2. Tirto [Pasca-1998: Surplus Fanatisme, Defisit Akal]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H