Mohon tunggu...
Negara Baru
Negara Baru Mohon Tunggu... Freelancer - Tentang Saya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi Sudut Pandang Baru Negara Kita

Selanjutnya

Tutup

Politik

Laba Rapid Test Lenyap, Dokter dan RS Ngamuk

10 Juli 2020   14:48 Diperbarui: 13 Juli 2020   08:14 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pernahkah anda melakukan Rapid Test secara mandiri? Jika ya, berapa rupiah yang mesti anda keluarkan untuk melakukannya? 300 ribu? 500 ribu? Anggaplah 400 ribu melayang sekali menjalankan Rapid test. Biaya yang tidak sedikit bukan? Jika Rapid test tidak menjadi syarat dalam melakukan perjalanan, tentu masyarakat enggan melakukannya. Lagi pula lagi mahal atau murahnya rapid test tidak menjadi penetu apakah seseorang positif corona atau tidak.

Maka tak salah pula masyarakat mempertanyakan tujuan dari rapid test. Tak sedikit pula masyarakat yang menganggap tes antibodi itu hanya sekedar lahan bisnis dan mereka merasa dimanfaatkan untuk mencari keuntungan.

Oleh karena itu demi mempermudah masyarakat yang membutuhkan serta agar masyarakat tidak merasa dikomersialisasi, Kementerian Kesehatan bertindak melalui Surat Edaran (SE) HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Tes Antibodi. 

Lewat SE itu, Kementerian yang dipimpin Terawan menetapkan batas atas tarif pemeriksaan rapid test di angka 150 ribu rupiah bagi masyarakat yang melakukan tes secara mandiri.

Sumber : CNBC Indonesia [Pengumuman! Terawan Tetapkan Rapid Test Termahal Rp 150.000]

Pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merespon penetapan harga pemeriksaan Rapid test itu. Menurut Wakil Ketua Umum Pengurus Besar IDI dr Slamet Budiarto, harga 150 ribu terlalu rendah untuk sebuah rapid test. Harga segitu tidak akan cukup menutupi beban biaya pelayanan. Sebab masih ada komponen lain dalam pelayanan seperti alkes, APD, hingga jasa medis. Slamet juga menambahkan bahwa harga dasar alat rapid test ada di kisaran 150-200 ribu rupiah tergantung negara pembuatnya.

Sumber : Detik [Kemenkes Atur Tarif Rapid Test Rp 150.000, IDI Ingatkan RS Bakal Nombok]

Namun berapapun kisaran harga dari sebuah rapid test, ia tetap tidak bisa membuktikan seseorang bebas dari Covid-19. Lantas apa gunanya menggunakan rapid test yang sangat mahal?

Lantaran rapid test sudah terlanjur menjadi syarat dalam melakukan perjalanan, maka Menkes mengatur penggunaannya agar tidak dimanfaatkan menjadi lahan bisnis oleh segelintir oknum.

Ombudsman Jateng turut mengamininya. Berdasarkan temuan Ombudsman Jateng dalam inspeksi mendadak di sejumlah rumah sakit dan layanan transportasi di Kota Semarang, ternyata harga satu rapid test kit bisa mencapai 500 ribu rupiah. 

SE Kemenkes memang telah menurunkan biaya rapid test di sejumlah tempat seperti di bandara, namun beberapa rumah sakit masih menerapkan tarif test yang tinggi. Wajar kiranya Ombudsman menilai rapid test rentan dijadikan lahan bisnis segelintir oknum untuk mengeruk keuntungan di tengah pandemi.

Sumber : Kompas [Ombudsman Jateng Ungkap Rapid Test Jadi Lahan Bisnis Segelintir Oknum]

Apabila di sejumlah tempat transportasi seperti bandara mampu menurunkan tarif rapid testnya, mengapa pihak rumah sakit justru merasa keberatan dengan penetapan tarif rapid test?

Bahkan di Bandara Internasional Soekarno -- Hatta, pemeriksaan rapid test bisa ditekan hingga menjadi 145 ribu rupiah per penumpang. Padahal tarif sebelumnya mencapai 225 ribu rupiah.

Apabila pihak bandara sendiri mampu menekan harga rapid test hingga dibawah harga yang ditetapkan Kemenkes, mengapa rumah sakit tidak dapat melakukannya? Apakah karena sudah kepalang tanggung melakukan Kerjasama dengan pihak penjual rapid test? Bukankan mereka seharusnya telah mengetahui tidak ada perbedaan dari rapid test? Berapapun harganya, rapid test tidak akan bisa menentukan seseorang positif corona atau tidak.

Sumber : Tempo [Tarif Rapid Test di Bandara Soekarno-Hatta Turun Jadi Rp 145 Ribu]

Kita semua bisa menduga tujuan menerapkan rapid test yang mahal adalah demi kepentingan komersialisasi. Lagipula seharusnya nanti tarif pemeriksaan rapid test bisa ditekan lebih jauh lagi lewat Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), lembaga yang berada di bawah naungan Menristek. BPPT telah mengembangkan alat rapid test bernama Ri-Gha COVID-19 dengan harga 75 ribu rupiah.

Sehingga apabila pihak rumah sakit masih saja menerapkan biaya rapid test di atas harga yang telah ditetapkan Kemenkes, makan jangan salahkan makin banyak pasien yang menilai pandemi corona hanya sebagai proyek yang memperkaya dokter.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun