Sore hari di 24 Juni 2020. Jalan Gatot Soebroto, tepatnya di depan gedung para wakil rakyat dipenuhi massa. Massa meneriakkan yel yel 'bakar PKI' dan 'Turun Jokowi'. Tak lama kemudian jalanan yang basah karena hujan menjadi saksi dibakarnya bendera palu arit khas organisasi terlarang yang pernah dipimpin Aidit. Muncul di benak pemerhati, apa gerangan yang terjadi? Mengapa ada aksi massa di tengah pandemi?
Massa ternyata terdiri dari Blok Islam yang tergabung dalam berbagai ormas yang memiliki kekhasan mengkritik pemerintah. Seperti Front Pembela Islam (FPI), PA 212, dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF). Aksi demo yang dilakukan bertajuk "Aksi Selamatkan NKRI & Pancasila Dari Komunisme", menuntut penarikan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dari Program Legislasi Nasional (Proglenas).
Sumber : Suara [ Teriak Turun Jokowi, Massa Aksi di Depan Gedung DPR Bakar Bendera PKI]
Ketidaksukaan Blok Islam 212 terhadap Pemerintahan Jokowi memang bukan barang baru di dunia perpolitikan Indonesia. Apalagi mereka memiliki pandangan bahwa kedekatan hubungan diplomasi pemerintahan Jokowi dengan China sebagai tanda Jokowi presiden yang pro China, dan erat hubungannya dengan komunisme. RUU HIP yang mereka demo dianggap sebagai jalan masuk bagi komunisme di Indonesia.
Di saat Presiden Jokowi ditekan oleh kelompok Islam tersebut, ternyata ada yang sedang berusaha memancing di air keruh. Bagaikan menyiram minyak ke dalam api, di hari yang sama dengan aksi demo, tiba-tiba pihak Pemerintah China menggelontorkan beberapa pernyataan dan wacana berbalutkan diplomasi politik dan ekonomi yang justru merugikan posisi Pemerintahan Jokowi di mata Blok Islam.
Pernyataan pertama adalah terkait investasi China ke Indonesia yang tetap tinggi meski kini dunia tengah berada dalam kondisi pandemi. Minister-Counsellor bidang Ekonomi dan Perdagangan Kedutaan Besar China, Wang Liping memuji-muji pemerintahan Jokowi. Ia mengakui semenjak Jokowi menjadi Presiden, nilai investasi China ke Indonesia tumbuh pesat. Bahkan kondisi pandemi hanya mengurangi 0,5 persen volume perdagangan bilateral antara China dan Indonesia untuk periode hingga April 2020 apabila dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya. Nilai investasi China ke Indonesia pun bertumbuh 12 persen sepanjang kuartal pertama 2020.
Sumber : Jawa Pos [Tiongkok Akui Investasi ke RI Tumbuh Pesat Sejak Jokowi jadi Presiden]
Pernyataan kedua adalah terkait kemudahan TKA China memasuki dan bekerja di Indonesia alias memfasilitasi 'pertukaran personel' antara China dan Indonesia. Wang Liping menekankan pembahasan yang tengah terjadi antara Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi terkait fast lane atau 'jalur cepat' demi melancarkan kunjungan dua arah tenaga kerja kedua negara.
Padahal saat ini kedatangan personel atau TKA China menjadi polemik. Yakni soal masuknya 500 TKA China ke Konawe, Sulawesi Tenggara. Tercatat sudah ada 146 TKA China yang menginjakkan kakinya ke Sultra dan menjadi alasan adanya aksi demonstrasi mahasiswa berujung ricuh yang menolak kedatangan mereka.
Sumber : IDN Times [RI-Tiongkok Bahas Jalur Cepat Pertukaran Pekerja di Tengah Pandemik]
Tak hanya terkait hubungannya yang erat dengan Indonesia, pemerintah China juga turut melontarkan agenda politik global yang makin memanaskan kelompok Islam, terutama bagi Blok Islam 212. Tepatnya pada Jumat pekan lalu, pemerintah China merilis film berjudul "Tianshan: Still Standing -- Memories of Fighting Terrorism in Xinjiang". Film dokumenter berbahasa Inggris ini menjadi propaganda China dalam upayanya menangani konflik Muslim Uyghur. Padahal bagi Blok Islam 212, Pemerintah China justru menindas Muslim Uyghur.
Sumber : Kontan [China rilis film dokumenter yang menggambarkan sifat brutal serangan teroris Xinjiang]
Secara kasat mata, berbagai wacana yang didorong oleh Pemerintah China terlihat seperti wacana politik biasa. Namun agenda yang dilancarkan saat memanasnya sentimen anti pemerintahan China terutama di tubuh Blok Islam 212, mahasiswa Sultra, dan oposisi justru menyulitkan Pemerintahan Jokowi. Hal inilah yang menyebabkan penulis bertanya-tanya akan motif dari Pemerintah China.
Apakah ini merupakan imbas dari kebijakan politik Indonesia yang mulai menjauhi Pemerintahan Negeri Tirai Bambu?
Sikap jaga jarak Indonesia dapat kita lihat di polemik Laut Natuna Utara awal 2020 lalu. Saat itu kapal nelayan China memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia tanpa izin. Uniknya, kapal nelayan tersebut dikawal coast guard China. Aksi itu memantik reaksi keras dari pemerintah Indonesia. Menlu Retno Marsudi menegaskan bahwa Pemerintah China harus mematuhi UNCLOS 1982 yang didalamnya mengatur ZEE suatu negara termasuk Indonesia. Sementara China lebih memilih berpatokan pada Nine Dash Line yang mencaplok sebagian Perairan Natuna.
Dasar yang kuat itu pula menyebabkan Presiden Jokowi menegaskan tidak ada tawar menawar terhadap kedaulatan Indonesia atas wilayahnya, termasuk Natuna yang diganggu Pemerintah China.
Sumber : CNN Indonesia [Jokowi Tegaskan Natuna adalah Wilayah NKRI]
Penegasan kedaulatan itu pula yang menyebabkan RI melalui TNI AL dengan gencar melancarkan patroli di wilayah Perairan Laut Natuna Utara pada 18 Juni 2020 lalu. Diketahui tensi di Laut China Selatan tengah memanas antar negara-negara yang berkepentingan di dalamnya. Operasi militer tersebut tentu bisa saja bergeser ke selatan memasuki Perairan Natuna Utara. Apalagi China berpotensi melanggarnya karena klaim atas wilayah Nine Dash Line Laut China Selatan.
Sumber : Merdeka [Situasi Laut China Selatan Memanas, TNI AL Kerahkan 4 KRI Siaga di Laut Natuna]
Bukti lainnya bahwa Indonesia mulai menjauh dari China adalah dalam penanganan pandemi Covid-19. Pada awal pandemi sekitar bulan April 2020, Indonesia mencatat impor barang penanganan pandemi corona sebesar Rp 777,59 miliar. Impor terbanyak berasal dari negeri tirai bambu. Impor tersebut berupa test kit, APD, obat-obatan, peralatan rumah sakit, masker, dan lain-lain.
Namun kini Indonesia tengah gencar memproduksi sendiri barang-barang yang awalnya diimpor. Mulai dari alat tes cepat, ventilator, hingga PCR test kit. Indonesia berusaha mandiri sehingga tidak perlu lagi mengimpor produk-produk kesehatan penaganan Covid-19.
Bisa jadi sikap Indonesia yang menjaga jarak dari China ini tidak disukai oleh Pemerintah China. Sehingga mereka berusaha mengganggu stabilitas politik dengan memanfaatkan ketidaksukaan Blok Islam 212 terhadap pemerintahan Jokowi.
Pemerintahan Jokowi memang memiliki hubungan yang erat dengan Pemerintahan Xi Jinping. Namun hubungan yang sangat erat menyebabkan suatu negara menjadi dependen. Kemungkinan besar, pemerintahan saat ini tidak ingin hal itu terjadi. Sebab akan sangat merugikan Indonesia dalam perpolitikan global jangka panjang terutama di era perang dagang antara China -- AS.
Jaga jarak Indonesia dengan China mengingatkan penulis pada kenetralan Turki saat Perang Dunia II. Turki yang baru saja menjadi republik pasca kekalahan di PD I memilih tidak berpihak pada blok manapun yang terlibat PD II. Padahal ia memiliki kedekatan dengan Jerman dan di Blok Sekutu ada Uni Soviet / Rusia yang menjadi musuh kebuyutannya sedari dulu termasuk di PD I. Presiden Turki Ismet Inonu tetap memilih netral meski banyak tekanan dari Axis maupun Sekutu untuk berpihak ke salah satu kubu. Kesabarannya tidak berpihak pada siapapun menyebabkannya tidak diganggu negara dari kedua pihak. Turki hanya menyatakan perang kepada Jerman jelang berakhirnya masa perang. Pernyataan perang yang hanya bersifat diplomatis tersebut justru menyebabkannya menjadi salah satu dari 51 negara pertama yang menjadi anggota PBB.
Sikap netral dan manuver politik Presiden Ismet Inonu menyebabkan mereka berada pada posisi yang jauh lebih baik ketimbang saat kekalahannya di PD I.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H