Akhir-akhir ini pemberitaan menyorot berbagai aksi warga yang menolak Rapid Test massal. Berbagai upaya dilakukan warga, seperti mengusir tim medis, melakukan blokade jalan, memasang spanduk bertuliskan penolakan terhadap rapid test, hingga mengedarkan video penolakan terhadap tes cepat. Aksi penolakan bukan hanya terjadi di satu tempat, melainkan terjadi di berbagai wilayah tanah air. Seperti Makassar, Serang, dan Manado.
Di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, penolakan terhadap Rapid Test terjadi pada 9 Juni 2020. Petugas medis yang mendatangi Kecamatan Bontoala, Makassar, untuk melakukan rapid test massal tak disambut dengan baik. Warga mengusir tim medis serta meblokade jalan. Aksi serupa juga dilakukan di bagian Kota Makassar lainnya dengan memblokade jalan masuk ke pemukiman serta memasang spanduk bertuliskan penolakan rapid test massal.
Sumber: Kompas [Mengapa Warga di Makassar Tolak Rapid Test? Ini Penjelasan Sosiolog]
Kejadian senada juga terjadi Sulawesi Utara, tepatnya di Kecamatan Singkil, Kota Manado. Rapid test dilakukan karena ada kasus ambil paksa jenazah PDP di RS Pancaran Kasih Manado dua minggu sebelumnya. Warga memasang spanduk di beberapa titik yang menyatakan masyarakat berada dalam kondisi sehat hingga tidak perlu melakukan rapid test.
Sumber : Kompas [Warga Menolak Rapid Test Dinkes Kota Manado]
Aksi penolakan rapid test bahkan ada yang viral di media sosial. Hal itu terjadi lantaran ada video penolakan rapid test yang dilakukan kyai dan santri Kota Serang, Banten. Salah satu alasan penolakan tersebut adalah adanya ketakutan para kyai terhadap rapid test. Informasi yang beredar pun membuat mereka mempercayai bahwa corona tidak seberbahaya yang dibayangkan.
Namun apabila memang corona tidak seberbahaya yang dibayangkan, mengapa mereka takut terhadap rapid test?
Sumber : Detik [Ulama Serang Tolak Rapid Test, Kemenag: Ikuti Anjuran Pemerintah]
Kita pun bertanya-tanya, bukankah maksud dari pemerintah mengadakan Rapid Test adalah bagian dari upaya menekan penyebaran virus corona? Namun mengapa sebagian rakyat justru menolaknya? Apakah penolakan terjadi begitu saja tanpa ada alasan yang kuat? Mari kita coba telisik alasan yang masuk akal dari penolakan warga terhadap rapid test.
Menurut Dosen Sosiologi Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, aksi penolakan rapid test tak serta merta terjadi begitu saja. Ia mengatakan ada kebimbangan masyarakat dari ketidakpastian informasi yang mereka terima. Selain itu, masyarakat mulai memiliki kecenderungan untuk tidak berurusan dengan RS atau nakes karena risiko yang tinggi. Sebab semua anggota masyarakat yang diklaim berpotensi terpapar Covid-19 akan mendapatkan perlakuan protokol kesehatan yang menyulitkan. Itulah mengapa masyarakat menjadi tidak percaya dengan tenaga kesehatan hingga berani melakukan penolakan rapid test.
Pernyataan pihak akademisi tersebut memunculkan pertanyaan baru. Mengapa sampai ada ketidakpastian informasi yang masyarakat terima? Tak cukupkah sosialisasi selama ini yang pemerintah lakukan? Ternyata akar permasalahannya ada di rapid test itu sendiri.
Dosen Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat FK Unpad, dr Panji Hadisoematro MPH menegaskan, reaktif rapid test belum tentu positif virus corona. Tes yang dilakukan untuk memastikan seseorang poisitf Covid-19 adalah hanya dengan melakukan tes PCR yang diambil menggunakan metode swab.
Sumber: Kompas [Reaktif Rapid Test Covid-19 Belum Tentu Positif Corona, Ahli Jelaskan]
Rapid test hanya dilakukan untuk screening atau menyaring mereka yang berpotensi telah terpapar virus corona. Namun hal ini pun menjadi persoalan, sebab rapid test hanya mendeteksi ada atau tidaknya antibodi yang terbentuk pada tubuh.
Sementara antibodi baru terbentuk beberapa hari setelah tubuh bertempur melawan kuman. Ketika pemeriksaan terjadi sebelum antibodi terbentuk, maka hasil tes pun bisa negatif palsu. Belum lagi sebanyak 80 persen kasus covid-19 tak bergejala. Artinya mereka yang positif corona tidak membentuk antibodi, sehingga akan luput dari rapid test. Namun apabila ada yang reaktif rapid test, bukan berarti pula ia telah positif Covid-19. Sebab antibodi dapat terbentuk apabila tubuh diserang penyakit, artinya tidak spesifik pada virus corona saja.
Rapid test yang terbukti tidak akurat ini pula yang masih menjadi metode dalam mendeteksi orang yang terpapar Covid-19. Mereka yang reaktif rapid test akan mendapatkan status Orang Dalam Pengawasan (ODP) atau Pasien Dalam Pengawasan (PDP). Mereka harus melakukan karantina di rumah sakit atau isolasi mandiri di rumah. Lama waktu isolasi adalah 14 hari atau hingga diketahuinya hasil pemeriksaan sampel pasien menggunakan PCR di laboratorium. Hasil rapid test dapat keluar hanya dengan selang waktu 10-15 menit.
Hal itu pula yang menjadi salah satu penyebab panjangnya daftar ODP dan PDP di Indonesia. Data per 17 Juni 2020, jumlah ODP mencapai 270.876 dan PDP sebanyak 35.800 orang. Sementara Indonesia baru dapat melakukan tes rata-rata belasan ribu per harinya. Dengan kata lain ada masa tunggu sebelum PDP atau ODP. Belum lagi dengan keterlambatan pengiriman sampel ke laboratorium yang memperlama keluarnya hasil tes.
Sumber : Suara [Jadi ODP atau PDP Corona Covid-19? Begini Prosedur Isolasi Mandiri di Rumah]
Lamanya keluar hasil tes menyebabkan tak sedikit mereka yang reaktif rapid test menjalani karantina hingga 1 bulan sampai keluar hasil tes PCR. Maka wajar pula kiranya ketika banyak gelombang penolakan terhadap rapid test. Apalagi jika masyarakat telah melakukan karantina 1 bulan namun hasil PCR-nya negatif Covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H