Mohon tunggu...
Negara Baru
Negara Baru Mohon Tunggu... Freelancer - Tentang Saya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi Sudut Pandang Baru Negara Kita

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Rapid Test, Akar Masalah Penanganan Covid-19

18 Juni 2020   13:01 Diperbarui: 19 Juni 2020   13:15 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penolakan Rapid Test. Sumber: mediaindonesia.com

Pernyataan pihak akademisi tersebut memunculkan pertanyaan baru. Mengapa sampai ada ketidakpastian informasi yang masyarakat terima? Tak cukupkah sosialisasi selama ini yang pemerintah lakukan? Ternyata akar permasalahannya ada di rapid test itu sendiri.

Dosen Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat FK Unpad, dr Panji Hadisoematro MPH menegaskan, reaktif rapid test belum tentu positif virus corona. Tes yang dilakukan untuk memastikan seseorang poisitf Covid-19 adalah hanya dengan melakukan tes PCR yang diambil menggunakan metode swab.

Sumber: Kompas [Reaktif Rapid Test Covid-19 Belum Tentu Positif Corona, Ahli Jelaskan]

Rapid test hanya dilakukan untuk screening atau menyaring mereka yang berpotensi telah terpapar virus corona. Namun hal ini pun menjadi persoalan, sebab rapid test hanya mendeteksi ada atau tidaknya antibodi yang terbentuk pada tubuh.

Sementara antibodi baru terbentuk beberapa hari setelah tubuh bertempur melawan kuman. Ketika pemeriksaan terjadi sebelum antibodi terbentuk, maka hasil tes pun bisa negatif palsu. Belum lagi sebanyak 80 persen kasus covid-19 tak bergejala. Artinya mereka yang positif corona tidak membentuk antibodi, sehingga akan luput dari rapid test. Namun apabila ada yang reaktif rapid test, bukan berarti pula ia telah positif Covid-19. Sebab antibodi dapat terbentuk apabila tubuh diserang penyakit, artinya tidak spesifik pada virus corona saja.

Rapid test yang terbukti tidak akurat ini pula yang masih menjadi metode dalam mendeteksi orang yang terpapar Covid-19. Mereka yang reaktif rapid test akan mendapatkan status Orang Dalam Pengawasan (ODP) atau Pasien Dalam Pengawasan (PDP). Mereka harus melakukan karantina di rumah sakit atau isolasi mandiri di rumah. Lama waktu isolasi adalah 14 hari atau hingga diketahuinya hasil pemeriksaan sampel pasien menggunakan PCR di laboratorium. Hasil rapid test dapat keluar hanya dengan selang waktu 10-15 menit.

Hal itu pula yang menjadi salah satu penyebab panjangnya daftar ODP dan PDP di Indonesia. Data per 17 Juni 2020, jumlah ODP mencapai 270.876 dan PDP sebanyak 35.800 orang. Sementara Indonesia baru dapat melakukan tes rata-rata belasan ribu per harinya. Dengan kata lain ada masa tunggu sebelum PDP atau ODP. Belum lagi dengan keterlambatan pengiriman sampel ke laboratorium yang memperlama keluarnya hasil tes.

Sumber : Suara [Jadi ODP atau PDP Corona Covid-19? Begini Prosedur Isolasi Mandiri di Rumah]

Lamanya keluar hasil tes menyebabkan tak sedikit mereka yang reaktif rapid test menjalani karantina hingga 1 bulan sampai keluar hasil tes PCR. Maka wajar pula kiranya ketika banyak gelombang penolakan terhadap rapid test. Apalagi jika masyarakat telah melakukan karantina 1 bulan namun hasil PCR-nya negatif Covid-19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun