Kematian seorang pria Afrika-Amerika bernama George Floyd telah menjadi katalis. Tak hanya dalam pergerakan Black Lives Matter yang menyebabkan gelombang People Power dan kerusuhan di negeri Paman Sam, tapi juga mampu menyulut pergolakan di Indonesia. Tepatnya di Bumi Cenderawasih.
Kekerasan yang terjadi di AS menjadi peluang bagi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menekan Pemerintah Republik Indonesia. Pada 31 Mei 2020, Direktur Eksekutif ULMWP, Markus Haluk menyamakan kasus kematian George Floyd dengan kasus rasisme Papua. Menurutnya selama 57 tahun Indonesia menguasai Papua, berbagai kekerasan fisik maupun psikis yang berlandaskan rasialisme dan stigma separatisme terjadi pada rakyat Papua.
Momen Black Lives Matter untuk mengangkat isu rasialisme Papua, juga menjadi agenda dari Amnesty International Indonesia dan aktivis isu Papua Veronica Koman.
Pada 3 Juni 2020, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai insiden pelanggaran HAM George Floyd merupakan cerminan terhadap situasi yang terjadi di Indonesia. Bahkan menurutnya kasus pelanggaran HAM yang bermula dengan rasialisme di negeri ini tak hanya terjadi sekali dua kali. Senada, pada 6 Juni 2020, aktivis Veronica Koman juga menilai ada relevansi kasus rasialisme George Floyd dengan yang terjadi di Indonesia.
Veronica mengatakan kebangkitan rakyat berkulit hitam kini terjadi di mana-mana. Aksi membela hak-hak warga kulit hitam bahkan meluas ke benua lain seperti Eropa dan Australia. Sehingga muncul pergerakan serupa Black Lives Matter, yakni Aborigin Lives Matter, Palestinian Lives Matter, dan Papuan Lives Matter.
Sumber : JUBI [ULMWP: Kekerasan rasial di AS mengingatkan kepada kasus rasisme Papua]
Sumber : Kompas [Amnesty: Rasialisme Tak Cuma di AS, tetapi Juga Menimpa Masyarakat Papua]
Sumber : Tempo [Veronica Koman Sebut Ada Relevansi Black Lives Matter dan Papua]
Dari pergerakan Black Lives Matter di AS, kita dapat simpulkan para penggerak Papua Merdeka, mendapatkan angin segar guna memuluskan tujuan mereka. Apalagi gelora Black Lives Matter kini telah mendunia. Namun apakah itu saja cukup untuk menggoyang stabilitas Papua?
Ada hal yang menarik saat penulis membaca berita di ANTARA tertanggal 6 Juni 2020. Berita itu menyebutkan, berdasarkan data pengolahan orang di daerah Papua Barat yang terpapar Covid-19, sebanyak 162 orang atau 91,01 persen yang terjangkit corona bukan orang asli Papua atau berasal dari luar daerah Papua. Sedangkan orang asli Papua di Provinsi Papua Barat yang terjangkiti corona hanya sebanyak 16 orang atau 8,99 persen.
Berita itu ketika berdiri sendiri bukanlah sesuatu yang layak untuk jadi perhatian serius. Namun di hari yang sama, ada pemberitaan tentang Kabupaten di Papua yang tidak ada kasus Covid-19, tepatnya di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Bupati Intan Jaya, Natalis Tabuni menilai minimnya akses transportasi menjadi berkah di tengah keterbatasan infrastruktur.Â
Warga yang hendak masuk ke Distrik Sugapa (ibukota Kab. Intan Jaya) harus melewati medan yang tidak mudah dan berbukit-bukit, dan sebagian jalan belum beraspal. Selain itu, jadwal penerbangan ke Sugapa juga minim. Keterbatasan ini menyebabkan Pemkab Intan Jaya mudah menutup akses keluar masuk kabupaten sehingga pergerakan manusia dapat terkendali.
Akan tetapi, Kabupaten Intan Jaya merupakan daerah rawan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Dalam satu bulan saja terjadi dua kali aksi penembakan oleh KKB terhadap tenaga medis dan warga sipil.
Sumber : Antara News [91 persen pasien positif COVID-19 di Papua Barat orang non Papua]
Sumber : Kompas [Daerah Rawan KKB di Papua Ini Tidak Tersentuh Covid-19]
Kita semua bisa melihat ada kesan yang menunjukkan bahwa kebanyakan pasien Covid-19 di Papua dan Papua Barat bukan Orang Asli Papua (OAP). Selain itu, ada pula kesan bahwa area rawan KKB justru bebas dari Covid-19. Bukankah dengan adanya temuan ini para pegiat Papua Merdeka dapat menghasut rakyat dengan mengatakan Pemerintah RI tengah berusaha menularkan Covid-19 ke Papua guna memberlakukan Darurat Kesehatan yang dapat meredam pemberontak. Kabar dari Intan Jaya juga mengesankan Darurat Kesehatan tidak perlu terjadi di daerah yang rawan KKB.
Akibatnya dapat kita duga, rakyat Papua dapat terhasut dan menjadi resisten terhadap penanganan Covid-19. Apalagi saat ini tes swab di Papua terhenti karena Viral Transport Media (VTM) telah habis. Alhasil, mereka yang reaktif dari pemeriksaan Rapid Test belum bisa menjalani tes swab. Pada 6 Juni 2020, Satgas Penanganan Covid-19 Silwanus Sumule mengatakan, VTM akan datang satu hingga dua hari kemudian, namun ia tak dapat memastikan.
Sumber : CNN Indonesia [Papua Kehabisan VTM, Tes Swab Corona Terhenti Sementara]
Apabila pemerintah pada akhirnya hanya mengandalkan Rapid test di Papua yang terbukti tidak dapat mendeteksi virus corona tanpa melanjutkannya ke test swab, maka tentu rakyat Papua akan mempertanyakan tujuan dari rapid test itu sendiri.
Semua hal tersebut, mulai dari Black Lives Matter yang dikaitkan dengan rasialisme di Papua, hingga penanganan Covid-19 harus menjadi perhatian serius bagi Pemerintah RI jika tak ingin ada pergolakan di Bumi Cendrawasih. Namun bagaimana bisa stabilitas Papua tetap terjaga ketika Pemerintah sendiri justru mendorong instabilitas?
Coba saja tengok saat Pemerintah khususnya Kemenkominfo bersikukuh menganggap diri benar melakukan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat pada 2019 silam. Dalam perkara tersebut Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah menyatakan Presiden Jokowi dan Menkominfo bersalah serta meminta agar kebijakan serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari. Pada 5 Juni 2020 lalu, kuasa hukum Tim Pembela Kebebasan Pers, Muhammad Isnur mengingatkan bahwa gugatan dilakukan untuk mengingatkan bahwa pemerintah telah melakukan tindakan yang salah dalam memblokir atau memutus internet Papua dan Papua Barat. Ia menyarankan pemerintah tidak mengajukan banding.
Sumber : VOA Indonesia [Pemerintah Disarankan Tidak Banding Putusan Blokir Internet Papua]
Sangat disayangkan pula ketika Menkominfo Johnny G. Plate menyangkal institusinya telah memblokir internet Papua. Padahal pada faktanya, pemblokiran internet Papua merupakan kebijakan Menkominfo sebelumnya, Rudiantara. Di sini kita justru menyayangkan sikap Menkominfo Plate yang telah membuat pernyataan hoax dan akan berujung pada menurunnya kepercayaan publik pada pemerintah.
Hati-hati, sebab kini para pegiat Kemerdakaan Papua tengah mengendarai ombak Black Lives Matter yang telah mendunia. Apabila nanti instabilitas terjadi di Papua dan Menkominfo kembali melakukan kebijakan serupa memblokir internet Papua, maka dapat menjadikan gejolak Papua sebagai isu global. Ketika isu pemblokiran internet Papua, di mana akses internet merupakan bagian dari Artikel 19 Deklarasi HAM Universal masuk ke dalam perbincangan global, maka jangan kaget situasi pemerintahan Jokowi nantinya akan serupa dengan Pemerintahan Husni Mubarak di Mesir pada 2011. Tumbang karena mematikan internet warganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H