Maka mari kita anggap tiap jemaah harus membayar USD 1000 per orangnya untuk naik haji yang berarti jemaah membayar sebesar Rp 15 juta. Hedging adalah nilai haji per orang untuk harga Dollar yang diproyeksikan pada bulan Juli 2020 setelah penandatanganan kontrak Bulan April 2020. Dari kontrak hedging valas ini saja penyedia jasa haji telah mendapatkan laba per jemaah sebesar Rp 1 juta. Apabila kita asumsikan ada 1 juta jemaah haji Indonesia untuk tahun 2020, maka penyedia jasa haji mendapatkan Rp 1 Triliun.
Namun tentunya penyedia jasa haji menginginkan keuntungan tidak hanya dari hedging valas. Asumsikan dari Rp 14 Triliun yang disetor jemaah, yang benar-benar digunakan untuk ke Arab Saudi sebesar Rp 10 Triliun, maka penyedia jasa haji akan mendapatkan laba sebesar Rp 5 Triliun. Lantas uang Rp 5 Triliun itu digunakan untuk apa? Apabila tiba-tiba Arab Saudi membatalkan Haji di tahun 2020, mampukah para penyedia jasa haji mengembalikan dana jemaah? Pada kasus First Travel saja sudah kelabakan.
Sehingga ketika dilakukan rush dana haji, maka Indonesia bisa saja collapse tak lama sesudah itu, yakni pada Agustus 2020. Siapa yang mau membayar dana Rp 5 Triliun? Negara? Negara saja sedang kocar kacir keuangannya akibat proyeksi resesi global dan pandemi corona. Padahal ini masih dengan asumsi uang yang dibayarkan jemaah sebesar Rp 15 juta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H