Mohon tunggu...
Negara Baru
Negara Baru Mohon Tunggu... Freelancer - Tentang Saya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi Sudut Pandang Baru Negara Kita

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rapid Tes Gagal Global

30 Maret 2020   18:11 Diperbarui: 31 Maret 2020   13:12 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Di tengah pandemi Covid-19 yang semakin meluas, ada kekhawatiran tersendiri yang muncul di tengah masyarakat. Mareka bertanya-tanya apakah telah terjangkiti virus corona atau tidak? Sebab, pendeteksian selama ini terjadi setelah munculnya gejala demam, batuk, pilek, dan sesak nafas, melakukan kontak dengan penderita Covid-19, atau memiliki histori perjalanan dari wilayah yang terjangkiti virus corona. 

Lantas bagaimana apabila ternyata Covid-19 sebenarnya telah ada dalam tubuh sebelum munculnya gejala? Tentu apabila pendeteksian dini dapat dilakukan, penanganan virus pun akan lebih cepat. Semakin cepat dideteksi, maka semakin kecil pula peluang penyebarannya.

Atas dasar itu, Pemerintah Indonesia melakukan rapid testing sejak hari Jumat 20 Maret 2020. Presiden Jokowi mengatakan, pemeriksaan akan diprioritaskan di wilayah yang terindikasi rawan terinfeksi corona.

Pada 22 Maret 2020, Juru Bicara Pemerintah untuk penanggulangan Covid-19, Achmad Yurianto mengatakan, pemerintah akan mendatangkan 1 juta rapid test kit dari China. Saat ini, sebanyak 150 ribu rapid test kit tersebut telah tiba di Indonesia. Dengan adanya alat itu diharapkan tes corona akan dilakukan lebih gencar.

Sumber : Katadata [Deteksi Corona, Pemerintah Mulai Lakukan Rapid Test Hari Ini]

Sumber : Tempo [Yurianto: 150 Ribu Rapid Test Kit dari Cina Tiba di Indonesia]

Namun pertanyaan mendasarnya adalah, apakah rapid test kit efektif dalam mendeteksi kasus Covid-19 di Indonesia?

Virus Covid-19 memiliki masa inkubasi antara 8 -- 12 hari. Hal itulah yang menjadi dasar bagi penetapan masa inkubasi 14 hari dan pemberlakuan karantina 14 hari bagi Orang Dalam Pengawasan (ODP) maupun Pasien Dalam Pengawasan (PDP). Bahkan penelitian terbaru dari John Hopkins Bloomberg School of Public Health memperkirakan masa inkubasi rata-rata virus corona terjadi selama 5 hari.

Penelitian itu juga memaparkan bahwa 97,5 % orang yang memiliki gejala Covid-19 dapat dinyatakan positif terjangkiti corona setelah terpapar virus itu selama 11,5 hari. Hal ini juga berarti, selama masa inkubasi 5-9 hari, Covid-19 tidak dapat dideteksi baik dengan Rapid Testing maupun PCR.

Hal menarik lainnya dari temuan di penelitian tersebut adalah para peneliti memperkirakan dari 10 ribu orang yang dikarantina selama 14 hari, hanya 101 orang yang akan menunjukkan gejala setelah proses karantina. Dengan kata lain, setelah proses karantina 14 hari pun masih ada kasus yang terlewatkan.

Sumber : CNN Indonesia [Ahli AS: Masa Inkubasi Virus Corona Covid-19 Selama 5 Hari]

Fenomena ini dibenarkan oleh Jubir Corona Achmad Yurianto yang mengatakan hampir 80 % pasien positif Covid-19 di Indonesia tidak menunjukkan adanya keluhan kesehatan atau hanya menunjukkan gejala ringan. Kemungkinan besar kelompok yang tidak terkena gejala ini berasal dari kelompok usia muda yang memiliki daya tahan tubuh lebih kuat.

Sumber :  CNN Indonesia [Jubir Sebut Hampir 80 Persen Positif Corona Tanpa Keluhan]

Berdasarkan informasi tersebut, maka kita coba telisik rapid test kit yang digadang-gadangkan dapat dengan segera mendeteksi Covid-19. Rapid test merupakan tes dengan mengambil sampel darah seseorang dan berbasis pengukuran antibodi. Oleh karena itu metode rapid testing hanya dapat digunakan ketika virus telah aktif (sesudah masa inkubasi) dan pada orang yang memiliki gejala seperti Covid-19. Pengecekan melalui antibodi khas Rapid Test tidak menunjukkan eksistensi virus itu sendiri. Maka ketika nanti hasil rapid test dinyatakan negatif, bukan berarti orang tersebut negatif Covid-19.

Hal yang patut jadi perhatian juga adalah pernyataan dari Achmad Yurianto yang menyebutkan 80 % orang positif Covid-19 tidak menunjukkan adanya keluhan kesehatan. Artinya, mutasi virus saat ini tidak menunjukkan adanya gejala. Ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama, antibodi dan virus sama-sama kuat sehingga virus belum mampu menginfeksi tubuh dan menyebabkan virulensi menurun. Kedua, penyebaran virus yang dari tubuh ke tubuh menyebabkan mutasi dan pada akhirnya virus dapat menginfeksi tubuh tanpa teridentifikasi oleh antibodi.

Oleh karena itu, pengecekan virus melalui PCR, meskipun lebih mahal, namun jauh lebih efektif untuk mengecek eksistensi virus di saluran pernafasan. Ibarat kata PCR bagaikan tes kehamilan menggunakan USG, sedangkan Rapid Test menggunakan urin.

Konsultan Genom dari Laboratorium Kalbe turut memperkuat argumen ini, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo menyatakan rapid test virus corona tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Sebab sensitivitas rapid test serologi sekitar 36 persen dari 100 kasus Covid-19. Ketika hasilnya negatif, maka bukan berarti negatif Covid-19.

Rapid Test harus dilakukan secara terbatas. Seperti di bandara ataupun pelabuhan yang tidak memungkinkan seseorang diperiksa langsung ke RS. Ketika hasilnya negatif, pemerintah harus tetap waspada. Sedangkan untuk pasien suspect Covid-19, maka metode yang lebih tepat adalah menggunakan PCR.

Sumber : CNN Indonesia [Ahli Bicara Alat Rapid Test Corona Arahan Jokowi]

Sehingga patutkah kita berfikir bahwa impor 1 juta rapid test hanya akan sia-sia?

Kita tengok saja Italia yang terkena dampak virus corona terbesar setelah China. Tingginya angka penyebaran di sana, menyebabkan ilmuwan harus berpikir keras untuk menanggulanginya. Pemerintah Italia sendiri telah melakukan rapid test ke 148 ribu orang pada 18 Maret 2020 lalu. Namun pada kenyataannya, rapid test tidak dapat secara efektif mendeteksi penyebaran virus corona karena banyak orang yang diperiksa tidak menunjukkan gejala. Kegagalan Rapid Tests di Italy karena virus yang masuk Italia didominasi Pasien Tanpa Gejala (Stealth) sehingga menyebabkan tidak bisa dideteksi dengan Rapid Tests.

Sumber : Kumparan [Membandingkan Penerapan Rapid Test Corona di Berbagai Negara]

Sumber : Aljazeera [Why is Italy's coronavirus fatality rate so high?]

Tes massal tidak sebaiknya dilakukan kata Profesor Penyakit Menular dari Universitas Milan, Massimo Galli. Menurutnya tes massal pada mereka yang tidak menunjukkan gejala hanya akan sia-sia. Seseorang yang hasil Covid-19 nya hari ini negatif, esok harinya dapat berubah.

Massimo Galli juga mengungkapkan, angka yang terkonfirmasi saat ini tidak mewakili seluruh populasi yang terinfeksi. Dia menjelaskan, ketika situasi darurat memburuk dengan cepat selama sebulan terakhir, Italia memfokuskan pengujiannya hanya pada orang-orang yang menunjukkan gejala parah.

Sumber : The Guardian [Scientists say mass tests in Italian town have halted Covid-19 there]

Sumber : Kompas [Mengapa Angka Kematian di Italia akibat Corona Tertinggi di Dunia?]

Tak hanya Italia, beberapa negara lain turut menyangsikan keefektifan tes masal, khususnya Rapid Test Kit. Tengok saja Kementerian Kesehatan Malaysia yang menyarankan warganya untuk tidak menggunakan Rapid Test Kit yang beredar di pasaran karena alat itu hanya mendeteksi antibodi dalam tubuh. Hal ini diungkapkan oleh Dirjen Kesehatan Malaysia, Noor Hisham Abdullah pada 24 Maret 2020. Ia tidak menyarankan warga Malaysia menggunakan Rapid Test Kit tanpa berkonsultasi dengan pihak medis, karena dapat menyebabkan salah penafsiran dan kekhawatiran di masyarakat.

Ia mengatakan metode Real-Time Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (rPT-PCR) telah terbukti efektif mendeteksi keberadaan virus corona dalam tubuh. Tes Covid-19 yang positif menggunakan rPT-PCR menandakan seseorang telah terinfeksi virus tersebut.

Sumber : Tirto [Malaysia Nilai Rapid Test Kit Tidak Efektif Deteksi Corona]

Lantas bagaimana dengan negara yang telah membeli dan menggunakan Rapid Test Kit dari China? Ternyata hasilnya mengecewakan.

Pada 18 Maret 2020, Pemerintah Ceko telah membeli 150.000 Rapid Test Kit dari China seharga 14 juta crown atau sekitar US$ 546.000. Namun dalam pengaplikasiannya, tenaga medis Ceko mengeluhkan kecacatan alat tersebut. Sebab tingkat eror dari Rapid Test Kit China mencapai angka 80 %. Rapid test kit di Ceko menunjukkan hasil positif palsu dan negatif palsu. Diketahuinya hasil tersebut setelah pihak medis di Ceko menguji coba alat tersebut dengan cara membandingkannya dengan hasil tes di laboratorium yang telah dilakukan. Rapid test kit hanya dapat digunakan bagi pasien corona di akhir masa karantina. Itu pun harus diuji coba lagi dengan tes yang lain untuk menjamin keakuratannya.

Menurut ahli kesehatan di salah satu daerah di Ceko, Moravian-Silesian, mereka akan terus bergantung pada pengujian di laboratorium demi menjamin keakuratan. Saat ini mereka menangani sekitar 900 sampel per harinya.

Sumber : TaiwanNews [80% of coronavirus test kits 'gifted' to Czechs by China faulty]

Kegagalan rapid test buatan China itu pula agaknya yang menyebabkan Amerika Serikat lebih memilih memesan alat tes dari Korea Selatan. Apalagi negeri ginseng itu telah berhasil mengembangkan alat tes berdasarkan teknologi PCR. AS yang saat ini mengalami kasus Covid-19 tertinggi di dunia menyebabkan Presiden Donald Trump menghubungi Presiden Korsel Moon Jae-In untuk mengirimkan peralatan tes Covid-19 ke negeri Paman Sam tersebut. Saat ini, Korsel mampu melakukan 20.000 tes Covid-19 per harinya dan telah diakui berhasil memperlambat penyebaran virus corona.

Sumber : FoxNews [Coronavirus testing kits to be provided by South Korea after Trump call]

Beberapa negara pun memilih untuk mengembangkan tes massal berdasarkan PCR dibandingkan rapid test China yang hanya mendeteksi ada atau tidaknya antibodi. Seperti UK yang kini tengah mengembangkan mesin Rapid portable RT-PCR yang dapat mendeteksi virus dalam waktu dua jam, Prancis lewat perusahaan BioMrieux yang telah mengembangkan tes PCR secara real-time untuk Covid-19 dan telah diakui FDA AS, dan kerja sama Senegal-UK  yang tengah mengembangkan alat tes dengan cepat dan mampu mendeteksi virus corona hanya dalam 10 menit.

Oleh karena itu, ada baiknya pendeteksian virus tetap difokuskan pada pemeriksaan di laboratorium menggunakan PCR atau mungkin menggunakan alat tes berdasarkan PCR yang digunakan Korsel dan beberapa negara lain yang sedang mengembangkannya.

Berdasarkan paparan tersebut apakah pemerintah masih ingin memaksa mengimpor Rapid Test Kit dari China yang sudah sangat jelas tidak akan efektif dalam mendeteksi Covid-19? Memang harga tes Covid-19 berdasarkan PCR lebih mahal dibandingkan rapid test dari China. Namun harus digarisbawahi Tes Kit PCR mampu mendeteksi virus corona pada pasien tanpa gejala.

Apabila RI tetap ingin memaksakan menggunakan rapid test dari China, maka akan timbul pertanyaan. Apakah pemerintah memutuskan beli Rapid Test yang tak berguna dari China, lebih karena harga murahnya atau karena persahabatan erat dengan China?

Buat rakyat kok coba-coba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun