RINGKASAN EKSKLUSIF
Kota Bandar Lampung menghadapi masalah serius berupa defisit Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang hanya mencapai 2,7% dari total luas wilayah kota, jauh di bawah standar minimal 20% sebagaimana diatur dalam Permen PU No. 05/PRT/M/2008. Fenomena urbanisasi yang pesat telah memicu alih fungsi lahan menjadi kawasan permukiman, infrastruktur, dan aktivitas komersial, sementara pengawasan dan pengelolaan RTH masih lemah. Ketidakseimbangan ini berdampak nyata pada lingkungan, seperti meningkatnya banjir akibat berkurangnya area resapan air, polusi udara yang memburuk, serta minimnya ruang publik yang mengurangi kualitas hidup masyarakat. Permasalahan ini bersifat strategis karena RTH memiliki peran vital sebagai paru-paru kota, penyerap polutan, kawasan resapan air, serta ruang interaksi sosial.
Tanpa intervensi yang tepat, keseimbangan ekologis dan kenyamanan lingkungan perkotaan akan semakin terancam. Solusi utama untuk mengatasi permasalahan ini adalah optimalisasi pengelolaan RTH melalui penambahan luas RTH publik, pengawasan ketat terhadap alih fungsi lahan, serta kolaborasi multipihak dalam pengembangan RTH. Pemerintah Kota Bandar Lampung menjadi subjek kunci dalam penyelesaian masalah ini dengan menetapkan kebijakan prioritas dan meningkatkan alokasi anggaran. Dukungan dari pihak swasta melalui Corporate Social Responsibility (CSR) dan partisipasi masyarakat melalui program “Satu Kelurahan Satu Taman” juga penting untuk memastikan pengelolaan RTH yang berkelanjutan. Langkah-langkah ini diharapkan dapat menekan dampak negatif urbanisasi, meningkatkan kualitas lingkungan, dan memperbaiki kehidupan sosial masyarakat di Kota Bandar Lampung.
PENDAHULUAN
Urbanisasi merupakan sebuah fenomena demografis yang mencakup perpindahan penduduk dari wilayah pedesaan menuju kawasan perkotaan, yang melibatkan transformasi geografis dan sosial masyarakat. Urbanisasi secara signifikan memengaruhi struktur dan perilaku sosial masyarakat. Perubahan tersebut secara langsung berimplikasi pada transformasi tingkah laku individual yang memerlukan perhatian khusus. Kehidupan sosial sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan tempat tinggal, sehingga tanpa pengendalian yang tepat, perubahan sosial berpotensi menghasilkan dampak negatif. Oleh karena itu, faktor pengendalian sosial utama berasal dari kesadaran internal individu itu sendiri. Penting untuk dicatat bahwa perubahan sosial akibat urbanisasi tidak selalu bersifat destruktif. Sepanjang dapat dikelola dengan baik, transformasi tersebut berpotensi menjadi katalis kemajuan bagi masyarakat (Hidayati, 2024).
Kota Bandar Lampung memiliki wilayah seluas 197,22 km² yang terbagi ke dalam 13 kecamatan dan 98 kelurahan dengan total populasi sekitar 1.209.973 jiwa berdasarkan data sensus penduduk tahun 2022 (Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, Jumlah Penduduk (Jiwa), 2020-2022, diakses 10 Desember 2024 dari lampung.bps.go.id). Urbanisasi di Bandar Lampung terus mengalami peningkatan seiring dengan perkembangan penduduk, pembangunan infrastruktur, dan masifnya konversi lahan. Faktor utama yang mendorong urbanisasi adalah daya tarik kehidupan perkotaan yang dianggap lebih modern dengan dukungan fasilitas sarana dan prasarana yang lebih lengkap dibandingkan dengan daerah pedesaan. Selain itu, adanya persepsi tentang melimpahnya peluang kerja serta lokasi pendidikan yang berkualitas di kota besar, seperti Bandar Lampung, semakin meningkatkan minat masyarakat desa untuk berpindah ke kota.
Salah satu dampak utama urbanisasi adalah alih fungsi lahan yang mengurangi proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH). RTH, berdasarkan Permen PU No. 05/PRT/M/2008, memiliki peran vital sebagai paru-paru kota, kawasan resapan air, serta ruang interaksi sosial masyarakat. Namun, di Kota Bandar Lampung, luas RTH masih jauh dari target 30% sebagaimana diatur dalam kebijakan tata ruang perkotaan. Berdasarkan laporan RTRW Kota Bandar Lampung, luas RTH publik hanya mencapai 2,7% pada tahun 2016 (Dini, 2022). Ketidakseimbangan ini diperparah dengan lemahnya pengawasan dan tingginya tingkat konversi lahan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur (Kurniawan et al., 2022). Dengan demikian, optimalisasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bandar Lampung menjadi langkah penting untuk mengatasi dampak urbanisasi yang semakin kompleks. Upaya ini tidak hanya akan meningkatkan kualitas lingkungan, tetapi juga memperkuat fungsi sosial dan ekonomi kota dalam menghadapi pertumbuhan penduduk yang pesat.
DESKSIPSI MASALAH
Kota Bandar Lampung menghadapi masalah serius terkait kekurangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik, yang hanya mencapai 2,7% atau sekitar 533,86 hektare dari total luas wilayah 19.722 hektare, jauh di bawah standar minimal 20% sebagaimana diatur dalam Permen PU No. 05/PRT/M/2008. Defisit ini disebabkan oleh tingginya laju urbanisasi yang memicu alih fungsi lahan menjadi kawasan permukiman, infrastruktur, dan aktivitas komersial, sementara upaya pengawasan dan pengelolaan RTH belum berjalan optimal. Penyebaran RTH yang tidak merata semakin memperburuk situasi, dengan beberapa kecamatan seperti Teluk Betung Barat, Teluk Betung Timur, dan Sukabumi bahkan tidak memiliki RTH publik yang memadai (Fadelia Damayanti, 2017). Kondisi ini berdampak nyata pada lingkungan perkotaan, di antaranya meningkatnya risiko banjir akibat berkurangnya area resapan air, polusi udara yang semakin memburuk, naiknya suhu mikroklimat, serta terbatasnya ruang interaksi sosial yang menurunkan kualitas hidup masyarakat. Jika kondisi ini tidak segera diatasi melalui optimalisasi pengelolaan RTH, keseimbangan ekologis Kota Bandar Lampung akan semakin terancam, mengakibatkan dampak jangka panjang yang lebih serius bagi lingkungan dan masyarakat.
TEMUAN
Pemerintah Kota Bandar Lampung telah menerapkan kebijakan terkait pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang mengacu pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Permen PU No. 05/PRT/M/2008 yang mewajibkan minimal 30% dari luas wilayah kota digunakan sebagai RTH, dengan pembagian 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Selain itu, kebijakan ini diturunkan ke dalam RTRW Kota Bandar Lampung 2011-2030, yang bertujuan menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan serta mengatur pengalokasian RTH di kawasan permukiman dan pusat kota (Dini, 2022). Salah satu contohnya terdapat di Kecamatan Kemiling, di mana luasan RTH tercatat 19,42% atau 486,69 hektare dari total luas wilayah 2.505 hektare (Fadelia Damayanti, 2017). RTH tersebut tersebar dalam bentuk hutan lindung, taman perumahan, median jalan, pemakaman umum, lapangan olahraga, dan bentang alam gunung.
Meskipun kebijakan telah dibuat, implementasi di lapangan menghadapi berbagai kendala serius. Pertama, tingginya laju alih fungsi lahan akibat pesatnya urbanisasi dan pembangunan infrastruktur. Di Kecamatan Kemiling, contohnya, 23,6 hektare hutan lindung di Kelurahan Sumber Agung telah beralih fungsi menjadi kawasan permukiman. Alasan ekonomis dan kurangnya pengawasan menjadi faktor utama penyebab alih fungsi ini. Kedua, ketidakseimbangan penyebaran RTH, di mana sebagian besar RTH masih terkonsentrasi di area tertentu, sementara kelurahan padat penduduk seperti Kemiling Permai justru minim ruang terbuka. Ketiga, rendahnya partisipasi masyarakat dan sektor swasta dalam mendukung upaya pengelolaan RTH, baik dalam pemeliharaan maupun pengembangan. Selain itu, anggaran pemerintah yang terbatas memperlambat realisasi pengembangan RTH baru dan pemulihan RTH yang terdegradasi (Fadelia Damayanti, 2017).
Jika masalah defisit RTH ini terus dibiarkan tanpa intervensi yang serius, dampaknya akan semakin parah dan memengaruhi keseimbangan ekologis, ekonomi, dan sosial di Kota Bandar Lampung. Secara ekologis, berkurangnya RTH akan mengakibatkan penurunan daya resapan air, yang berpotensi meningkatkan risiko banjir di musim hujan. Hal ini sudah terlihat di beberapa titik rawan banjir di kawasan permukiman baru akibat hilangnya daerah resapan alami. Selain itu, polusi udara akan meningkat seiring pertumbuhan kendaraan bermotor dan berkurangnya vegetasi penyerap polutan, yang akan berdampak pada kualitas udara dan kesehatan masyarakat. Secara ekonomi, minimnya RTH akan menurunkan nilai estetika kota dan mengurangi daya tarik investasi, terutama di sektor properti dan pariwisata (Azhari, 2019).
Sementara itu, dari sisi sosial, berkurangnya RTH berarti hilangnya ruang publik yang berfungsi sebagai tempat interaksi sosial, rekreasi, dan aktivitas komunitas. Akibatnya, kualitas hidup masyarakat perkotaan semakin menurun di tengah lingkungan yang padat, panas, dan kurang nyaman. Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan yang ada belum sepenuhnya efektif dalam mengatasi defisit RTH di Kota Bandar Lampung. Ketidakseimbangan antara pembangunan infrastruktur dan penyediaan RTH menjadi tantangan besar dalam upaya optimalisasi RTH untuk mengatasi dampak urbanisasi. Langkah strategis yang terfokus dan kolaboratif sangat diperlukan agar fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial RTH dapat dioptimalkan demi keberlanjutan lingkungan perkotaan.
REKOMENDASI
Berdasarkan temuan terkait defisit Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bandar Lampung, rekomendasi kebijakan ini disusun untuk mengatasi permasalahan dan memberikan solusi spesifik, terukur, serta dapat diimplementasikan. Rekomendasi tersebut dijabarkan sebagai berikut:
- Peningkatan Proporsi dan Distribusi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Publik Secara Merata
Pemerintah Kota Bandar Lampung harus menetapkan kebijakan prioritas untuk menambah luas RTH publik agar mendekati target minimal 20% dari total luas kota sebagaimana diatur dalam Permen PU No. 05/PRT/M/2008. Lahan tidur seperti sempadan sungai, jalur hijau di bawah jaringan listrik tegangan tinggi (SUTET), serta area terbuka di kawasan permukiman padat perlu segera diidentifikasi dan dialokasikan sebagai ruang terbuka hijau. Selain itu, konsep RTH vertikal melalui pembangunan taman atap (roof garden) pada bangunan publik juga harus dipertimbangkan sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan lahan di wilayah perkotaan. Rehabilitasi kawasan RTH yang telah terdegradasi, seperti hutan lindung di Kelurahan Sumber Agung yang sebagian besar sudah dikonversi menjadi permukiman, perlu menjadi prioritas agar fungsi ekologis RTH dapat dipulihkan.
- Penguatan Regulasi dan Pengawasan Terhadap Alih Fungsi Lahan
Selanjutnya, pengawasan terhadap alih fungsi lahan harus diperketat dengan menerapkan sistem pemantauan digital berbasis Geographic Information System (GIS) yang memungkinkan pemerintah dan masyarakat untuk memantau perubahan penggunaan lahan secara real-time. Pemerintah Kota Bandar Lampung perlu menegakkan sanksi tegas bagi pihak-pihak yang melakukan konversi lahan RTH secara ilegal, baik individu maupun pengembang. Di sisi lain, penerapan insentif perlu diberikan kepada pengembang perumahan atau pihak swasta yang menyediakan RTH sesuai dengan ketentuan tata ruang kota. Langkah ini akan mendorong keterlibatan pihak swasta untuk turut berkontribusi dalam pembangunan RTH.
- Kolaborasi Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat dalam Pengembangan dan Pemeliharaan RTH
Mendorong partisipasi aktif sektor swasta melalui skema Corporate Social Responsibility (CSR) dalam pembangunan taman kota, jalur hijau, dan RTH berbasis komunitas. Selain itu, memberdayakan masyarakat melalui program adopsi taman “Satu Kelurahan Satu Taman” untuk pemeliharaan dan pengelolaan RTH di lingkungan mereka. Pemerintah perlu membangun taman komunitas di setiap kelurahan, terutama di kawasan yang memiliki kepadatan penduduk tinggi, seperti Kemiling Permai. Selain itu, sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya RTH bagi kehidupan perkotaan harus lebih gencar dilakukan agar masyarakat memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk menjaga ruang hijau di lingkungan mereka.
REFERENSI
Azhari, D. (2019). Kajian Pengembangan Infrastruktur Hijau Dengan Metode Sistem Dinamik Untuk Kota Bandar Lampung Yang Berkelanjutan. Jurnal Teknik Sipil, 1(1), 1–14.
Dini, A. M. (2022). POLICY BRIEF PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MAKASSAR (STUDI PADA BUMI TAMALANREA PERMAI). http://digilib.unila.ac.id/4949/15/BAB II.pdf
Fadelia Damayanti. (2017). RUANG TERBUKA HIJAU DI KECAMATAN KEMILING KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2016. Jurnal Akuntansi, 11.
Hidayati, I. (2024). Urbanisasi dan Dampak Sosial di Kota Besar: Sebuah Tinjauan. Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial, 7(1), 214.
Kurniawan, N. S., Asmara, S., & Asbi, A. M. (2022). Strategi Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Publik Berdasarkan Jumlah Penduduk Di Kota Bandar Lampung Tahun 2021-2030. Jurnal Perencanaan Dan Pengembangan Kebijakan, 2(1), 14. https://doi.org/10.35472/jppk.v2i1.672
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI