Mohon tunggu...
Necholas David
Necholas David Mohon Tunggu... Editor - Editor

"Nico", tinggal di Malang. Berpikir untuk Menulis; Menulis untuk Berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

WR Supratman dan "Lagu Nasional" Penantang Beijing

19 September 2019   11:35 Diperbarui: 19 September 2019   12:35 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aksi protes menentang RUU Ekstradisi di Hong Kong telah berlangsung selama 100 hari. Berbagai aksi telah dilakukan, mulai dari baris-berbaris di jalan raya, membentuk rantai manusia, hingga memblokir akses bandara.

Dua minggu lalu muncul sebuah video yang segera menarik perhatian. Klip ini berisi sebuah lagu berbahasa Kanton yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul Glory to Hong Kong.

Dalam waktu singkat, "lagu nasional" ini disambut hangat oleh penduduk Hong Kong. Dalam satu kesempatan, secara spontan para pengunjung mal bersama-sama menyanyikan lagu ini.

Versi orkestra juga segera dibuat. Seorang netizen merilis video dua menit di Youtube yang menampilkan 150 pemusik dan penyanyi beratribut khas pemrotes. Pakaian hitam-hitam, topi proyek warna kuning, kacamata pelindung, dan masker anti gas air mata. Black Blorchestra, demikian kelompok musikus ini menamakan diri mereka.

Dalam wawancara dengan CNN, pengarang lagu empat bait ini hanya ingin dikenal dengan nama "Thomas". Dia berkata, "Aku juga dapat membelikan helm (untuk para pemrotes), aku dapat menyelamatkan mereka dari kekerasan fisik, tetapi mungkin aku dapat memberikan sesuatu yang lebih -- sesuatu yang bersifat spiritual.

Aku pikir cara terbaik untuk melakukannya adalah membuat sebuah lagu baru untuk menyatukan mereka."



Tanpa harus memahami bahasa Kanton, kita bisa merasakan nuansa "patriotik" dalam lagu ini. "Thomas" mewakili perasaan kaum muda Hong Kong yang merindukan kebebasan dan tidak ingin "dijajah oleh Beijing."

Berkaca dari "Thomas," saya bertanya-tanya, apa yang membuat W.R. Soepratman menggesek dawai biolanya dan menciptakan lagu tiga stanza yang diberi judul Indonesia Raya?

Kondisi Dunia di Tahun 1920-an
Tahun 1920-an dunia baru saja pulih dari Perang Dunia ke-1. Kemajuan teknologi makin cepat. Muncul kendaraan roda empat. Semakin banyak orang mempunyai radio dan telepon. Selain itu, orang mulai mengenal alat pemutar musik bernama fonograf.

Di daratan Eropa, rakyat Belanda sedang mengalami masa kejayaan. Negeri berpenduduk sekitar 7 juga jiwa ini juga sedang mempersiapkan diri menjadi tuan rumah Olimpiade ke-8 di Amsterdam (1928).

Pada saat itu sudah lebih dari 300 tahun Belanda menemukan sebuah kepulauan yang begitu kaya. Mereka menyebutnya "Permata Kita yang Paling Berharga."

Kepulauan tersebut merupakan tempat tinggal 60 juta jiwa: Batavia dan Jawa Barat 11 juta, Jawa Tengah 15 juta, Jawa Timur 15 juta, Sumatera 8 juta, Kalimantan 2 juta, Sulawesi 4 juta, Maluku dan Irian Barat, 0,8 juta, dan Nusa Tenggara 3 juta (Nitisastro, 2006). 

Dari jumlah tersebut: 97,4% (59,1 juta) penduduk asli; 2% (1,2 juta) keturunan Tionghoa; 0,4% (0,24 juta) orang Belanda dan Eropa; 0,2% (0,11 juta) keturunan bangsa lainnya.

Di sisi lain, nasionalisme di kepulauan Hindia Belanda ini sedang bangkit. Kini semakin banyak orang terpelajar sejak Ratu Belanda Wilhelmina menerapkan Kebijakan Etis pada 1901 yang salah satu kebijakannya adalah memajukan pendidikan di daerah koloni. Hingga tahun 1928, telah ada 75.000 penduduk Indonesia menerima pendidikan Barat dan telah ada 6.500 sekolah dasar.

Lahirnya Indonesia Raya
Semangat nasionalisme juga membara  dalam diri seorang pemuda bernama W.R. Soepratman. Tahun 1920, putra seorang tentara KNIL ini mendapat sebuah biola sebagai hadiah ulang tahun ke-17 dari saudara tirinya, van Eldik. Mereka kemudian membentuk sebuah grup musik.

Tahun 1924, di usianya yang baru 21 tahun W.R. Soepratman menciptakan sebuah lagu yang dijuluki "lagu pemberontakan" oleh pihak Belanda. 

Dia bahkan berusaha memanfaatkan teknologi rekaman musik saat itu agar lebih banyak orang mengetahuinya. Rekaman pertama lagu ini dibuat tahun 1926 bersama Bapak Yo Kim Tjan, pemilik Orkes Populair.

Lagu Indonesia Raya begitu visioner dan menggetarkan hati. Visioner, karena pada saat itu belum ada negara Indonesia, hanya ada pulau-pulau yang terpisah. Menggetarkan hati, karena hanya dengan mendengar dan merasakan nada-nadanya, hati kita tersentuh dan air mata kita menetes.


Indonesia, tanah airku
Tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku

Indonesia, kebangsaanku
Bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu!

Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku
Bangsaku, rakyatku, semuanya
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya, merdeka! Merdeka!
Tanahku, negeriku yang kucinta
Indonesia Raya, merdeka! Merdeka!
Hiduplah Indonesia Raya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun