Sudah beberapa tahun ini saya berpandangan negatif terhadap novel. Bagi saya, membaca novel itu boros waktu. Seiring bertambahnya usia, saya merasa makin sibuk. Sayang sekali waktu dihabiskan untuk membaca cerita-cerita yang hanya menjadi hiburan saja. Demikian pikir saya. Saya yakin akan lebih bermanfaat jika saya membaca buku-buku nonfiksi, seperti manajemen, biografi, spiritualitas, psikologi, pengembangan diri, dan lainnya. Pokoknya, tidak perlu baca novel.
Hal ini sangat bertentangan dengan kebiasaan saya waktu masih remaja. Saat masih SMP-SMA, saya suka sekali membaca fiksi. Tugas dari guru bahasa Indonesia untuk membaca Layar Terkembang saya sambut dengan sukacita. Rak buku saya tidak luput diisi dengan serial Lupus setiap kali terbit. Belum lagi novel-novel Agatha Christie yang membuat kening berkerut-kerut. Saya bahkan tidak pernah absen mengikuti cerita bersambung di harian Kompas waktu itu.
Semasa kuliah pada penghujung abad 20, konsumsi bacaan fiksi mulai berkurang. Saya hanya membeli kumpulan cerpen Ayu Utami, buku-buku Dee, Cerpen Terbaik Kompas, dan serial best seller waktu itu, Harry Potter. Juga Dunia Sophie, novel filsafat yang diperkenalkan seorang teman.
Setelah lulus kuliah, novel sudah hampir saya lupakan. Hanya Laskar Pelangi yang pernah saya tuntaskan. Namun, belakangan ini saya menyadari bahwa saya telah meremehkan manfaat bacaan fiksi. Artikel-artikel di koran dan website mengingatkan saya akan dua manfaat menakjubkan ketika seseorang membaca novel.
1. Meningkatkan kemampuan mengenali diri sendiri dan orang lain.
Salah satu artikel di cnn.com menyebutkan bahwa ketika seseorang larut dalam novel bacaannya, fungsi otak akan meningkat. Terjadi koneksi dalam sistem saraf dalam otak sehingga pembaca dapat memahami kisah dari sudut pandang orang lain.
Studi menunjukkan bahwa membaca fiksi meningkatkan theory of mind. Ini merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali keyakinan dan keinginan diri sendiri, juga memahami bahwa orang lain dapat mempunyai cara pikir, kemauan, dan cara pandang yang berbeda. Dengan kata lain, pembaca fiksi akan semakin mampu melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain dan lebih mampu berempati.
2. Menolong seseorang menjadi pemimpin yang lebih baik.
Joseph L. Badaracco, seorang profesor di Harvard Business School menggunakan novel untuk mengajar mahasiswanya. Beliau antara lain menggunakan novel “The Secret Sharer” untuk menolong mahasiswanya memahami permasalahan kepemimpinan, pengambilan keputusan dan penilaian moral.
Dalam hampir semua novel, ada seseorang yang mengambil inisiatif dan menjadi pemimpin. Mereka mungkin bukan pemimpin yang heroik. Biasanya jenis kepemimpinan yang tidak terlihat, seseorang yang berada di belakang layar. Dari kisah yang kita baca kita dapat mempelajari apakah tokoh tersebut mengambil keputusan dengan benar. Apakah mereka memiliki konsep diri yang tepat? Apakah ada solusi yang lebih baik? Apa alasan di balik apa yang mereka lakukan?
“Literatur menolong para mahasiswa untuk mendapat pandangan yang lebih realitis daripada banyak buku bisnis ketika berbicara tentang hal-hal yang diperlukan dalam kepemimpinan,” lanjut profesor Joseph L. Badaracco.
Melihat manfaat yang luar biasa dari membaca novel, saya kembali semangat dan tidak lagi menganggap novel sebagai bacaan yang memboroskan waktu. Kini saya sudah menyelesaikan Negeri 5 Menara, dan sedang membaca The Da Vinci Code, karya Dan Brown, sebuah novel yang memicu kontroversi sepuluh tahun lalu. Saya sudah lama membaca buku-buku lain yang menanggapi novel ini, sementara novelnya sendiri belum pernah saya baca. Tidak ketinggalan, novel-novel Pramoedya Ananta Toer, Gabriel García Márquez, dan Stephen King sudah saya catat dalam daftar bacaan selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H