Mohon tunggu...
Nduk Kenuk
Nduk Kenuk Mohon Tunggu... profesional -

Kejujuran&kesetiaan adalah 2 hal yg amat sangat mudah melakukannya. hanya membutuhkan keikhlasan&ketulusan. sayangnya hanya sedikit yang sanggup melakukannya..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Berdaya Bukan Berarti Sia-sia...

8 Mei 2014   23:47 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:42 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Saya adalah orang yang beruntung. Saya tidak bisa melihat tapi kebutuhan saya tercukupi. Saya punya istri dan punya anak. Kami tidak punya tempat tinggal, mertua saya memberikan rumah. Untuk makan sehari-hari, walaupun tidak banyak, tetap tercukupi. Saya bersyukur. ”

Itulah ungkapan rasa syukur yang tak henti-hentunya diucapkan Agus Rianto, penjaja kerupuk di Ibukota Republik Indonesia, Jakarta. Kendati buta, jangan dikira hidupnya tidak berdaya. Memang tak jarang orang lain menaruh iba. Namun semangat menghidupi keluarga tiada terkira. Baginya, kebutaan bukan sebuah bencana. Apalagi membuatnya menyerah dalam menjalani hidup, seperti kebanyakan orang buta.

Siang itu, dua iris pisang goreng yang disantapnya dirasa cukup sebagai pengganjal perut. Tepat pukul 11 siang, Agus pun bergegas menyiapkan barang dagangannya. Tak butuh waktu lama, bungkusan aneka kerupuk bangka rasa ikan tenggiri sudah dipikulnya. Seperti biasa, Nunung, sang istri, mengalungkan handuk dipundaknya. Tangannya memegang tongkat –terbuat dari pipa besi— sebagai alat pemandu setia.

Biasanya, dagangan itu ia jajakan dengan menyusuri jalanan komplek perumahan di sekitar tempat tinggalnya di Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Lalu perjalanan dilanjut ke kawasan Lenteng Agung dan berakhir di Ciganjur. Masih di Jakarta Selatan. Nah, di Ciganjur inilah, agen kerupuk itu berada. Sebelum kembali ke rumah, Agus sekalian mengambil barang dagangan yang akan dijual esok hari.“Kerupuk... kerupuk bangka rasa ikan tenggiri. Siapa mau beli... siapa mau beli...” begitu teriaknya diulang-ulang saat menyusuri jalanan.

Sembari jalan, mulutnya tak henti menawarkan dagangan. Bila dirasa lelah, ia pun rehat sejanak sekadar melepas lelah. Meski dengan kondisi mata buta, saban harinya rute yang ditempuh selalu berbeda. Toh, Agus tak pernah nyasar ketika jalan pulang. Alhamdulillah, mungkin karena sudah terbiasa,katanya merendah.

Saat hari beranjak sore, Agus mampir ke warteg yang ada di Gang Seratus, Tanjung Barat. Di warung langgananini, sayur sop, telur dadar ditambah minuman dinginmenjadi menu kesukaannya. Selain mengenyangkan, menu itu dirasa sudah lebih dari cukup. Di tempat ini pula, Agus lebih lama istirahat. Sesekali ayah tiga anak ini berkomunikasi dengan rekan-rekannya lewat ponsel sebelum melanjutkan perjalanan.

Tak selamanya barang dagangan habis terjual. Kalau sudah begitu, bila waktunya masih dirasa memungkinkan, Agus memilih kembali keliling. Kalaupun tidak, terpaksa ia membawa pulang dagangan. “Namanya juga orang jualan, kadang habis kadang tersisa,” ujar ayah dari Indah, Bella dan Devi ini.

Walau menderita kebutaan, mata Agus tampak seperti normal. Sehingga tak jarang, banyak orang yang mengira tampilan dirinya hanyalah pura-pura belaka. Baginya, sindiran dan anggapan miring itu sudah biasa. Bahkan, hal itu nyaris sudah tak terbilang didengar telinga. Lantaran itu pula yang membuatnya semangat untuk terus berjalan. Mengingat ada empat jiwa di rumah yang menjadi tanggungannya.

Dua tahun sudah, pria kelahiran Salatiga, 19 Desember 1977 ini melakoni hidup sebagai penjual krupuk keliling. Lewat usahanya, lembaran rupiah demi rupiah bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Dia pernah terperosok lubang trotoar, jatuh di jalanan becek, hingga menabrak gerobak atau disenggol pantat truk. Beruntung, Allah SWT masih melindunginya lewat tangan-tangan baik hati yang ada di sekitar saat kejadian. Dengan kondisi itu, tak sedikit orang yang melihatnya iba. “Ada juga yang nyelipin duit di kantong,” selorohnya.

Sakit Panas

Kebutaan yang menimpa Agus bukanlah bawaan lahir. Semasa umur balita, dia sempat menikmati indahnya dunia. Namun, ketika menginjak usia lima tahun, Agus mengalami demam tinggi. Kala itu sang ibu, Miatun, mengira hanya demam biasa. Lantaran keterbatasan biaya, kedua orangtuanya hanya memberi obat ala kadarnya. “Kata orangtua sih, saat itu meski saya lagi sakit panas, orangtua tetap memandikan. Padahal katanya, kalau lagi sakit panas nggak boleh mandi,” ceritanya.

Entah kenapa, sejak saat itu penglihatannya mulai kabur, hingga akhirnya matanya tak bisa melihat sama sekali. Agus pun divonis buta permanen. Meski begitu, cobaan ini tidak lantas menjadikan Agus kecil patah semangat. Berkat kegigihannya, selain mampu menyelesaikan pendidikan walau hanya sampai SMP, Agus menguasai huruf braille.

Tahun 1998, meski dilarang kedua orangtuanya Agus nekat merantau ke Jakarta. Rupanya, seorang teman yang tinggal di Tebet, Jakarta Selatan siap menampungnya. Selama di Jakarta, dia mengikuti pendidikan pijat khusus penyandang tuna netra. Tak lama kemudian, masih di tempat yang sama Agus membuka praktik. Di sana pula, ia bertemu belahan jiwanya, Nunung, yang kini tetap setia mendampinginya bersama tiga orang anak.

Sejak berumahtangga, Agus dibantu istrinya membuka praktik pijat di kediamannya di bilangan Ranco Indah Gintung, Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Namun sejak dua tahun lalu, dia banting setir memilih berjualan kerupuk. Sementara praktik pijat tetap dijalankan Nunung. Sama halnya dengan Agus, Nunung pun mengalami kebutaan bukan lantaran bawaan lahir. Ia mengalami buta permanen sejak usia remaja karena mengalami demam tinggi.

Dulu mungkin sulit menerima kenyataan ini. Namun dengan bersyukur dan ikhlas pasangan ini tetap semangat menjalani hidup. Ada satu hal keinginan Agus yang belum kesampaian, yakni merenovasi rumah orangtuanya di Jawa. “Saya ingin betulin rumah orangtua saya, rumahnya sudah jelek sekali,” pungkasnya.

(Kenuk Kurniasih)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun