Mohon tunggu...
Nandu Saprudin
Nandu Saprudin Mohon Tunggu... Lainnya - S.Pd., M.M | Accounting Education | Financial Management

Setiap tulisan adalah jejak pemikiran, semoga bermanfaat dan menginspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pro Kontra Penerapan PPN 12% Pada Barang dan Jasa Premium Mulai 1 Januari 2025

16 Desember 2024   20:10 Diperbarui: 16 Desember 2024   20:19 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah Indonesia telah mengumumkan kebijakan baru terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini berlaku untuk sejumlah barang dan jasa yang dikategorikan sebagai premium, seperti beras premium, buah-buahan premium, daging wagyu dan kobe, produk laut eksklusif, jasa pendidikan premium, layanan kesehatan di rumah sakit mewah, serta listrik untuk pelanggan rumah tangga dengan daya 3.500-6.600 VA.

Menurut Kementerian Keuangan, kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara sekaligus menciptakan keadilan pajak. "Barang dan jasa premium umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi. Dengan pengenaan PPN ini, diharapkan kontribusi pajak dari kelompok tersebut lebih optimal," ujar Direktur Jenderal Pajak dalam konferensi pers.

Banyak pihak mendukung langkah ini sebagai upaya untuk meningkatkan keadilan sosial. Pengenaan PPN pada barang dan jasa mewah adalah langkah tepat. "Ini sejalan dengan prinsip pajak progresif, di mana mereka yang memiliki kemampuan lebih besar turut berkontribusi lebih besar," jelasnya.

Selain itu, kebijakan ini dianggap tidak akan berdampak signifikan pada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah karena hanya menyasar segmen premium. "Dengan kata lain, kebutuhan pokok tetap terjangkau bagi masyarakat luas," tambah Zeinny.

Namun, kebijakan ini tidak lepas dari kritik. Sejumlah pengamat menilai bahwa definisi "premium" masih terlalu luas dan berpotensi membingungkan masyarakat. Misalnya, apakah semua jenis beras dengan harga di atas standar dianggap premium?

Di sisi lain, pelaku usaha di sektor jasa pendidikan dan kesehatan juga merasa keberatan. PPN pada jasa medis premium dapat mempersulit akses layanan kesehatan berkualitas. "Meskipun segmentasi rumah sakit mewah, tetap ada pasien yang memilih layanan ini karena alasan medis tertentu, bukan semata-mata gaya hidup," ujarnya.

Di sektor energi, pengenaan PPN untuk pelanggan listrik rumah tangga dengan daya 3.500-6.600 VA juga menuai protes. Kelompok masyarakat menengah atas yang terjepit inflasi merasa kebijakan ini akan semakin membebani mereka.

Reaksi masyarakat beragam. Di media sosial, sebagian warganet mendukung kebijakan ini sebagai upaya menekan konsumsi barang-barang mewah yang dianggap tidak esensial. Namun, ada juga yang mempertanyakan efektivitasnya. "Apakah hasil pajaknya benar-benar akan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat?" tulis seorang pengguna Twitter.

Kebijakan PPN 12% ini menjadi isu yang memicu perdebatan di tengah masyarakat. Pemerintah diharapkan dapat memberikan penjelasan lebih rinci terkait implementasi kebijakan ini, termasuk mekanisme pengawasan dan alokasi hasil pajak. Dengan demikian, masyarakat dapat memahami tujuan dan manfaat dari kebijakan tersebut secara lebih transparan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun