Ana dzofatu minal iman, sebuah unen-unen yang sering disuarakan dan ditulis besar-besar sebagai wujud memasyarakatkan ajaran ad dinul Islam yang ramah lingkungan. Kebersihan sebagian dari iman bukanlah jargon yang asing bagi ummat Islam, karena telah dikenalkan sejak dini oleh para guru dan orang tua. Tak salah juga jika ada kelakar pendidikan tertinggi yang ditempuh oleh seseorang namun masih memiliki perilaku membuang sampah sembarangan, mengartikan gagalnya proses pendidikan. Lebih-lebih pendidikan Islam.
Sebagai manusia yang setiap harinya memberikan edukasi kepada peternak rakyat di pedesaan, yang notabene erat sekali dengan kultur beragama, religiusitas, pesantren, atau pun aroma Islami. Menjadi fenomena yang kontradiktif ketika masyarakat kesana kemari berbicara agama namun "gaya" beternaknya di kandang justru menumpuk segunung celethong sapi. Miris, karena terpampang jelas di ruang tamunya para kyai sepuh panutan yang jelas-jelas mengajarkan berpola hidup bersih dan sehat.
Penanaman mindset untuk berpola hidup bersih dan sehat yang sampai saat ini dengan segala upaya dan kerja keras pemerintah sepertinya tidak berjalan optimal, belum benar-benar berhasil. Mengapa? Bukan salah pemerintahnya. Bukan salah penyuluh yang menjadi ujung tombak di lapangan. Bukan salah sistem atau programnya. Akan tetapi, cara berpikir masyarakat mengenai pola hidup bersih dan sehatlah yang sejauh ini kurang melekat.
Berapa banyak kamar mandi dan WC komunal yang dibangun pemerintah, lembaga swadaya, institusi gerakan sosial yang mangkrak? Bertahan dalam kurun waktu berapa lama? Pembangunan fisik fasilitas yang menunjang kesehatan tidak diiringi dengan matangnya cara berpikir masyarakat menyoal pentingnya lingkungan sehat.
Peran penganjur agama di tengah-tengah masyarakat menjadi salah satu kunci untuk mendukung program pemerintah, apapun itu. Program pemerintah yang tidak bertentangan dengan hukum syari'at Islam, seperti berpola hidup sehat harus benar-benar tersampaikan dengan jelas, lugas, luas, dan luwes oleh penganjur agama lengkap dengan dasar-dasar syar'i yang menguatkan cara berpikir masyarakat.
Ditambah lagi, pola hidup sehat dalam beternak yang baik dan benar harus diterapkan sebagai salah satu faktor resiko manusianya. Maka, disinilah salah satu fungsi penganjur agama seperti ustadz dan kyai untuk menyampaikan cara beternak yang sehat juga tertunjang dengan dalil-dalil yang mendasari.
Menjadi penting bagi penganjur agama untuk tidak hanya menguasai ilmu klasik yang tertulis dalam kitab-kitab 'ulama' salaf. Akan tetapi, juga mau belajar persoal ilmu-ilmu kontemporer kekinian yang maslahat bagi masyarakat dan membersamai terwujudnya lingkungan sehat lahir dan batin.
Sungguh, fenomena penganjur agama #jamannow sepertinya sudah banyak yang meninggalkan kultur ngandang, tidak seperti pendahulu-pendahulunya yang hobi beternak kuda, sapi, kambing, atau pun domba. Kultur beternak sebenarnya tidak jauh-jauh dengan lingkungan pesantren, terlebih di desa.
Faktanya, silahkan dihitung berapa banyak penganjur agama yang menekuni ternak. Kemudian, jika tidak melaksanakan laku beternak, bagaimana bisa sukses menyarankan beternak yang sehat, baik, benar, dan tidak menimbulkan resiko penyakit? Mungkin, itulah yang menyebabkan dawuh sang ustadz atau kyai kurang didengar. Harusnya, penganjur agama punya peran menghidupkan sehat untuk masyarakat kandang.Â
Mutlak hukumnya kolaborasi 'ulama dan umaro' dalam mewujudkan tatanan yang madani. Termasuk dalam mewujudkan masyarakat yang sehat. Karena dengan sehat beribadah akan kuat, dengan sehat berbagi manfaat sesama akan lebih giat. Kira-kira begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H