Tahun 2012 kami mendapatkan tugas dari kampus untuk melaksanakan KKN-BBM UNAIR (Kuliah Kerja Nyata-Belajar Bersama Masyarakat Universitas Airlangga). Kesempatan ini membuat kami memiliki banyak pengalaman dan pelajaran berharga yang tidak pernah kami dapatkan di bangku kelas kuliah. Sebuah desa bernama Kedasih, di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo menjadi lokasi pengembanan tugas kami. Berada di bawah kaki Gunung Bromo, Desa Kedasih berjarak sekitar 15 km dari Bromo. Memiliki waktu tempuh kurang lebih satu jam dari pusat Kecamatan Sukapura.
Perjuangan kami di Desa Kedasih cukup unik dan sedikit mengejutkan. Masyarakat setempat memiliki mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Sebagian besar hasil pertanian berupa sayur mayur seperti tomat, gubis, wortel, cabai, buncis, jagung dan kentang. Terkhusus di Desa Kedasih, lereng Bromo merupakan desa yang satu-satunya tanahnya juga bagus untuk ditanami tembakau. Unik.
Kesempatan kali ini cukup mengherankan kami karena potensi pertanian yang menggeliat kurang diimbangi oleh pengetahuan bertani yang mumpuni. Kami cukup heran ketika masyarakat setempat kurang memanfaatkan kotoran sapi sebagai pupuk kompos dalam mengolah tanah. Hanya beberapa masyarakat saja yang mengaplikasikannya. Kami pun mencoba memberikan pemahaman dan pelatihan pembuatan kompos yang baik.
Berbeda dengan yang ditanam dilahan pertanian dalam jumlah besar yang membutuhkan manajemen yang baik karena untuk menjaga kualitasnya sebagai komoditas yang diperdagangkan keluar desa. Melimpahnya hasil sayuran membuat limbah sayur mayur juga cukup banyak.
Alasannya karena tidak ada satupun dari empat dusun yang kami survey memiliki lemari pendingin atau kulkas (maklum suhu di lereng pegunungan sudah dingin), sehingga sayuran cepat busuk. Latar belakang tersebut membuat tim kami memberikan alternatif yang cukup solutif dengan memberikan penyuluhan dan demonstrasi cara membuat nugget sayur untuk memanfaatkan jumlah sayur yang cukup melimpah.
Kenyataan tersebut disebabkan oleh angka pernikahan dini yang tinggi. Tidak hanya lulusan SMP atau SMA yang memberanikan menikah di tengah ketidaksiapan mental, psikis dan finansial. Tetapi juga, pernikahan lulusan SD yang tidak jarang pihak perempuan belum mengalami menstruasi perlu juga dicermati.
Pejuang tanah terpencil bersama perangkat desa, tenaga pendidik, dan tenaga kesehatan (bidan) setempat memberikan pendidikan seks dini kepada siswa-siswi SMP yang memiliki kecenderungan tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat atas. Hal ini kami lakukan untuk mengurangi insidensi kematian ibu melahirkan, keguguran kandungan, dan perceraian karena belum siapnya mental berrumah tangga.
Anak tersebut bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya berhubung sekolahnya berada dilokasi Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Puji syukur, anak tersebut mampu berprestasi selama 3 tahun pendidikannya dan berhasil lulus ditahun 2016 ini.
Keinginan kami bisa menyekolahkan hingga pendidikan tinggi, namun kami belum sempat bersilaturrahmi dan memberikan pengertian kepada orangtua dan keluarga anak tersebut, karena faktor keluarga menjadi penentu apakah seorang anak bisa merantau dan mengadu nasib.
Sudut unik yang kami temukan selama pengembanan menjadi pejuang tanah terpencil adalah masih adanya transaksi barter di masyarakat suku Tengger Desa Kedasih. Barter yang terjadi bukan antara penduduk setempat melainkan dengan masyarakat yang tinggal di bawah Kecamatan Sukapura.