Akses Surabaya menuju Madura tidak terasa jauh lagi semenjak Jembatan Suramadu menjadi penghubungnya. Sebuah takdir yang tidak bisa ditebak, dua bulan ini saya bermukim di pulau garam yang terkenal memiliki kultur “keras”. Kabupaten Bangkalan menjadi wilayah pengembanan tugas saya. Menjadi dokter hewan di sebuah korporasi yang bergerak di bidang kemitraan perunggasan ayam potong membuat saya harus berkeliling ke kandang-kandang peternak yang bermitra dengan perusahaan dimana saya bekerja.
Sampai pada suatu sore di pertengahan Februari saya mendapati sebuah momen yang di luar konteks pekerjaan saya. Sore itu sekitar pukul 16.30 saya hendak menjalankan sholat Ashar. Saya putuskan, sepulang kunjungan dari dua orang peternak saya mampirkan motor saya ke sebuah masjid yang biasa saya kunjungi.
Sama seperti sore-sore sebelumnya, pelataran masjid tersebut dipenuhi dengan anak-anak kecil bersarung dan berpeci, sedangkan yang perempuan ada yang berkerudung, ada juga yang kerudungnya terlepas karena asyik bercanda dan bermain selepas mengaji sore. Senangnya saya melihat pemandangan seperti ini, seluruh memori masa kecil saat mengaji di dalem Pakdhe Maksum tiba-tiba menyeruak ke permukaan ingatan saya.
Hampir bersamaan dengan saya, ada seorang laki-laki paruh baya menyusul saya ke tempat wudhu. Alhamdulillah, saya membatin, ada yang bisa saya ajak untuk berjamaah Ashar. Kami pun bersamaan menuju ruang utama masjid. Saya persilahkan bapak sederhana tersebut untuk menjadi imam. Beliau mengenakan sarung yang ia bawa di genggaman tangannya, lalu mengeluarkan peci haji dari saku celana 3/4nya.
Assalamu’alaikum warrohmatullah, sebuah salam mengisyaratkan 4 rokaat Ashar telah terlaksana. Saya memilih untuk ke serambi lebih dulu, membuka kotak bekal yang berisi pisang goreng dan beberapa potong brownies kukus.
Bapak paruh baya itu pun membuka obrolan, “Darimana mau kemana?”
Saya jawab pula apa yang beliau tanyakan lalu saya berbalik tanya, “Kalau Bapak hendak kemana dengan truk dan muatannya?”
Beliau pun menjawab, “Saya dari Lamongan Dek, baru saja kulakan beras lalu mampir ke Surabaya membeli keperluan lainnya untuk saya jual lagi di kios saya.”
“Oh.. jauh ya Pak. Mari Pak, sambil dinikmati ini,” saya menyodorkan bekal saya.
“Terima kasih Dek, maaf saya masih puasa,” jawabnya kebapakan.
Tertegun dan salut, perjalanan jauh yang semestinya sudah mendapatkan keringanan untuk menggabungkan sholat tetapi Bapak ini memilih untuk sholat pada waktunya. Ditambah lagi beliau melaksanakan puasa sunnah yang tak terlihat berat dalam menahan lapar hausnya padahal menempuh perjalanan jauh.
“Saya berdagang Dek, jadi cukup sering perjalanan luar kota jauh ke Jawa untuk membeli atau pun menjual peracangan saya, maklum saya SD saja tidak lulus hehe,” tuturnya ringan.
“Waaah, masak Pak?” seloroh saya tak percaya.
“Iya serius, ini saja saya baru lulus SD karena mengikuti ujian penyetaraan paket A beberapa tahun lalu,” jawabnya ramah.
Hanya sampai disitu perbincangan saya dan bapak paruh baya yang saya yakin beliau pedagang besar, namun ada satu hal yang membuat saya cukup tercengang, beliau mengenakan kaos berwarna krem dengan tulisan di punggung: ‘Peserta Ujian Paket A Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang 2012.’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H