Saya selalu suka bertemu dengan orang-orang baru yang gemar bercerita. Mereka lebih menyenangkan dari televisi—pengembang drama. Mungkin saya menemukan drama dalam cerita orang-orang itu. Drama realita, potongan adegan dalam bentangan semesta, tanpa gincu. Bahkan saat gincu memerah-marahkan bibir-bibir para pencerita, saya masih bisa menikmatinya. Sungguh canggih koneksi tak berarti apa-apa ketimbang komunikasi tatap-muka.
Saya selalu suka bertemu dengan orang-orang baru yang gemar bercerita. Mimik-mimik yang tercipta. Gerak-gerak yang menjaga biar muka tetap punya citra. Terkembanglah iba: saat bunyi cerita mulai parau tetapi muka lebih mirip sakau; saat gerak tangan mulai menari dalam datar muka yang merindu belas-kasih. O, sunguh ini menyenangkan sekali.
Saya selalu suka bertemu dengan orang-orang baru yang gemar bercerita. Mereka membuatku tak menyesali gagal menonton opera ibukota paling ramai. Riuh vokal-konsonan yang melagu memang tak semerdu dongeng-bual sebelum tidur. Tetapi, lengking duka senyaring lantang spanduk di pinggir-pinggir jalan ialah irama syahdu. Irama pengingat, bahwa saya menjejak dalam hunian milik semua kaki; bahwa cerita saya kadang tak lebih baik dari mereka; bahwa cerita saya bukan terburuk yang pernah tercipta.
[Depok, Juni 2011]
*ilustrasi diunduh di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H