Aku tak pandai menerka.
Yang kutahu, saat malam
dan hujan dan tangan kita tak saling genggam, kau merindu, sepertiku.
Aku tak pandai mengingat.
Hanya saja, namamu
seperti epitaf kekal di atas bebatuan yang menetap dalam kepalaku.
Aku tak pandai menari.
Hanya pada gempita pecah tawamu,
tubuhku tak dapat berhenti meliukkan gerak-gerak bahagia.
Aku tak pandai sendiri.
Aku ganjil yang ingin tergenapi.
Aku, cangkir kosong yang mendamba aroma teh terbaik,
mendambamu.
[AG, Depok, 14 Pebruari 2011]
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!