Ibuku suka mawar.
Ibu seperti mawar.
Wangi doanya tak tertawar.
Tajam nalurinya nyaris selalu benar.
Ia sinar.
---
Ibuku gemar menyapu.
Tak suka lantai berdebu.
Tak suka kami berair mata sendu.
Tak suka kami berdarah barang sekuku.
---
Ibuku tak bisa menari.
Tak bisa menyanyi.
Ia biarkan kami menari setinggi matahari.
Bernyanyi selantang dewa-dewi.
Kami terberkahi.
---
Ibuku tak terpelajar.
Tak suka belajar.
Ia mahaguru tanpa gelar.
Ia pengingat salah benar.
Ia menilai dengan sabar.
---
Ibuku bukan santri.
Ibuku jarang mengaji.
Ia percaya dosa tak berciri,
pahala tak terbeli.
Ia kitab tanpa predikat suci.
---
Ibuku tak selembut salju,
tak sekeras batu-batu.
Saat kami belum juga mengetuk pintu,
ia di sana setia menunggu.
---
Ibuku tak semenyala api,
tak seputih melati.
Tanpa pamrih memberi.
Tanpa lelah mengamini segala doa kami.
Ia sewarna-warni pelangi.
---
Ibuku bukan malaikat.
Ibuku bukan besi berkarat.
Ia mencintai tanpa sekat.
Memaafkan tanpa syarat.
Ia tak benci keringat.
---
Ibuku menanak nasi.
Ibuku membuat sambal terasi.
Ia tak pandai membuat solusi,
tapi selalu mencoba mengerti.
Ia arti.
---
Ibuku tak menyala dalam gelap.
Ibuku bukan dewi bersayap.
Ia tersenyum, juga meratap.
Buat kami, kapanpun, ia di sana selalu siap.
---
Ibuku bukan sempurna tanpa celah.
Ibuku berbuat salah.
Demi senyum kami, ia kerap mengalah.
Pendengar setia setiap kisah.
Ia berkah.
---
Ibuku bukan peri,
pun bukan maharani.
Ia tak bisa ikat dasi.
Meski tak selalu berisi,
kalimat-kalimatnya sepenuh hati.
---
Ibuku tak punya istana.
Ibuku tak bermahkota.
Saat mata terbuka,
Ia yang pertama,
yang tak habis ujungnya.
Ia cinta.
Depok, 2010
*Sumiati, nama ibuku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H