Mohon tunggu...
Nadia Farah
Nadia Farah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Semoga istiqamah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Pembelajaran Berbasis Pendidikan Karakter tapi Moralitas Tetap Turun? Yuk, Flashback ke Ta'limul Muta'allim

7 April 2021   09:59 Diperbarui: 7 April 2021   10:15 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kurikulum 2013 yang saat ini diterapkan di Indonesia merupakan kurikulum yang mengedepankan karakter serta kompetensi untuk bersaing dengan negara lain di zaman serba digital. Agar siswa memiliki karakter-karakter unggul, pemerintah telah berupaya  menginternalisasikan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dalam pembelajaran. Sesuai dengan Peraturan Presiden no. 87 tahun 2017, PPK dilakukan dengan menerapkan  nilai-nilai Pancasila meliputi 18 karakter yang diakumulasikan menjadi lima karakter utama, yakni religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.

Hingga hari ini, hampir seluruh sekolah di tanah air telah menerapkan program PPK. Meskipun begitu, realitasnya masih banyak kasus terkait turunnya moral siswa yang semakin hari semakin bertambah. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2017, terdapat 3,8 persen pelajar dan mahasiswa yang menyatakan pernah menyalahgunakan narkotika dan obat berbahaya. Data pusat statistik Indonesia juga menunjukkan bahwa tingkat perkelahian antar pelajar setiap tahunnya terus meningkat.[1] Belum lagi fenomena kehidupan remaja di daerah perkotaan yang bisa dikatakan tidak sesuai dengan nilai Pancasila. Dewasa ini, sering kita temukan pasangan muda mudi yang belum menikah secara resmi, namun mereka sudah tertangkap oleh polisi saat melakukan hal menyimpang di hotel atau tempat-tempat lainnya. Namun perlu digaris bawahi, bahwa dari deretan muda mudi ini beberapa yang tertangkap adalah seorang pelajar.

Beberapa waktu yang lalu sempat beredar video anak sekolah dasar yang memarahi gurunya.[2] Siswa ini diketahui telah mematahkan tangan kepala sekolah dengan menendangnya. Sebab hal itu, pihak sekolah langsung meminta si anak untuk memanggil orang tuanya, namun anak ini menolak dan dengan berani mengatakan bahwa kesalahan yang telah ia perbuat adalah tanggung jawabnya serta orang tuanya tidak perlu mengerti. Siswa ini juga menggunakan nada yang tinggi dan kata-kata kasar saat berbicara dengan guru. Belum lagi pandemi Covid-19 yang menimpa Indonesia sejak Maret 2020, mengakibatkan diterapkannya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara serentak di Indonesia. Walaupun pembelajaran seperti ini dapat memajukan kompetensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) siswa dan guru, namun perlu diketahui bahwa dampak negatif yang ditimbulkan juga tidak sedikit. 

Pemerhati kesehatan jiwa anak dari UNICEF, Ali Aulia Ramly menuturkan bahwa resiko perundungan daring atau yang biasa disebut cyber bullying kian bertambah selama pandemi Covid-19 ini.[3] Menurutnya, bentuk bullying yang mungkin menimpa anak, yakni menyebarluaskan foto korban dan mengolok-oloknya di media sosial ataupun memantau terus menerus satu akun (stalking) dengan tujuan menjadikannya sasaran bullying. Hal ini dikarenakan intensitas bermain gawai selama masa pandemi yang tinggi. Selain itu, perilaku tidak sopan siswa pada pembelajaran juga bukan sesuatu yang mustahil ditemukan. 

Beberapa perilaku tidak sopan tersebut, antara lain kecurangan pada keikutsertaan pembelajaran daring yang mana siswa terlihat online (hadir) namun melakukan aktivitas lain dengan mematikan kamera, penggunaan bahasa yang kurang sopan saat berkirim pesan dengan guru melalui media TIK, tidur dan makan saat pembelajaran online ataupun bermain sosial media saat pembelajaran berlangsung (Facebook, instagram, tiktok dan lain sebagainya).[4] Ditambah lagi dengan semakin banyaknya resiko anak berkata hingga berlaku kasar akibat bermain game online. 

Tak jarang pula terjadi kecurangan dalam mengerjakan tugas dan ujian sekolah, di mana bukan siswa yang mengerjakan tugas tersebut melainkan orang tua, saudara atau guru lesnya. Tentu, adanya peristiwa-peristiwa tersebut akan membuat kita berpikir bagaimana hal ini bisa terjadi? Padahal semua sekolah telah menerapkan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), namun mengapa masih terjadi kemerosotan moral siswa?.

Untuk menemukan jalan keluar dari permasalahan tersebut, perlu mengkaji lebih dalam mengenai pendidikan karakter dan sopan santun dalam menuntut ilmu. Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor agama juga berpengaruh dalam pembentukan karakter peserta didik. 

Menurut istilah agama islam, pendidikan karakter erat kaitannya dengan akhlak dan adab dalam menuntut ilmu. Salah satu rujukan mengenai adab dan akhlak dalam menuntut ilmu adalah kitab ta'limul muta'allim yang dikarang oleh az-Zarnuji. 

Ulama yang bernama lengkap Syekh Tajuddin Nu'man bin Ibrahim bin Khalil Zarnuji ini, dalam kitabnya memaparkan tentang tata cara menuntut ilmu yang terbagi menjadi 13 bab (fasl). Dari ke-13 bab ini, penulis akan memaparkan tata cara menuntut ilmu menurut az zarnuji secara garis besar.

Sebelum itu, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban seluruh umat muslim, tanpa terkecuali. Dalam kehidupan sehari-hari, ilmu merupakan suatu hal yang urgen sebab Ia adalah sarana bertakwa yang menentukan kedudukan (derajat) umat di mata sang pencipta. Az-zarnuji sendiri telah mengklasifikasikan ilmu menjadi empat, yakni ilmu fardhu 'ain, fardhu kifayah, 

Ilmu yang haram dipelajari, serta ilmu jawaz. Ilmu fardhu 'ain yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh tiap individu muslim, antara lain ilmu tauhid, fiqih, shalat, puasa, zakat, haji serta ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan amal ibadah fardhu 'ain. Ilmu  fardhu kifayah atau ilmu yang dibutuhkan dalam suatu kondisi tertentu saja, misalnya ilmu tentang shalat jenazah. Sedangkan, ilmu yang haram dipelajari berkaitan dengan ilmu nujum (perbintangan) yang seringkali digunakan untuk meramal. Ilmu nujum diperbolehkan hanya jika digunakan untuk menentukan arah kiblat serta waktu-waktu shalat. Ilmu jawaz yaitu ilmu yang boleh dipelajari karena kemanfaattannya bagi manusia, misalnya ilmu kedokteran.

Dalam menuntut ilmu, hal pertama yang harus tanamkan dalam diri peserta didik adalah niat. Pangkal dari ibadah adalah niat, oleh sebab itu ketika menuntut ilmu peserta didik harus ikhlas belajar dengan tujuan agar mendapat ridha Allah, memusnahkan kejahiliahan, menghidupkan agama, serta melestarikan agama islam. Meskipun begitu, az-Zarnuji tidak melarang peserta didik untuk menuntut ilmu dunia agar mendapat kedudukan, asalkan tujuannya adalah untuk amar ma'ruf nahi munkar, melakukan kebenaran, serta mengakkan agama Allah.

Az-Zarnuji juga memaparkan tentang konsep belajar dan pembelajaran. Belajar dapat dikatakan sebagai tahapan jiwa guna memahami makna suatu hal sebagai upaya untuk membentuk pribadi berakhlakul karimah dengan tujuan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah agar mendapat keselamatan dunia dan akhirat. Sedangkan untuk pembelajaran, az-Zarnuji lebih mengedepankan prasyarat etika, baik bagi siswa maupun guru. Di mana dalam sebuah pembelajaran, aktivitas-aktivitas yang terjadi haruslah menjunjung etika di samping tetap mengembangkan kreativitas. Suatu pembelajaran akan sukses dan optimal apabila terdapat kesungguhan antara tiga pihak, yakni siswa, guru, dan orang tua.[5] 

Tidak hanya itu, az-Zarnuji juga menjelaskan pentingnya memilih ilmu, guru, teman belajar, serta belajar dengan tekun dalam menuntut ilmu. Terkait ilmu, hendaknya peserta didik mempelajari ilmu yang dibutuhkan dalam urusan agama pada saat itu, barulah ilmu untuk masa yang akan datang. Misalnya, mempelajari ilmu tauhid terlebih dahulu, baru mempelajari ilmu tentang ibadah. Dalam memilih guru, peserta didik harus mencari guru yang 'alim, wara', serta lebih tua. 

Ketika hendak menuntut ilmu atau untuk menyelesaikan apapun, baik adanya jika peserta didik melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan orang 'alim sebagaimana nabi Muhammad yang bermusyawarah dengan para sahabat dalam segala urusan. Seperti halnya memilih guru, peserta didik juga harus memilih teman yang sesuai saat menuntut ilmu. Kriteria teman yang baik yakni teman yang tekun belajar, memiliki sifat wara', istiqamah, berakhlak baik, tidak pemalas, sedikit bicara, tidak suka merusak, dan memfitnah.

Kitab Ta'limul Muta'allim memberikan penghormatan tersendiri bagi ilmu dan orang yang 'Alim. Peserta didik tidak akan memperoleh manfaat dari ilmu yang dipelajari jika tidak menghormati ilmu dan gurunya. Beberapa perilaku yang mencerminkan rasa hormat terhadap guru, antara lain menghindari berjalan di depannya, tidak menduduki tempat duduknya, tidak memulai pembicaraan tanpa seizinnya, tidak berbicara di depan guru, tidak mengajukan pertanyaan saat kondisi guru kurang baik, sebisa mungkin menunggu hingga guru keluar (tidak tergesa-gesa mengetuk pintu ketika hendak bertemu). 

Pada intinya, seorang peserta didik harus berupaya memperoleh kerelaan hati guru, menghindari penyebab kemurkaannya, mematuhi perintah dan nasehatnya yang sejalan dengan agama, serta menghormati putra-putri serta kerabat guru. Menyakiti hati guru dapat mengakibatkan ilmu yang susah payah di pelajari peserta didik tidak mendapat berkah. Sedangkan, upaya untuk menghormati ilmu yakni dengan tidak memegang kitab jika tidak dalam kondisi suci, tidak menaruh kitab di tempat yang kurang pantas (di bawah atau di dekat kaki), menghindari meletakkan wadah tinta atau pena di atas kitab, menulis di dalam kitab dengan tulisan yang baik dan mudah dibaca serta tidak memakai tinta merah.

Saat menuntut ilmu, hendaknya peserta didik mendengarkan dengan seksama dan hormat mengenai ilmu dan hikmah, meskipun sudah pernah dipelajari. Peserta didik zaman dahulu selalu menyerahkan persoalan tentang mengajinya kepada guru agar cita-citanya tercapai, tidak seperti zaman sekarang di mana peserta didik dapat memilih pengajiannya sendiri sehingga cita-cita untuk meraih ilmu tidak tercapai. Selain itu, peserta didik juga harus memiliki sifat tawakkal dan wara'. Dalam menuntut ilmu, peserta didik harus berserah diri pada Allah dan tidak mencemaskan mengenai rizki karena Allah akan mencukupkan rezeki bagi orang yang menuntut ilmu. Selain itu, peserta didik juga harus memiliki sifat wara' agar ilmu yang diperoleh bermanfaat. Wara' merupakan upaya meninggalkan segala sesuatu yang hukumnya tidak jelas, baik terkait makanan, minuman, pakaian, maupun hal lainnya.[6]

Cara untuk bersifat wara' dalam menuntut ilmu menurut kitab Ta'limul Muta'allim yakni: 1) menghindari makan banyak (rasa kenyang), banyak tidur, dan banyak bicara; 2) tidak membeli makanan pasar; 3) menghindari ghibah (membicarakan orang lain) dan berkumpul dengan orang yang banyak bicara; 4) menghindari orang yang suka berbuat kerusakan, maksiat, dan suka menganggur; 5) menghadap kiblat; 6) menjaga adab, sopan santun dan tidak meremehkanhal sunnah; serta 7) memiliki sumber (buku) dan peralatan belajar.

Kajian yang terdapat dalam kitab Ta'limul Muta'allim tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menyelesaikan permasalahan terkait menurunnya moral yang telah dibahas sebelumnya. Jika dibandingkan dengan zaman sekarang, peserta didik zaman dahulu bisa dibilang patuh, sopan, serta sangat menjaga etika dalam menuntut ilmu, tidak seperti sekarang yang menganggap bahwa menuntut ilmu hanya untuk menggugurkan kewajiban dari orang tua bahkan hanya untuk bersenang-senang dengan teman. 

Meskipun di sekolah juga t=sudah diterapkan program Penguatan Pendidikan Karakter, namun jika di rumah hal itu juga tidak di biasakan maka akan sia-sia. Oleh karena itu, sesuai dengan teori belajar az-Zarnuji maka harus ada korelasi yang selaras dan saling menguatkan antara siswa, guru dan orang tua dalam proses pembelajaran sehingga ilmu yang diperoleh dapat terserap dengan optimal.

Selain itu, untuk mendukung Program Pendidikan Karakter yang sesuai dengan teori az-Zarnuji, maka hendaknya karakter yang baik hendaknya telah di biasakan sejak kecil di lingkungan keluarga yang selanjutnya akan diperkokoh di sekolah. Memang dalam membentuk suatu karakter, metode yang masih peneliti anggap cocok yakni metode pembiasaan. 

Mengingat karakter bukanlah sesuatu yang dapat diperoleh secara langsung, melainkan diperoleh dan melekat dalam waktu yang lama. Salah satu cara yang dapat dugunakan oleh guru yakni metode pembiasaan, di mana ke tiga elemen penting (guru, siswa, orang tua) melakukan monitoring sehingga pembiasaan tersebut dapat tercapai. Melalui metode ini, guru harus menyediakan buku atau aplikasi atau hal lain yang dapat digunakan sebagai media guna monitoring siswa, monitoring guru serta monitoring orang tua terhadap kegiatan siswa setiap hari sehingga guru dapat memantau perilaku siswa dengan membandingkan hasil monitoring siswa dan orang tua.  

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Direktorat Statistik Politik dan Keamanan. 2014.  Statistik Kriminal 2014 (Jakarta: Badan Pusat).

Okezone

Kompas

Mahrani, N., Ritonga, A. dkk. Analisis Sisi Negatif Moralitas Siswa pada Masa Pembelajaran Jarak Jauh, Jurnal Pendidikan Islam: Thoriqotuna.

Juhji. 2015. Telaah Komparasi Konsep Pembelajaran Menurut Imam az-Zarnuji dan Imam al-Ghazali, Jurnal Tarbawi. 1(2), 19.

Alfatih, M., dan Suryadilaga. 2016.  Ilmu Tasawuf (Yogyakarta: Kalimedia).

Az-Zarnuji. 2009. Ta'limul Muta'allim, Terj. Abdul Kadir Aljufri. Surabaya: Mutiara Ilmu Surabaya.

Noer, A. Tambak, S. dan Sarumpaet, A. 2017. Konsep Adab Peserta Didik dalam Pembelajaran menurut az-Zarnuji dan Implikasinya terhadap Pendidikan Karakter di Indonesia, Jurnal Al-Hikmah, 14(2) 206

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun